Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MDR - 2

Menjelang tengah hari, sekumpulan wanita berkumpul dekat pintu salah satu kelas. Masih terdengar aktifitas belajar yang akan berakhir. Tak lama setelahnya serombongan anak-anak TK berlari keluar, berhamburan mencari penjeputnya.

“Maaf Bunda, apa bisa kita bicara sebentar di ruangan saya?” Bu Lintang, yang juga Kepala Sekolah KB TK Pelita Cemerlang mendekat sembari tersenyum ramah seperti biasanya. Membersamai langkah Allana dan mengarahkannya ke ruangannya.

“Bisa Bu.” Tanpa banyak bertanya Allana mengikuti Bu Lintang dan membiarkan Michy, putri semata wayangnya tinggal di kelas sejenak bersama Bunda Imelda yang merupakan pengajar sekaligus wali kelasnya.

Hari itu Allana sendiri yang menjemput anaknya sepulang sekolah, kebetulan kantor sedang tidak padat dan ia mendapatkan ijin keluar dari atasannya.

“Silahkan duduk Bund...” Bu Lintang mempersilahkan Allana duduk di sofa ruangannya.

“Ada apa ya Bu?” tanya Allana langsung pada intinya. Tak biasanya, Bu Lintang sendiri yang memanggilnya ke ruangan seperti ini.

“Begini Bund. Kebetulan tadi saya sedang mengamati pembelajaran di kelasnya Michy. Nah, tadi itu ada sesi bercerita tentang Papa di depan kelas. Sepertinya Michy masih bingung hendak bercerita tentang apa. Lalu...”

“Lalu apa Bu?” tanya Allana tidak sabar, ada perasaan tak enak yang ia tangkap dari nada bicara sang Kepala Sekolah.

“Tadi Bunda Imelda menanyai Michy. 'Michy, Michy anaknya siapa?' Bu Lintang menirukan pertanyaan Bunda Imelda saat di kelas. “Dan Michy menjawab, 'aku anak tetangga Bu Guru' begitu Bund.” Bu Lintang tersenyum getir, mencoba menahan ekspresinya.

“Oh...” Sejenak Allana kehilangan kata-kata, sebelum akhirnya ia menyadari tatap penghakiman dari Bu Lintang. Buru-buru ia mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin saja telah terjadi. “Begini Bu...”

“Bund, saya turut prihatin dengan keadaan Bunda yang harus menjadi single parent di usia muda.” Bu Lintang mendekat dan menyentuhkan kedua telapaknya dengan pelan ke lutut Allana, membuat Allana segera mengatupkan bibir yang sudah siap meluncurkan kata demi kata. “Maksud saya, yah... wanita muda mana yang betah lama-lama jadi janda? Apalagi jika tetangganya ganteng dan kuat seperti yang diceritakan Michy tadi. Tapi Michy itu masih anak-anak Bund. Saya rasa belum saatnya dia dipertontonkan kehidupan orang-orang dewasa” Bu Lintang menatap penuh permohonan.

“Bukan, bukan begitu Bu Lintang! Ibu salah paham. Saya bisa jelaskan... “ Allana tersenyum kikuk, malu sendiri ia karena bingung harus bagaimana menjelaskan.

“Bund, kalau Bunda mau jatuh cinta boleh-boleh saja. Tapi ingat ada Michy di sekitar kita. Dan kata Michy sewaktu tadi saya tanyai lebih jauh, dia menganggap tetangganya itu seperti papanya sendiri, karena dia sering melihat tetangganya itu mencium Anda dan bahkan menggendong Anda..

“Tunggu Bu! Biar saya jelaskan,” potong Allana dengan tidak sabar, cukup sudah kesalahpahaman ini. Ia tahu nadanya memang kurang sopan, namun mau bagaiamana lagi.

“Michy memang anak tetangga...”

“Astaga!” Bu Lintang sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan, shock menyerangnya.

“Tetangga saya itu memang Papa kandung Michy.”

“Ya Gusti,” gumam Bu Lintang pelan, sedikit mencerna keadaan yang terjadi. Atensinya kini sepenuhnya tertuju pada penjelasan Allana.

“Kami pernah menikah, kemudian kami bercerai saat Michy masih berusia satu setengah tahun. Kebetulan, rumah mantan suami saya itu tepat di depan rumah saya.” Allana memaksakan senyuman di wajahnya.

“Oh begitu... “ Bu Lintang manggut-manggut, baiklah kini ia paham apa yang telah terjadi.

“Demi kebaikan perkembangan Michy, kami tetap berhubungan baik. Hak asuh Michy memang sepenuhnya jatuh ke tangan saya. Tapi saya dan papanya, masih bersama-sama mengasuh Michy. Dia masih menyuapi Michy, menemani Michy belajar, dan juga bermain. Bahkan, lebih sering papanya yang mengantar jemput Michy ke sekolah. Kami seperti pasangan yang belum bercerai, bedanya kami tinggal di rumah yang berbeda. Itu saja!”

“Wah luar biasa... “ Bu Lintang menatap takjub, yang tadinya tatapannya penuh tuduhan dan penilaian negatif kini berubahn menjadi penuh kekaguman.

“Maaf bukan bermaksud kepo Bund, tapi kalau saya dengar dari cerita Anda, sepertinya mantan suami Anda ini orang yang baik. Michy juga bilang kalau papanya ganteng, baik, dan sangat menyayangi Anda. Lalu apa alasan kalian bercerai? Kalau saya boleh tahu?” tanya Bu Lintang dengan mimik wajah penasaran.

Allana tersenyum tipis sebelum menjawab, “Saya tidak kuat dengan profesi dia sebagai pengacara.”

“Wah... pengacara?” Kedua alis Bu Lintang terangkat dengan bola mata yang semakin melebar.

“Benar! Mantan suami saya pengacara alias pengangguran banyak bicara.” Allana tersenyum getir.

“O... O.... Oooh... “ Bu Lintang terlihat terkejut dan berikutnya senyuman canggung mengembang di wajah wanita itu. Sepertinya dia mulai benar-benar paham akan kondisi kedua orangtua Michy.

Setelah sedikit berbasa-basi dan pamit pulang, Allana segera menjemput Michy di kelasnya. Seperti biasa, gadis kecil yang sebentar lagi genap berusia empat tahun itu menyambut dan memeluknya erat.

“Mama! Mama! Michy kangen! Mama nggak kelja?” Kedua mata Michy membulat lucu, dengan bicaranya yang masih agak cadel khas anak-anak.

“Mama kerja tapi ijin sebentar buat jemput Michy!” Allana membungkuk dan mencium kening putri semata wayangnya.

“Michy cama Mama yaaa!” Dengan riang Michy membuat gerakan bertepuk tangan.

Setelah berpamitan dengan Bunda Imelda, Allana menggandeng tangan gadis kecilnya dan berjalan menuju parkiran.

“Mama, puyang naek apa? Papa manya?” tanya Michy sembari menatap lugu.

“Itu mobil Papa.” Allana menunjuk mobil mini SUV yang parkir di halaman sekolah.

“Papa manya?” Michy masih bertanya saat Allana membantu gadis kecilnya masuk ke dalam mobil.

“Papa kerja Sayang” jawab Allana sembari menyungging senyum.

“Papa kelja gambal?” Sebelah tangan Michy terangkat, dan menirukan gerakan seolah-olah sedang menggambar.

“Iya Papa kerja gambar. Awas tangannya Sayang.. “ Allana memasangkan sabuk pengaman lalu menutup pintu mobil dengan sangat hati-hati.

Kemudian ia segera masuk dan duduk di balik kemudi. “Tadi Michy cerita apa aja di depan kelas?” tanya Allana sambil menyalakan mesin.

“Michy biyang nyama papacu Malchell Tephan...”

“Marchell Stephan.” Allana mengoreksi pelafalan nama mantan suaminya sembari melirik Michy yang tersenyum lebar menatapnya. “Terus Michy cerita apa lagi?” tanya Allana sembari mengemudi.

“Papa ganceng, Papa kelja gambal! Mmm Papa cayang Michy, Papa cayang Mama! Papa kua!”

“Papa kuat?”

“lya Papa kua ya! Michy biyang Papa kua bica angkad gayon, bica angkad Mama ugha!”

Allana segera menginjak rem karena kebetulan di depan lampu merah. “Jadi Michy bilang, eh cerita di depan kelas kalau Papa angkat Mama?”

Michy mengangguk dengan wajah polosnya. “Michy uga biyang kalo Papa tium Mama uga, Papa cayang Mama!” Kemudian gadis kecil itu bertepuk tangan. Tampak begitu bahagia.

“Michy...” Allana menatap penuh sesal sembari meremas kemudi dengan pelan. “Lain kali nggak usah cerita di depan kelas ya, kalau Papa cium Mama!”

“Kenyapa?” Kedua mata Michy membulat lebar.

“Kan Papa cayang Mama?”

“Pokoknya jangan cerita Papa cium Mama, atau Papa gendong Mama. Yang Michy boleh ceritain itu Papa baik, Papa sayang Michy, dan Papa kerja gambar. Yang cium-cium Mama nggak usah! Ngerti ya Michy?” Allana menegaskan kembali apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Michy.

“Ya Mama,” jawab gadis itu tanpa bertanya lagi.

“Terus jangan bilang kalau Michy itu anak tetangga, bilang aja Michy itu anaknya Papa. Ya?”

“Capi kata Mama, Papa itu cecangga?”

Allana kehilangan kata-kata sejenak. Tentu saja status hubungan mereka sangat sulit dicerna oleh Michy. “Pokoknya bilang aja anak Papa. Jangan bilang kalau Michy anak tetangga...”

“Capi Papa kemayen biyang kayo Michy anak cecangga?”

“Tuh kan! Papa tuh selalu ngajarin yang nggak bener!” Dengan geram Allana meremas kemudi.

Tapi mengingat status mereka sekarang, rasanya memang benar kalau Michy itu anak tetangga. Bukankah mereka bertetangga? Bahkan rumah mereka kini saling berhadapan, dan di antara mereka tidak ada ikatan pernikahan.

“Enggak! Papa biyang Michy anak Papa, Michy anak cecangga, Papa cayang Michy!” Gadis kecilnya tampak berusaha membela Marchell.

Sedekat itu gadisnya dengan sang Papa. Allana menghela napas panjang kembali sebelum mengingat pertanyaan Marchell semalam, yang dilontarkan saat mereka menghabiskan waktu setelah makan malam. Pertanyaan yang terasa begitu mengganggunya.

'All. aku boleh pacaran lagi?'

Entah pacaran dengan siapa. 'Memangnya dia punya modal?' Sungut Allana dalam hati. Perkara rambut saja jadi panjang lebar. Sudah mengambil samponya tanpa ijin, Marchell masih juga kerap mengomel karena saluran kamar mandi menjadi buntu. Tapi bukankah yang buntu saluran kamar mandi di rumahnya sendiri?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel