Harapan
Tuntutan akan kehadiran mate kian hari semakin banyak, entah dari para tetua hingga para gamma yang sering bersama dengannya.
Tentu saja hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Pack mereka akan menjadi kian kuat dengan adanya mate Alpha. Bukan hal yang umum jika kekuatan seorang Alpha bertambah berkali lipat jika telah menemukan matenya.
Hari demi hari yang dilewati Alpha itu tidak pernah terlepas dari tuntutan para tetua pack. Rakyat mereka membutuhkan kehadiran seorang Luna, pendamping abadi sang Alpha untuk memimpin blackmoon pack menjadi pack terkuat.
Entah sudah ratusan wanita yang mencoba menggodanya, berusaha mengambil hati beku sang Alpha beserta gelar Luna yang menggiurkan.
Namun pria itu tetap acuh dan terus menolak, ambisinya saat ini hanyalah untuk memperluas wilayah kekuasaan. Tanpa kehadiran seorang mate pun dia tetap bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri.
Yang diperlukannya saat ini hanyalah kehadiran seseorang yang dapat meringankan beban pikirannya.
"Sayang.."
Pria itu menoleh, untuk beberapa saat dia tidak dapat melepaskan pandangannya dari tubuh seksi sang wanita yang hanya ditutupi lingerie tipis berwarna hitam.
Dia menghela nafasnya pelan, segera meninggalkan balkon kamar, berjalan mendekati wanita itu.
"Apa yang kau lakukan?!"
Pria itu hanya memasang wajah datarnya, tampak tidak peduli dengan reaksi sang wanita yang meronta. Dia tetap bersikeras melingkarkan selimut di sekujur tubuh wanita itu, mengabaikan pukulan manja yang terus melayang kearahnya.
"Mengapa kau datang ke kamarku?" tanyanya sembari mendudukkan dirinya di sisi ranjang.
Wanita itu tidak menjawab, dia hanya terdiam dan mengikuti ketika pria itu menepuk sisi ranjang sebelahnya, membuatnya beralih duduk.
Diatas pangkuan sang Alpha.
"Jangan---"
"Aku tidak mau kalau tidak disini" ucapnya setengah merajuk dengan pipi menggembung. Dia berbalik, memeluk leher sang Alpha yang terbuka bebas untuknya.
Kekehan pelan keluar dari bibir sang Alpha, membuat wanita itu terdiam untuk sejenak, tidak dapat menampik ketampanan yang tersaji dihadapannya.
Tubuhnya seketika menegang ketika merasa tangan besar yang sedikit kasar itu menyentuh lembut helaian rambutnya, membuatnya merasa tenang sekaligus nyaman.
"Kapan kau kembali dari kerajaan witch?"
Wanita itu mendengus kesal, tatapannya memicing, sedikit tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan sang Alpha.
"Kemarin, ayah hanya memanggilku untuk penobatan"
Pria itu mengangguk, dia meletakkan dagunya di bahu sang wanita, "Tidak kusangka anak manja sepertimu akan menjadi penerus ratu.."
"Waktu memang berjalan lebih cepat untukmu.." ucapnya dengan tawa geli yang tercetak di wajah tampannya.
Wanita itu tidak menjawab, dia hanya terdiam, sibuk memperhatikan sosok luar biasa tampan dihadapannya ini.
"Hm? Ada masalah dengan wajahku?" tanya sang Alpha dengan tatapan bingungnya.
Wajah wanita itu seketika memerah padam, terutama ketika tangan sang Alpha menyentuh keningnya, membuatnya sontak memalingkan wajahnya kearah lain.
"Kau demam.." gumamnya pelan dengan wajah cemas. Dia sedikit melirik keluar, mendapati badai salju yang bringas diluar sana, membuat salah satu jendela yang memiliki celah tertimbun butiran salju sebelum kembali mendudukkan dirinya diatas ranjang.
"Sepertinya, mungkin karena beberapa hari yang lalu aku memakai pakaian tipis selama penobatan berlangsung" Dia menyandarkan tubuhnya di atas dada bidang pria itu, menikmati aroma musk yang menguar dari balik kemeja putih itu.
Pipi wanita itu menggembung, menunjukan jika dirinya saat ini tengah kesal, "Aku lelah, ayah tidak pernah membiarkanku beristirahat walau sejenak. Dia sibuk memperkenalkanku dengan para petinggi kerajaan.." ucapnya sembari memejamkan mata.
Pria itu hanya menghembuskan nafasnya pelan, membiarkan sang wanita melepas penat diatas tubuhnya. Tangannya beralih mengelusi puncak kepala sang wanita lembut, membuat celotehan manja beserta keluhan terpendam keluar dari bibir sang wanita.
Pria itu hanya tersenyum tipis, diam dan mendengarkan, seakan sudah sangat terbiasa dengan sikap manja sang wanita.
Kening pria itu sedikit berkerut ketika merasa tubuh wanita itu kian menghangat, membuatnya sedikit membalas pelukannya.
"Tunggu"
Pria itu segera beranjak dari ranjang, beralih menuangkan segelas teh hangat, sebelum menyuapi wanita itu hati hati dengan sendok kecil.
Wanita itu hanya terus terdiam, terutama ketika pria itu memberinya perhatian yang berlebih. Senyuman tipis terukir di wajahnya, dia memalingkan wajahnya kearah lain,
"Kau sudah menemukan matemu?"
Tertegun, tangan pria itu seketika terhenti. Untuk beberapa saat dia tidak dapat mengembalikan irama jantungnya.
"Hmph.. Sepertinya sudah" ucapnya sembari mengusap wajahnya pelan, menyembunyikan senyuman kecewa yang terpatri di bibirnya.
Perlahan dia berusaha bangkit dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar, menatap bulan yang kian terang.
Melirik kearah sang Alpha yang masih terduduk dalam pikirannya, "Kau tahu? Setiap saat para tetua selalu mengatakan padaku.. "
"Tentang pernikahanmu"
Suara wanita itu terdengar bergetar, penuh akan keraguan dan keputusasaan. Dia menatap sang rembulan pengubah takdir, berharap jika ini semua adalah mimpi yang semu.
Sang Alpha hanya terdiam, tidak berniat memberi pernyataan apapun. Tatapannya terlihat dingin, sangat dingin lalu sedetik kemudian dia sudah berdiri dihadapan sang wanita.
Tangannya bergerak membelai pipi sang wanita, menyingkirkan anak rambut yang tertiup angin malam.
"Istriku masih belum terbangun.." tangannya menangkup butiran salju yang turun dari atas kusen jendela, "Aku akan mengangkatnya menjadi Luna packku"
Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, merasa adanya sesuatu yang janggal disana,
"Luna? Bukankah pernikahan dan pengangkatan adalah dua hal yang berbeda?"
Senyuman tipis terukir di bibir sang Alpha, dia memegangi bahu wanita itu, membuatnya segera mendongak kearahnya, "Benar, tetapi aku ingin mengangkatnya menjadi Luna terlebih dahulu.."
"Aku akan menandainya terlebih dahulu sebelum bersatu" dia sedikit melirik kearah sang wanita, "Kau tahu ritual itu bukan?"
Mengambil sebotol wine, pria itu mengangkat tubuh sang wanita, membawanya menuju sofa hangat perapian.
Tangannya beralih membuka botol wine itu dengan jemarinya, menuangkannya perlahan di sebuah gelas kaca berukuran kecil sebelum menyodorkannya tepat dihadapan sang wanita.
"Aku mencintainya, dia sangat cantik" ucapnya sembari menenggak satu botol penuh alkohol.
"Cantik.." wanita itu sedikit mengelus rahangnya perlahan, sebelum kembali menatap sang pria yang telah larut didalam alkohol.
"Kudengar kau sudah mendapatkan lamaran dari berbagai putri Alpha lain?"
Pria itu sedikit mendongak, menampakkan wajahnya yang sedikit memerah. Dia memutar matanya kesal, "Aku kesal sekali. Ingin menolak pun tidak bisa karena akan memperburuk hubungan.."
"Kau terlalu tampan, cobalah untuk memperburuk diri" jawab wanita itu acuh sembari beranjak dari duduknya. Mengabaikan tatapan sang pria yang tampak tak rela akan kepergian wanita itu.
"Kenapa hanya aku? Kau pun menolak ajakan para pria yang melamar bukan?"
Langkah wanita itu segera terhenti, dia berbalik, menatap dalam kearah sang Alpha dengan tatapan yang sulit diartikan.
Helaan nafas pelan keluar dari bibirnya, "Memangnya apa yang kuharapkan darimu.."
"Kita berdua sudah memasuki fase perjodohan. Kau tahu para tetua sudah memaksaku untuk mencari pasangan bukan?" Pria itu segera beranjak dari sofa, berjalan keluar dari ruangan. Dia berbalik, sedikit melirik kearah sang wanita yang masih sibuk berkutat dengan pikirannya.
"Aku tidak mengantuk, kau tidur duluan saja, nanti aku menyusul setelah bekerja" ucapnya sembari berjalan keluar dari ruangan.
Suasana kembali hening, hanya gemerisik api yang terdengar memenuhi ruangan.
Wanita itu berdiri dari tempatnya, berjalan menuju ranjang sang Alpha sebelum membaringkan tubuhnya diatas sana.
Jemari lentiknya menyentuh selimut tebal yang selalu menemani sang Alpha setiap malam, menghirup aroma musk yang terasa lembut.
"Mengapa kau tidak mengerti?"
Bulir bening mengalir dari sebelah pipinya, "Aku hanya mencintaimu.. Tidakkah kau melihat semua pengorbananku saat ini?"
???
