Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Murid Baru

Setibanya di sebuah koridor yang akan membawa ke anak tangga lantai dua, aku berjalan sangat santai bagai tidak terjadi apa pun. Walau pasang mata melihat tanpa tahu sebab, bahkan aku tidak tertarik sama sekali pada wanita di kelas ini. Mungkin karena semua yang tampak oleh mata terlalu biasa saja, dan tak ada yang spesial menurutku.

Beberapa menit kemudian, aku pun di datangi oleh seorang guru yang sangat cantik, dia berlari dari arah depan dan membawa tas samping. Buku pun banyak dia pegang, kemungkinan ini adalah guru sejarah atau biologi di sekolah ini. Dengan memberhentikan langkah, aku menunggu guru tersebut untuk menemui.

“Hai, kamu anak baru ya di sekolah ini?” tanyanya, terlihat frendly dan begitu ramah ramah padaku.

“Hmm … iya, ibu kok tahu?” tanyaku balik.

“Ya, karena kamu gak pernah terlihat sebelumnya. Kalai boleh tahu, kamu pindahan dari mana?” tanyanya lagi, sekarang mengenai masa laluku yang indah.

“Di SMK tunas bangsa, di sana adalah sekolah pertama saya.”

“Oh, selamat datang di sekolah baru ya. Kamu mau masuk kelas berapa emangnya?”

“Saya akan masuk ke kelas sebelas satu, karena kepala sekolah bilang begitu ketika telpon an dengan ayah saya kemarin,” paparku menjelaskan panjang kali lebar.

“Kebetulan sekali kalau gitu, saya adalah guru sejarah dan tujuan kita sama. Kalau begitu kita masuk sama sama ya, sekalian nanti akan saya perkenalkan pada semua sahabat baru kamu di kelas. Mereka agak resek, kalau ada yang merasa aneh kamu harus maklum ya.”

Tanpa menjawab aku hanya mengangguk saja, akhirnya kami pun masuk ke dalam kelas tersebut. Yang di huni banyak siswa dan siswi sekitar empat puluh orang, begitu asing wajah wajahnya. Bahkan aku tidak pernah menyangka kalau jelas sebelas satu akan seramai ini dan begitu banyak sekali wanitanya di bandingkan lelaki.

“Selamat pagi semuanya …,” teriak guru sejarah berkacamata itu.

“Selamat pagi bu …,” jawab semua siswa.

“Tahu enggak, sekarang ibu membawa siswa baru loh, dia tampan bukan?”

“Itu bukannya cowok yang tadi di parkiran ya, yang aku bilang seperti pangeran Korea. Akhirnya masuk juga dia di kelas ini, aku kira akan ke mana dia pergi,” pekik seorang siswi di depanku.

“Baiklah, sekarang kamu perkenalkan diri,” kata guru sejarah.

“Oke, selamat pagi semua.”

“Selamat pagi ….,” jawab mereka serempak.

“Perkenalkan, aku adalah sandi Prakasa, siswa pindahan dari SMK Tunas Bangsa, dan hobi main basket.”

“Wah pantas aja tinggi, ternyata pemain basket ya … okelah kamu duduk di samping Raka ya sandi …,” kata bu sejarah.

Dengan mengangguk ringan, aku pun berjalan ke arah bangku yang paling belakang. Di sepanjang koridor, banyak sekali siswi yang menatap dan selalu mengarah ke hadapanku, entah apa yang mereka cari sampai seperti itu ketika menatap. Sementara Raka di samping sangat cuek, aku adalah orang paling cuek kalau sahabatnya seperti ini.

Kami pun berdiam saja seraya mendengarkan ucapan bu guru di papan tulis menjelaskan materinya. Aku yang sedari tadi memikirkan kejadian aneh di rumah, membuat ini adalah sebuah hal yang harus aku cari tahu kenapa mereka bisa seperti itu, antara ayah dan tente Lastri. Kalau meraka bukan pasangan suami dan istri, tak akan mungkin.

Apalagi di sekitar rumah merupakan tempat yang sangat di hargai, bertetangga dengan seorang kepala desa dan ada juga kepala camat di antaranya. Perumahan itu pun aku merasa sangat asing, seperti orang ambigu dengan semua wilayah baru tersebut. Saking tidak fokusnya, aku tidak sadar kalau sedang menjatuhkan sebuah pena di bawah meja.

Seraya merundukkan kepala ke bawah meja, aku pun mengambil pena itu yang ternyata telah bergerak agak jauh dari tempat kamu duduk, dan seketika terlihat seorang siswi yang sedang merubah bagian yang paling di sukai para lelaki di dunia ini. Entah kenapa aku dapat melihat dengan sangat jelas, kalau dia seperti sedang melakukan hal tersebut menggunakan jarinya.

