Bab 7. Mau Godain Saya Lagi?
Siang itu, di bawah pohon besar yang rimbun, Dani, Aurel, dan Irene duduk melingkar, dikelilingi oleh bunyi gemerisik daun dan kicauan burung. Di tangan mereka masing-masing, terdapat kertas polio putih yang hampir penuh dengan tulisan tangan, yang diwarnai dengan coretan-coretan yang menunjukkan betapa frustasinya mereka. Sinar matahari menyusup di antara dedaunan, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang merasa hangat.
“Gue masih heran, kok ada dosen kaya Pak Riko. Makalah tulis tangan, biar apa coba!” Dani mengerutkan dahi, menekankan kata-kata terakhirnya seolah itu adalah seruan untuk membebaskan diri dari belenggu tugas yang menyesakkan.
Aurel menatap Dani dengan tatapan mengerti. “Iya, sih. Tapi katanya dia mau kita lebih ‘merasakan’ apa yang kita tulis. Biar kita baca,” jawabnya sambil menggaruk kepala. Dia tahu Dani selalu berapi-api, terutama saat menghadapi tugas yang tampaknya tidak masuk akal.
“Biar kita baca? Tapi nggak gini juga kali! Kenapa mesti pakai tulis tangan? Dosen lain udah modern, kita masih terjebak di zaman batu,” balas Irene, mencoret-coret kertasnya dengan marah. Raut wajahnya menunjukkan betapa lelahnya dia berjuang melawan tumpukan kertas di depannya.
“Ya udah, nikmati saja, guys! Yang penting kita segera lulus,” Aurel mencoba mengalihkan perhatian mereka. Dia selalu jadi penengah, berusaha menjaga semangat di tengah segala keluhan yang mengalir deras.
Mereka kembali melanjutkan menulis, meski bibir mereka tak berhenti mengomel tentang Pak Riko, dosen ganteng namun kejam itu. Memang, wajahnya yang tampan sering kali membuat mahasiswi lain terpesona, tetapi di balik senyumnya tersimpan ekspektasi yang tinggi dan tuntutan yang berat.
Di sela-sela penulisan, mereka sesekali melirik ke arah sekelompok angsa yang sedang berjalan anggun di dekat kolam. Angsa-angsa itu tampak santai, berkelok-kelok seolah tidak memiliki beban pikiran. Dani menarik napas dalam-dalam, seolah berharap bisa menyerap ketenangan mereka.
“Seandainya kita bisa jadi angsa, ya. Hidup tenang tanpa harus nulis makalah,” ujar Dani, senyum miring menyelinap di wajahnya.
“Kalau jadi angsa, kita juga pasti bakal diomongin orang. ‘Lihat tuh, angsa-angsa, hidupnya enak, tapi bodoh!’” Irene menyahut, meniru nada menghakimi. Mereka semua tertawa, walaupun hanya sebentar, sebelum kembali tenggelam dalam kesunyian tugas.
Di tengah kesibukan itu, Aurel mencuri pandang ke arah Dani. “Lo udah nulis berapa halaman, Dan?” tanyanya, berusaha mencari pelipur lara di tengah kebisingan pikirannya.
“Baru tiga, masih jauh dari yang diharapkan. Gila, makalah ini harus sepuluh halaman!” Dani menjawab sambil menatap kosong ke kertasnya. “Kenapa sih dia nggak bisa kasih tugas yang normal, kayak presentasi atau kerja kelompok?”
“Karena dia pengen lihat siapa yang bener-bener mau belajar,” Aurel mencoba menjelaskan, meski dalam hati dia pun merasa terbebani. Perempuan cantik itu tidak bermaksud membela Riko, tapi mungkin niat pria itu seperti itu.
Irene menghela napas. “Tapi kan kita udah belajar! Tugasnya aja yang bikin stres. Rasanya kayak… kita disuruh jadi penulis novel padahal baru bisa nulis diary,” keluhnya.
Di tengah keluhan dan kesibukan menulis, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah kolam. Seekor angsa yang tampaknya tidak puas dengan keberadaan angsa lainnya mulai mengais-ngais dan mendesak angsa yang lebih kecil.
“Lihat tuh, kayak kita di kelas, berjuang buat mendapatkan perhatian dosen,” Dani berkomentar, membuat mereka tertawa lagi.
“Dosen kita itu angsa yang galak, ya,” Aurel menambahkan, dan mereka semua sepakat. Meski tugas ini membebani, kebersamaan mereka di gazebo terasa lebih berarti.
Satu jam berlalu, dan kertas-kertas polio di depan mereka perlahan terisi. Meskipun penuh dengan keluhan, mereka menyadari bahwa setiap coretan dan goresan pena adalah bagian dari perjalanan mereka menuju kelulusan.
“Okay, kita harus buat kesepakatan,” kata Aurel tiba-tiba. “Setelah selesai, kita traktir diri sendiri makan siang enak. Biar ada motivasi!”
“Setuju! Tapi kita harus cepat!” Irene langsung bersemangat, kembali menulis dengan semangat baru.
Dani mengangguk, merasa lebih ringan. “Oke, siapa yang bisa nulis lebih cepat, dia yang bayar!”
Ketiga sahabat itu kembali fokus pada tugas mereka, merangkai kata demi kata dengan semangat baru. Di luar gazebo, angsa-angsa itu masih berkeliaran, tak peduli pada segala macam beban yang dirasakan oleh manusia di sekitarnya. Mungkin, di dalam hati mereka, Dani, Aurel, dan Irene pun berharap bisa sejenak terbang seperti angsa—bebas dari segala beban pikiran, sekadar menikmati hari.
Satu jam berlalu dengan cepat. Tangan mereka yang penat akhirnya berhenti menari di atas kertas polio. Keringat dingin menempel di pelipis, tetapi rasa lega menyelimuti ketiga sahabat itu saat mereka menatap hasil kerja keras mereka.
“Ini Dan punya gue,” kata Aurel bangga, memegang makalahnya yang tertulis rapi. Ia menyelesaikan lebih cepat dari dua temannya, dan senyumnya menunjukkan kebahagiaan yang tulus.
“Yah, gue yang terakhir. Gue dong yang menaktir kalian,” keluh Irene, meremas kertasnya seolah berharap bisa menghancurkan semua beban yang ada di dalam pikirannya.
Aurel, yang melihat Irene murung, cepat-cepat bersuara, “Tenang, gue saja yang traktik.”
“Lo serius mau mentraktik kita?” tanya Dani memastikan, mendalami tatapan Aurel. Mungkin harapan tak terduga bisa muncul dari situasi ini.
“Ialah. Memangnya gue kelihatan sedang bercanda?” Aurel membalas dengan nada penuh percaya diri sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Ih, makasih! Baik banget emang bu bos yang satu ini,” puji Irene sambil memeluk Aurel, merasakan kehangatan dan dukungan dari temannya.
Tepat saat itu, ponsel Dani berdering, suara nada dering yang dikenal baik oleh ketiganya. Dani menatap layar ponselnya, dan ekspresinya langsung berubah.
“Siapa?” tanya Irene penasaran, matanya membesar seolah bisa merasakan ketegangan yang menjalar di antara mereka. Aurel yang sudah berjalan akhirnya berhenti. Tanpa harus menunggu jawaban dari ia seperti tahu kalau yang menghubungi Dani adalah Riko.
“Pak dosen killer,” jawab Dani, mengambil napas dalam-dalam sebelum mengangkat sambungan telepon itu.
“Halo Pak,” ia menjawab dengan suara yang berusaha tenang, meskipun hatinya berdegup kencang.
“Hallo, tolong ya tugas di kumpulkan ke ruangan saya. Sekarang!” perintah Riko dengan nada tegas, suara itu menggetarkan hatinya.
“Iya Pak. Segera saya kumpulkan,” jawab Dani, berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
Setelah sambungan telepon itu berakhir, Dani mengalihkan pandang ke arah Aurel dan Irene. “Ayo guys, kita kumpulkan semua tugas. Pak Riko sudah memberi perintah.”
Irene dan Aurel hanya mengangguk, wajah mereka menunjukkan keraguan yang mendalam. Aurel merasakan gelombang kecemasan melanda, “Kita harus cepat sebelum dia mulai memanggil nama kita satu per satu.”
Dengan langkah cepat, mereka meninggalkan gazebo dan berjalan menuju gedung perkantoran dosen. Di luar gedung, mereka melihat teman-teman sekelasnya mulai berdatangan, wajah-wajah cemas memenuhi area itu. Suasana di luar gedung perkantoran terasa tegang ketiganya bergabung dengan kerumunan, menunggu giliran untuk mengumpulkan tugas.
Di antara kerumunan, Dani mencoba mencari posisi strategis agar semua temannya bisa segera menyerahkan makalahnya. "Ayo guys. Buruan kiimpulkan tugasnya," perintah Dani. Semua orang langsung mengiyakan dan memberikan pada Dani.
"Ayo buruan guys,” keluhnya sambil melihat jam di tangannya. “Gue nggak mau telat.”
Irene, yang berdiri di sampingnya, menambahkan, “Apalagi dia nggak segan-segan ngasih nilai jelek. Kita harus hati-hati.”
Aurel berusaha menghibur, “Tenang, kita sudah berusaha sebaik mungkin. Yang penting, kita sudah sampai di sini.”
Saat menunggu, Dani tidak bisa menahan rasa cemasnya. “Gimana kalau dia masih mau minta revisi? Atau lebih buruk lagi, mengkritik kita habis-habisan?” suaranya bergetar, refleks dari ketegangan yang mengganggu pikirannya.
Irene memukul pelan bahu Dani, “Jangan berpikir yang negatif! Kita sudah berusaha keras, Dan. Percaya aja sama diri sendiri.”
"Semua, sudah mengumpulkan?" tanya Dani memastikan. Ia yakin jika ada yang terlambat tidak akan diterima oleh Riko.
"Sudah Dan, tolong ya! jangan sampai kita bermasalah sama dosen itu," jawab salah satu teman kelas mereka.
"Baik, akan aku antar sekarang!" balas Dani.
Aurel dan Irene sama sekali tidak berniat ikut, jadi langsung balik badan dan berusaha meninggalkan Dani. Namun pria dua puluh satu tahun itu mencegah keduanya. "Eh, jangan pergi temani gue," kata Dani.
"Sendirian saja kenapa sih? heran deh gue." balas Irene.
"Ya sudah kalau elo nggak mau. Ayo Rel, antar gue." Tanpa aba-aba Dani langsung menyeret tangan Aurel dan meninggalkan Irene. Gadis cantik itu pada akhirnya ikut saja dengan keduanya. Tapi lantas ke toilet saat berada di lantai satu.
"Gue nggak ikut masuk ya nanti," kata Aurel sembari menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Di mana ruangan Riko memang berada disana.
"Ikut dong. Gue grogi," jawab Dani.
Aurel hanya diam, ia sangat menghindari bertemu dengan Riko. Cukup, semuanya. Meskipun rasanya ia ingin sekali bilang kalau dia sedang hamil anak dosennya itu. Tapi mana berani dia. Pasti pria itu juga tidak akan percaya.
Setibanya di depan ruangan Riko. Dani tampak mengetuk pintu. Namun hanya ada suara, "Sebentar" yang terdengar dari dalam sana. Keduanya menunggu dengan sabar sembari menunggu Irene yang mungkin saja akan menyusul mereka berdua ke depan ruangan Riko.
"Rel, gue titip sebentar ya!" kata Dani yang langsung berlari menjauh.
"Dan... Dani, elo mau kemana?" tanya Aurel bingung.
"Ke toilet sebentar," jawabnya.
Aurel hanya bisa menghela nafasnya pelan. Tidak lama setelah itu, pintu ruangan pria itu terbuka lebar, dan Riko menatap Aurel yang membawa tumbukan kertas di tangannya. Aurel tentu saja langsung menoleh saat mendengar pintu yang terbuka. Keduaya saling tatap beberapa detik, dan Riko lantas tersenyum mengejek, "Mau ngapain kamu kesini? mau godain saya lagi?"
