5. Aura Tante-Tante
Karena jam masuk kelas udah datang, aku pun bergegas berjalan sangat laju menuju ruangan semula. Masih ada pelajaran terakhir, yang akan di bawakan oleh guru laki-laki. Entah kenapa, kalau yang mengajari aku adalah guru perempuan ada sedikit rasa senang di bandingkan laki. Itu tidak dapat di pungkiri, karena di sekolah awal aku merasakan hal sama.
Sekarang tibalah aku di dalam ruangan, yang sudah lumayan ramai dan para siswa pun masuk dengan membawa makanan sisa di tangannya masing-masing. Dan dengan segera kami memulai pelajaran, walau pun sedikit tidak suka pada pembawaan guru ini, aku akan senantiasa belajar sangat maksimal agar dapat lulus tepat waktu.
Kelulusan ini adalah hal penting untuk aku, mendapatkan nilai baik karena cita-cintaku yang ingin menjadi seorang tentara seperti ayah. Ya, walau pun sebenarnya aku tidak suka akan tetapi dorongan dari ayah sangat kuat agar anaknya menjadi seperti dirinya. Mungkin karena kami turun temurun adalah seorang abdi negara, dan salah satu dari anaknya harus ada yang menggantikan.
Kalau bukan aku siapa lagi, soalnya anak ayah cuma aku saja. Selang beberapa menit melakukan pembelajaran, akhirnya selesai. Dan kami harus kembali pulang untuk beristirahat, sementara aku belum mendapatkan hal spesial di sekolah ini selain para siswi yang sedikit resek dengan memberikan ancaman dan memaksa untuk menyukainya.
Dia adalah Olivia, wanita yang sudah mengancam aku tadi. Entah siapa dia, sampai sampai berani berkata seperti itu padaku. Dengan memasukkan semua buku di dalam ransel, akhirnya ruangan pun sunyi dan para siswa telah ke luar semuanya. Tinggal aku dan Raka saja yang ada di dalam ruangan kelas ini.
“Kamu gak pulang?” tanyaku pada Raka, dia ada di samping.
“Bentar lagi, aku baru akan pulang kalau sudah setoran,” jawabnya sangat membuat aku terpaku.
“Setoran, maksud kamu setoran apa ya?” tanyaku lagi.
“Adalah, kamu gak boleh tahu. Sekarang kalau kamu mau pulang silakan aja, buruan sebelum mereka datang,” pungkasnya menyuruh aku agar pergi dari ruang kelas.
‘Ini anak kenapa ya, dia malah menyuruh aku cepat ke luar. Katanya lagi butuh sahabat? Entahlah, menang aneh manusia di sekolah ini,’ gumamku dalam hati, kemudian dengan cepat aku bangkit dan mengelus pundaknya perlahan.
“Kalau begitu aku pulang duluan ya,” kataku seraya meninggalkannya, dia hanya mengangguk dan kini tibalah aku di ambang pintu.
Baru beberapa langkah ke luar, beberapa pria pun datang dan memakai seragam sekolah seperti orang yang sangat tidak menyukai sesama mereka. Aku menatap semuanya, sekitar lima orang akan tetapi parasnya tidak begitu maksimal. Akhirnya mereka menatap aku juga, dan sangat sinis ketika melempar tatapan.
Satu persatu dari meraka masuk ke dalam kelas, aku yang sudah sangat curiga akan siapa mereka kemudian melanjutkan berjalan ke depan. Namun, ada sebuah hal yang mengganjal. Ini adalah menyangkut Raka di dalam ruang kelas, anak yang terlihat sangat cupu di sekolah. Namun, kalau aku kembali lagi ke dalam dia akan marah karena tadi sudah di peringatkan untuk pergi dengan cepat.
Akhirnya aku pun berjalan lagi tanpa menghiraukan Raka yang ada di dalam ruang kelas. Sambil berlari, akhirnya tibalah aku di parkiran motor dan mengambilnya dengan sangat cepat. Dari samping kanan, seorang wanita melintas memakai kacamatab bulat dan menoleh ke arahku. Dia adalah siswi tadi, akan tetapi terlihat sangat marah.
Karena aku merasa bersalah, akhirnya aku pun mengejar dia sebentar dan mendekatinya. Wanita tersebut menoleh sembari memelotot tajam, ini adalah tatapan paling membuat aku tidak mampu berkata apa pun. Dengan menggaruk kepala beberapa kali, dia pun berhenti dari posisi semula yang berjalan sangat kencang.
“Kamu ngapain ada di sini terus? Aku mau pulang, kamu gak usah ngikuti aku!” pekiknya sangat ngegas.
“Aku hanya mau minta maaf aja sama kamu, karena tadi aku gak sengaja udah menabrak kamu di lantai satu. Itu aja kok, kenapa malah marah?” tanyaku panjang kali lebar.
“Aku gak butuh kata kata maaf dari kamu, sekarang aku mau pulang sebelum semuanya berkata kalau aku sangat murahan,” pungkasnya, lalu dia pergi begitu saja.
“Hmm … aneh banget kamu,” kataku seraya memutar badan dan langsung berjalan laju ke arah parkiran motor.
Kini tibalah aku di parkiran motor, dan memakai helm. Kendaraan sudah siap melaju, dan di sepanjang perjalan aku berpikir banyak hal. Salah satunya adalah, banyak sekali hal aneh yang belum sempat aku ketahui apa penyebabnya. Para siswi seperti ketakutan, dan ada juga siswa yang ketakutan. Entah sistem apa yang terjadi dalam ruang lingkup sekolah ini.
Beberapa menit di perjalanan, kini tibalah aku di halaman rumah dan terlihat dari samping jemuran kalau tante Lastri sedang menjemur pakaian. Dia hanya mengenakan handuk saja, menutup setengah badannya. Aku pun menuruni motor seraya melepas helm. Ini adalah pertama kali aku melihat wanita seperti tante Lastri.
Badannya yang sangat bagus dan cantik, akan tetapi dia adalah orang yang sangat manja kalau menurut aku. Karena suaranya saja sangat terdengar jelas, seperti ada aura aura tente tante yang ada di sebuah aplikasi live aplikasi. Selang beberapa menit berdiri, aku masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke lantai dua.
Seragam pun terlepas satu persatu selain celana panjang tanpa singlet, akhirnya aku selamat sampai di rumah dan sekarang telah berbaring di atas dipan. Dengan memainkan sebuah ponsel, aku menatap layar aplikasi berwarna hitam itu. Banyak sekali para wanita yang mengenakan seragam abu abu tengah berjoget di dalamnya.
Ya, hampir semua pertemanan aku adalah perempuan yang suka dengan jogetaj setiap hari. Tak berapa lama, sebuah ketukan pintu pun terdengar dari arah luar kamar.
Tok tok tok !
“Bentar …,” teriakku dengan keras, dan langsung membangkitkan badan.
Tok tok tok !
“Iya loh bentar … aku akan buka,” jawabku lagi.
Kini aku membuka pintu dan menatap secara saksama, ternyata dia adalah tente Lastri sedang mengenakan handuk yang di pakai ketika menjemur pakaian di damping rumah.
“Sandi, kamu udah pulang sekolah?” tanyanya.
“I Iya, aku baru aja pulang. Ada apa ya tante?” tanyaku balik.
“Bisa bantuin tante enggak?”
“Bantuin apa ya tante?” tanyaku lagi.
“Itu loh, di dapur ada gas yang belum di pasang. Tante mau pasang tapi tangan tante basah, kamu bisa kan bantuin pasang gas. Karena mau masak buat ayah kamu dan kamu juga nih,” titahnya menarik napas panjang.
“Oh bisa, kalau cuma gas aja sandi bisa kok. Di mana gasnya, bisa bawa aku ke sana?”
“Oke, kamu jalan duluan entar tante akan ikuti kamu kok.”
Bersama dengan anggukan, aku pun berjalan dan menuju ke pantai satu. Ponsel yang tadinya aku mainkan, sekarang sudah ada di atas dipan. Dan beberapa menit berjalan tibalah kami di dalam dapur, sementara tante mengikuti dari arah belakang. Dia menunjukkan gas itu dan langsung berdiri di hadapan.
“Ini gasnya tante?” tanyaku.
“Iya sandi, kamu benar bisa kan memperbaikinya? Kalau gak bisa biar nunggu ayah kamu aja nanti,” paparnya padaku.
“Oh enggak, aku bisa kok.”
Gas pun aku perbaiki dan memasang seperti petunjuk, akan tetapi kedua mataku tidak hanya sekadar fokus pada sebuah tabung gas di hadapan. Namun, aku malah beringsut menatap ke bagian kaki tante yang terlihat putih dan mulus itu. Entah kenapa, semua yang ada padanya seperti barang sehat dan bergizi.
Kenapa aku bisa mengatakan seperti itu, karena tidak ada sedikit pun celah yang terdapat padanya. Lelaki pasti akan merasa beruntung kalau bisa mendapatkan dia. Dalam beberapa kali perbaikan, akhirnya kompor pun menyala seperti yang kami inginkan. Dan aku menatap sejurus ke arah tante Lastri lagi yang sedang memegang handuknya.
“Gimana sandi, apakah sudah bagus gasnya?” tanyanya lagi padaku.
Dangan malu-malu aku menjawab, “udah kok, semuanya sudah bisa dan sekarang tante bisa pakai lagi gasnya.”
“Wah, terima kasih banget loh kamu baik banget. Ternyata anak mas Bram bisa di andalkan, dan gak perlu nyuruh si somad di luar. Oh, ya, kalau kamu masih mau lanjut tidur silakan aja biar tante nanti akan masak sendirian,” katanya padaku.
“Hmm … okelah kalau begitu. Tapi kalau misalnya butuh apa-apa tante jangan sungkan untuk memanggil sandi ya, karena kan di sini ada yang harus di lakukan sama anak laki,” paparku menawarkan.
Dia mengangguk dan tersenyum malu. “Iya kalau tante ada perlu akan segera memanggil kamu kok. Sekarang kamu tidur aja lagi, tante tahu kok kalau kamu capek baru pulang sekolah. Oh, ya, sepatu kamu jangan di bawa masuk ke kamar ya entar bau loh ruangannya.”
“Beres tante, kalau gitu sandi ke atas lagi ya.”
Tante mengangguk dan menjawab, “iya, terima kasih ya sandi,” katanya, dan aku meninggalkan dia seraya berlari menuju ke lantai dua lagi.
Bersambung …