“Baiklah anak anak, kalian kerjakan soal ini karena ibu akan permisi sebentar ke luar, jangan ada yang bersuara ya karena nanti akan mengganggu kelas lain oke,” ucap bu guru.

“Baik bu …,” jawab kami serempak.

Dalam hitungan menit, berjalan dan berubah menjadi jam. Bel pun berbunyi, aku yang sudah sangat paham konsep pengerjaan materi soal kemudian mengambil ponsel seraya menatap layar ponsel tersebut. Dari arah depan, seorang siswi pun datang menemui aku berjumlah tiga orang. Wajahnya sangat asing, di kala semua sedang bergerak pergi aku tidak mampu beringsut juga.

“Hai,” katanya, dia menatap serius sambil berkacak pinggang.

“Ya,” jawabku singkat, dan memasukkan semua buku di dalam tas.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya seraya menunjuk sebuah bangku yang telah kosong.

“Boleh, silakan aja,” titahku menjawabnya.

“Terima kasih.” Dia pun duduk sambil menatap aku secara saksama, tanpa peduli akhirnya aku menghindari tatapan darinya yang seperti memangsa orang saja.

“Kamu pindahan ya? Kenalin, aku adalah Olivia. Aku merupakan wanita paling cantik di sekolah ini, kelasku ada di samping sana,” paparnya menjelaskan.

“Aku tidak bertanya kamu paling cantik atau tidak,” jawabku ketus.

“Aku bisa kok membuat kamu menjadi pria yang patuh sama aku, karena kamu merupakan lelaki yang ada dalam tipe aku selama ini,” paparnya lagi.

“Tapi maaf, kamu bukan tipe aku.” Tanpa panjang kali lebar, aku pergi meninggalkan mereka bertiga dan ke luar sangat kencang.

Baru pertama kali masuk di sekolah baru, sudah mendapatkan sebuah sirkel yang tidak membuat nyaman. Tetapi ini adalah faktanya, dan aku berjalan sambil menuju arah lantai satu. Di sepanjang perjalan aku hanya menatap depan, terlihat banyak sekali siswa serta siswi di sini.

Tanpa sengaja aku menabrak seorang wanita di hadapan yang sedang membawa buku.

Gubrak!

“Aduh … kaki aku sakit banget,” ucapnya seraya menyusun buku itu.

Dengan sangat cepat aku menundukkan badan dan membantunya, dia mengerlingkan wajah seraya memasang tatapan sangat marah.

“Kalau jalan hati-hati,” katanya seraya mengambil buku di pelukan ku sangat paksa.

“Maaf, maafkan aku yang gak sengaja,” titahku lagi.

Wanita itu pergi dengan sangat cepat. Siswi berkacamata itu pun berjalan sangat kencang, membuat aku penasaran dia siapa. Karena tidak ada di dalam kelasku, wajahnya mampu mengingatkan aku pada mantan kekasihku ketika di sekolah lama. Namun, aku tidak mampu mengatakan apa pun di hadapannya tadi.

Sambil berpikir dan mengembalikan fokus, aku duduk di depan sebuah taman yang ada di depan sekolah sambil merogoh sebuah permen karet dari dalam kantong celana. Sambil menikmati semua pemandangan indah di taman ini, tiba tiba seorang lelaki datang menemui.

“Boleh duduk di sini?” tanyanya padaku.

“Boleh,” jawabku.

“Terima kasih,” katanya lagi, kemudian dia memberikan makanan padaku.

Karena memang tidak mau memakan apa pun, aku menggeleng saja. Dia menarik lagi, dan menghabiskan semuanya sendirian. Kami pun saling tukar tatap, sepertinya dia adalah Raka. Tidak banyak omong, sama seperti aku. Dan kami pun sama sama diam dalam hal ini, aku yang sengaja tidak may mengenal siapa pun dalam sebuah sekolah.

“Kamu kenapa diam aja?” tanyanya padaku.

“Karena aku adalah orang yang gak suka banyak cerita, semua yang ada dalam hidupku monokrom. Dan tidak semua orang dapat paham akan itu,” paparku menjelaskan.

“Oh, aku juga sama. Senang berteman denganmu, ini adalah pertemuan yang sangat membuat aku terkesan. Karena baru sekarang aku di terima duduk di taman ini, sebelumnya tidak pernah ada yang pernah mau berteman,” paparnya berkata.

“Kenapa?” tanyaku sambil menoleh.

“Ini adalah sekolah rimba, siapa yang kuat dia akan menjadi penguasa,” jelasnya sembari membuat aku bertanya besar padanya.

“Ma maksudnya?”

“Entar kamu akan tahu sendiri, bel udah berbunyi dan kita harus masuk. Kalau udah bel masuk jangan lama lama di luar, kalau gak kau akan menyesal telah memilih sekolah ini sebagai pilihan dalam kehidupan.” Raka bangkit dari badan dan pergi meninggalkan aku begitu saja.

Bersambung …

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel