3. Hari Pertama Di Rumah Mama
“Sandi … bangun sayang udah pagi, kamu gak sekolah?” teriak seorang lelaki dari luar kamar, dan membuat aku tergugah untuk bangkit.
Setelah mendengar banyak sekali keanehan di rumah ini, membuat persepsiku berubah sejak awal masuk ke dalam ruangan ini. Ya, bagaimana tidak semula aku menganggap kalau rumah ini sejuk dan nyaman. Nyatanya tidak seperti itu, tak berapa lama aku bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju ke luar ruangan seraya menenteng handuk.
Yang aku pilih saat ini adalah ruangan kamar yang ada di lantai satu, karena kamar mandi di lantai atas hanya di pakai oleh ayah dan tante Lastri saja. Entah kenapa mereka tampak sangat akrab bagai orang yang pacaran, dan Setibaya di lantai satu aku pun langsung membersihkan badan seraya menyalakan shower. Dengan bersenandung di dalam ruangan tersebut, kemudian aku memberikan sampo di rambut sangat banyak.
Setelah selesai, aku berjalan kencang menuju ke sebuah tempat yang tak lain adalah cermin datar. Pantulan sosok diri terlihat jelas di cermin itu, begitu banyak yang terjadi padaku. Salah satunya adalah keanehan tentang bentuk badan, kumis yang mulai muncul dan ada juga bulu halus semakin memanjang di beberapa bagian badan.
Ternyata ini adalah sebuah fenomena yang sangat sesuai dengan masa puber di pelajaran biologi ketika ada di sekolah. Namun, aku masih belum paham benar apa yang tengah aku alami sekarang. Selang beberapa menit memandang perubahan di badan, aku pun berjalan ke arah sampiran dan mengambil handuk untuk mengeringkan badan.
Tak berapa lama, seseorang datang dan masuk begitu saja dengan menghentak pintu sangat keras.
Gubrak!
“Astaga! Tante!” pekik ku dengan nada suara sangat keras, dan handuk pun terjatuh dari badan, membuatnya basah.
“Ma maaf ya sandi, tante kira gak ada orang di dalam kamar mandi. Ternyata ada kamu,” katanya menjawab, sambil keluar dari ruangan.
Aku pun langsung menutup pintu sangat rapat dan membuka pintu juga untuk segara ke dalam kamar. Di sepanjang perjalanan, tidak henti hentinya aku berpikir tentang apa yang terjadi barusan. Karena tante Lastri sangat membuat diri ini begitu malu, apa lagi sekarang aku tidak mengenakan apa pun. Dengan sangat cepat, aku memakai baju seragam abu abu dan memakai dasi sangat rapi.
Ini adalah hari pertama pergi ke sekolah baru, yang tidak jauh dari rumah. Di dalam sebuah dapur ada ayah serta tante Lastri, ternyata mereka lebih dulu berada di sana sembari meneguk susu hangat. Aku yang datang terlambat, dengan sangat cepat menuju ke arah mereka berdua.
“Eh, anak ayah udah ganteng. Sini makan dulu sama kita, kamu mau jajan berapa sayang?” tanya ayah sangat baik, ini adalah kali pertama dia menawarkan yang jajan padaku.
Biasanya dia telat memberikan uang jajan, bahkan selalu meletakkan di bawah perlak atau bantal nya saja. Aku pun tersenyum dan meletakkan tas di atas lantai, kemudian kami meneguk Susu bersama dan mengunyah sarapan pagi. Ayah sudah harus bertugas sekarang, yang kebetulan dekat dengan rumah ini.
“Kalau naik motor jangan ngebut ngebut ya sandi, ayah gak mau kalau kamu ugal ugalan seperti anak anak lain, itu motor baru ayah beli kamu rawat ya,” ucap ayah.
“Iya ayah … sandi tahu kok, gak perlu ayah bilang lagi,” jawabku sedikit ngomel.
“Sekarang makan yang banyak ya mas, karena kamu harus kerja keras untuk biaya sandi dan yang lainnya. Ini aku ambilkan lagi nasi,” kata tante Lastri.
Penglihatan tidak lazim terlihat jelas sekarang, karena keduanya sangat romantis dan aku tidak dapat membedakan hubungan seperti apa yang ada pada mereka. Entahlah, mungkin ini hanya perasaan aku saja. Beberapa menit setelahnya, aku pun selesai makan dan minum bersama ayah. Ini adalah saatnya pergi ke sekolah takut nya malah terlambat, dengan membangkitkan badan, aku menggendong tas ransel di pundak.
“Ayah, aku pergi dulu, tante aku pergi dulu.” Dengan menyalim tangan mereka berdua, aku pun pergi begitu saja.
“Iya hati-hati ya,” kata tante Lastri.
“Hati hati kamu sandi, jangan ngebut di jalanan ya,” nasihat ayah.
“Iya ayah …,” jawabku seraya berjalan meninggalkan mereka.
Bersama dengan motor yang baru saja di beli ayah, aku ke luar dari dalam rumah dan bergerak menuju halaman paling depan. Lalu, di dalam kantong celanaku tidak ada kunci motor. Alhasil membuat diri ini harus masuk lagi ke dalam rumah dan mencarinya. Seketika aku teringat kalau kunci telah aku letakkan di dalam ruang kamar.
“Astaga … kenapa sampai lupa sih, kalau kunci motor kan aku letakkan di dalam kamar,” kataku sendiri seraya menepok jidat.
Sekarang saatnya aku berjalan masuk dari pintu depan. Dan dengan langkah yang sangat laju, akhirnya tibalah di sebuah ruang dapur. Namun, ayah dan tante Lastri tidak ada di sana. Bagaimana tidak, baru saja di tinggal beberapa menit sudah tak ada lagi orangnya. Tanpa peduli dengan meraka berdua, akhirnya aku pun menaiki anak tangga lantai dua dan langsung berjalan ke arah kamar.
Kini tibalah aku di dalam kamar dan ternyata kunci itu terlihat jelas di kedua bola mataku, dengan sangat cepat aku mengambilnya seraya mengomel sendirian.
“Ternyata di sini kamu, kenapa gak terlihat tadi ya. Huh …,” gumamku.
Sekarang adalah saatnya pergi sekolah, dan terdengar lagi suara aneh yang datang dari kamar ayah. Ya, siapa yang tidak kepo karena suara itu lebih besar dari biasanya. Tadi malam sempat terdengar juga, akan tetapi aku menyangka kalau itu adalah setan atau pun hantu penjaga rumah ini.
Namun, sekarang aku malah kepo dan mendekat ke arah pintu kamar mereka. Beberapa kali terdengar kalau suaranya samar, akan tetapi setelah aku mendekatkan telinga di permukaan pintu barulah suara itu terdengar sangat keras.
“Terus sayang … enak banget,” ucap seorang wanita yang bernada suara seperti tante Lastri.
“Bagaimana sayang, apakah yang ini lebih terasa dari tadi malam?” tanya suara lelaki, dan nada nya adalah ayahku.
“Yah … kenapa udah ke luar aja sih, kan aku belum sampai sayang,” kata wanita itu lagi seperti merasa sangat kesal.
“Aku juga gak tahu sayang, lagian ini bukan dari keinginan. Hmm … ya udah maaf sekali lagi ya, entar malam kita akan ulangi,” kata ayahku lagi.
“Udah gak usah, sedangkan kamu aja mau pergi bagaimana bisa nanti malam. Sekarang kamu kerja ajalah mas, aku gak tahan kalau terus begini. Bikin bete aja, baru juga 3 menit udah gak bisa bertahan,” jawab seorang wanita itu sambil kesal.
Akhirnya aku pun berpikir di ambang pintu, dan mengintip dari jendela kamar mereka. Ternyata keduanya sedang beraktivitas di pagi hari, membuat jantungku berdecak sangat kencang. Ini adalah pertama kalinya aku melihat seorang wanita dan lelaki yang sedang beraktivitas. Biasanya aku hanya tahu di sebuah video ponsel atau laptop sahabat.
Sekarang nyata, kalau pelakunya adalah ayahku sendiri dan tante Lastri. Dalam hati bertanya tanya kenapa mereka melakukan hal itu di pagi hari, dan aku sangat gemetar. Selang beberapa menit berdiri, akhirnya aku pun berjalan menuju ke lantai satu sambil menyibak keringat yang turun bersamaan.
Dengan menggunakan motor, aku pergi dan melaju ke arah jalan lintas untuk menuju ke sekolah baru. Di sepanjang perjalan aku tidak fokus karena melihat ayah yang sedang bersama wanita lain di dalam sana, itu adalah tante Lastri. Dan tidak ku sangka sebelumnya, kalau keduanya juga punya ikatan di balik rasa amarahku yang mengatakan ayah tidak boleh menikah lagi.
Kini tibalah aku di depan halaman sekolah, laju motor membawaku masuk ke dalam dengan gaya bagai dilan dalam sebuah serial film. Dengan gagahnya aku menaiki motor tril yang baru saja di belikan oleh ayahku beberapa hari lalu. Semua mata tertuju padaku, bahkan para wanita di setiap jalan ketika melintas.
“Itu siapa sih, ganteng banget,” ucap cewek cewek.
“Astaga … dia manusia atau boneka ya, ganteng banget sumpah, itu anak baru bukan sih?”
“Sepertinya anak baru, karena aku belum pernah melihat dia ada di sekolah ini sebelumnya. Aku dapat pastikan, kalau dia akan menjadi gebetan aku selanjutnya.”
“Mimpi kamu … dia akan menjadi pangeran aku pastinya, kalian mengubur mimpi dalam dalam untuk mendapatkan cintanya.”
Begitulah reaksi para cewek yang ada di sekolah ini ketika aku datang, dan dengan cepat akhirnya aku memarkirkan motor di parkiran. Dengan membereskan baju serta celana, kini saatnya aku menggulung lengan baju yang memang sudah pendek itu. Otot otot akibat sering renang pun terlihat, menambah ketampanan yang ada dalam wajahku.
“Hai cowok ganteng … boleh kenalan gak?” ucap para wanita yang berjumlah empat orang.
“Hai,” jawabku sangat cool dan begitu singkat.
“Astaga … dia cool banget sih, buat aku gak bisa tahan napas tau enggak ….”
Bersambung …
