Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MDR - 3

Sore menjelang, langit menampakkan lembayungnya yang mampu menghipnotis semesta. Michy masih dengan mainannya yang berserak di ruang tengah rumah Marchell. Ya...begitulah keseharian gadis kecil itu.

“Ngapain kamu pake baju gitu? Sengaja mau mancing aku?”

Kalimat barusan sontak membuat Allana menghentikan sejenak kegiatannya mengecek peralatan mandi Marchell. Ia menoleh dan mendapati Marchell sedang bersandar di kusen pintu kamar mandi, sembari menatap mesum ke arahnya. Tatapan yang sudah sangat dihapal oleh Allana.

“Baju apa?” Allana mengecek daster putih yang ia kenakan, memutar tubuhnya ke kanan dan kiri memperhatikan apa yang salah dari pakaiannya.

Sama sekali tidak ada yang menggugah selera. Bahan daster yang ia kenakan tidak tipis, dihiasi dengan bordiran bunga-bunga, dan panjangnya melebihi lutut. Allana rasa, otak Marchell saja yang memang mesum setelan pabriknya.

“Stop liatin aku kayak gitu atau aku sikat muka kamu pakai sikat WC,” ancamnya sembari mengangkat sikat WC usang dari sudut kamar mandi dan mengacungkannya pada Marchell.

Tersenyum samar, Marchell hanya melipat kedua tangan di depan dada, sembari menekan lidah di dalam mulut hingga pipinya menonjol sebelah. “CD kamu pink,” ucapnya kemudian tanpa beban.

“Hah masa?” Reflek Allana mengangkat ujung dasternya, demi mengecek warna celana dalam yang hari ini ia kenakan. Sungguh ia tidak pernah mengingat sedang memakai celana dalam warna apa karena asal menyambar stok di lemari pakaian.

Sejurus kemudian Allana menyadari kedua mata Marchell menatap tajam pada bagian bawah tubuhnya, tepat sebelum ujung daster nya tersingkap hingga melewati paha atas. Sial! Kena Allana kali ini. Allana tersenyum kering saat menyadari Marchell nyaris berhasil membodohinya.

Mau bagaimana lagi, ia kerap lupa mereka sudah bercerai karena masih bertemu setiap hari, dan masih berbagi peran mengasuh anak setiap waktu. Bahkan mereka masih makan bersama di meja makan, juga menonton TV bersama. Sudah resmi bercerai tetapi masih sering bertemu layaknya suami istri, membuat batasan-batasan di antara mereka berdua kian kabur dan makin tipis.

“Kamu mau lihat punya aku?” Allana sengaja menggantung ujung dasternya sedikit jauh di atas lutut.

Skak mat! Marchell tampak menelan ludah sebelum menjawab, “Buat apa? Udah pernah... “ kemudian lelaki itu melepas kaosnya dan memasuki kamar mandi.

“Eh eh kamu mau apa?” tanya Allana panik saat Marchell bersiap menutup pintu kamar mandi.

“Mandi lah. Michy kecapekan, terus tidur di depan TV. Sekarang aku mau mandi.”

“Ya bilang dong! Aku ke kamar mandi mau nyariin sampo aku!” sungut Allana dengan kedua mata membelalak lebar.

Marchell menghela napas kemudian mengambil sebotol sampo dari keranjang kecil yang diletakkan di atas kloset.

“Nih sampo aku....” Marchell mendekat sembari mengocok botol samponya, membuat Allana mundur hingga tembok kamar mandi yang dingin menahan punggungnya.

“Chel...” Allana nyaris kehabisan napas melihat senyuman nakal Marchell dan rambut gondrong yang berantakan. Namun ia akui, kian menambah kesan seksi.

Bertelanjang dada, dengan tangan yang kotor akibat terkena cat. Oh, dagunya yang runcing juga kotor terkena cat.

'Sial. Kenapa punya mantan suami harus sepanas ini,' Allana membatin.

“Liat, sampoku abis. Tinggal aer... Marchell membalik botol sampo di tangan dan menuangkan isinya yang tinggal berwujud air. “Pasti sampo yang kamu cari-cari itu mahal banget, pantes rambut kamu wangi...” Marchell menunduk dan mengendus aroma harum dari rambut Allana.

“Stop deket-deket...” Sebelah tangan Allana menahan dada bidang Marchell. Sungguh jantungnya sedang tidak aman saat ini.

“Kenapa? Bukannya dulu sering?” Senyuman bengal mengembang dari wajah mesum Marchell.

“Bagi duit... buat bayar cicilan gedung sekolah Michy.” Sebelah tangan Allana yang tadinya menahan tubuh Marchell, kini menengadah.

Marchell mendengus, kemudian bergerak menjauh. “Sampo kamu nggak ada di sini. Sana keluar, aku mau mandi.”

Allana tersenyum sinis saat mendapati wajah mantan suaminya itu berubah datar. “Huu...maunya ena-ena aja, duit nomor sekian,” ledeknya sembari melangkah keluar dari kamar mandi.

“Maksud kamu?” Marchell mengurungkan niatnya untuk mandi dan berjalan membuntuti Allana.

“Inget Chel, kamu harus tetep kasih nafkah ke anak kamu.” Allana berbalik dan mendapati wajah defensif Marchell.

“Pasti aku kasih. Tapi sabar please. Tahun ini lukisan aku belumn ada yang kejual sama sekali. Kamu tahu kan berapa harga lukisan itu kalau kejual? “ Marchell menuding deretan lukisannya di dinding.

“Pernah kejual delapan juta untuk satu lukisan. Tapi setelah itu lukisan kamu nggak ada yang kejual lagi. Delapan juta buat beberapa bulan itu nggak cukup Chel,” jawab Allana apa adanya.

Marchell menghela napas panjang dan berusaha menyembunyikan wajah frustasinya. “Kamu butuh berapa buat bayar uang gedung?” la berjalan mendekati meja dan menyalakan sebatang rokok.

“Emang kamu ada uang?” tanya Allana dengan nada getir.

“Aku bisa minta Papa mama...”

“Chel... bukan itu maksud aku. Tolong jangan apa-apa minta sama ortu kamu. Kamu pria, kamu seorang Papa. Paling nggak coba tanggung jawab dengan usaha kamu sendiri.”

“Kamu kira lukisan-lukisan aku ini, bukan bentuk dari tanggung jawab aku? Kenapa kamu selalu ngeremehin apa pun yang aku lakuin? Kamu tahu keadaan aku kayak gini, All! Iya aku bukan pekerja kantoran yang gajian tiap bulan kayak kamu! Ini pun aku udah mati-matian coba jual ke sana ke sini, tapi kalau belum rejeki gimana?”

“Coba kamu cari kerjaan lain Chel, kamu bisa coba...”

“Bukan passion aku,” potong Marchell cepat.

“Kenapa sih, ngomong sama kamu selalu susah kayak gini?”

“Kenapa bentuk tanggung jawabku ke anak kita selalu kamu hitung pake uang?”

“Ya kamu pikir apa-apa nggak butuh uang?” Allana menatap heran.

“Aku tiap pagi bantuin kamu mandiin Michy, gantiin bajunya buat ke sekolah. Tiap malem aku cek perlengkapan sekolah di tas-nya. Aku antar jemput dia ke sekolah, suapin dia makan, mandiin dia dan ngurusin dia selama kamu kerja di kantor!” Nada suara Marchell meninggi. “Aku memang belum ada uang tapi aku masih berusaha tanggung jawab dengan cara lain All, bisa nggak kamu hargain itu?”

Allana diam mematung di tempatnya.

“Kamu bisa fokus kerja di kantor, pikiran kamu nggak kepecah, kamu nggak perlu keluarin biaya tambahan buat bayar pengasuh, itu karena aku mau merawat dan mengasuh Michy selama kamu di kantor. Bahkan kamu capek sepulang kerja pun, aku nggak keberatan sama sekali pegang Michy. Aku nggak diem aja All.” Marchell menatap kesal.

“Oke kita stop aja bahas ini..” Allana menghela napas panjang.

“Tolong hargai aku ya All.” Marchell menatap tajam kedua matanya. “Aku bakal minta uang Papa mama buat bayar uang gedung Michy.”

“Jangan minta tapi pinjem...”

“All... “

“Aku nggak mau, Michy jadi alasan buat kamu bebanin Papa mama kamu terus. Pinjem aja. Kalau kamu nggak sanggup balikin uangnya, aku yang bakal balikin.”

Marchell tak menjawab. Allana melihat pria itu menenggelamkan rokoknya ke dalam asbak kemudian hilang di balik pintu kamar mandi.

Perlahan sebelah tangan Allana terangkat demi memijit sejenak keningnya. Inilah alasannya menceraikan Marchell. Allana merasa, Marchell terlalu santai dalam hal mencari rezeki dan menafkahi keluarga. Lelaki itu selalu beralasan pekerjaan alternatif bukanlah passion-nya. Allana rasa, ia tidak sanggup melewatkan seumur hidup dengan pria seperti Marchell.

Kedua mata Allana menyusuri dinding dan menemukan wajahnya masih terpampang di sana, di atas kanvas lukis berukuran 100x140 cm. Tadinya ia berniat menanyakan maksud dari pertanyaan Marchell kemarin malam, sesaat setelah mereka selesai makan bersama di rumahnya.

“All.. aku boleh pacaran lagi?” tanya Marchell kala itu dari meja makan. Allana sampai menjatuhkan piring yang sedang ia cuci saat mendengar pertanyaan Marchell.

Gaduh tercipta begitu saja saat piring dari tangan Allana merosot dan menghantam tumpukan piring kotor lainnya di bak cuci.

“Kamu barusan bilang apa?” Allana menoleh dengan wajah kaku dan menemukan Marchell yang terlihat sedikit salah tingkah.

“Enggak. Enggak jadi,” jawab Marchell saat itu sebelum buru-buru pamit pulang dan meninggalkan Allana tenggelam dalam berbagai pertanyaan.

Jadi Marchell sudah menemukan wanita baru? Siapa? Orang mana? Kapan mereka bertemu? Apa selama ia berada di kantor? Bukankah Marchell sedang tidak punya uang? Memangnya wanita mana yang mau dengan pria pengangguran selain dirinya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel