Bab 8. Ingin Balas Dendam
Suasana di depan ruangan Riko terasa tegang. Aurel, memerah wajahnya. Ia kini menatap tajam ke arah Riko, dosen muda yang selalu punya cara untuk membuatnya tersulut emosi. Dengan nafas pelan, ia menghela frustrasi, “Bapak pikir saya wanita penggoda,” katanya dengan nada kesal, menekankan kata “wanita penggoda” seakan itu adalah sebuah penghinaan.
Sebenarnya saat itu, rasanya Aurel ingin sekali memberi tahu pria itu, kalau dirinya sedang hamil darah daging pria itu. Tapi sayang, ia tidak punya keberanian untuk mengatakan itu.
Riko masih asik berdiri di tempatnya. Pria tampan itu. hanya mengangkat alisnya dan menyeringai, “Ck! Tidak sopan.”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia mendekat, gerakannya penuh percaya diri. Berbisik di telinga Aurel, suaranya dalam dan menggoda, “Kamu nggak lupa kan kalau sebulan yang lalu kamu dan saya begituan? Nggak mungkin lupa lah. Kamu kan kupu-kupu malam.”
Kata-kata itu bagaikan peluru tajam yang langsung mengenai jantung Aurel. Jari-jarinya meremas tumpukan kertas tugas yang dia bawa. Kukunya bahkan sampai memutih. Kesal sekali rasanya dengan pria itu. Bagaimana mungkin Riko bisa mengatakan hal sebusuk itu? Keinginannya untuk melabrak pria itu makin kuat, dan wajahnya memerah karena kemarahan.
“Jaga mulut Bapak! Saya bukan kupu-kupu malam!” tegas Aurel, suaranya bergetar. Ia berusaha menjaga ketenangannya, meski darahnya mendidih. Detik selanjutnya, dengan penuh semangat, ia menyerahkan setumpukan kertas itu pada Riko, berusaha tidak memperlihatkan betapa sakitnya hati ini. Setelahnya, tanpa menunggu respon Riko, Aurel langsung melangkah pergi dari hadapannya, mengabaikan tatapan penasaran dingin Riko yang selalu membuat dirinya jengkel dan sebel setengah mati.
Ketika Aurel mencapai tangga, ia merasa seperti terbakar oleh kemarahan yang tak kunjung padam. Ia turun dengan pelan, menempelkan telapak tangan di dinding untuk menyeimbangkan diri. Di lantai satu, ia menemukan Irene, sahabatnya yang selalu siap mendengarkan. Akan tetapi gadis itu tampak bingung saat melihat dirinya yang diam membisu, dan tidak bersemangat.
“Elo kenapa, Rel?” tanya Irene, melihat wajah Aurel yang kusut dan penuh amarah.
“Gue kesal. Boleh nggak sih gue bejek-bejek itu dosen?” gumamnya lirih, meratapi rasa kesalnya. Mungkin itu terdengar konyol, tapi saat ini ia hanya ingin melepaskan semua yang mengganggu pikirannya.
“Ha?” Irene yang tidak paham tampak bingung, namun tidak berani bertanya lebih jauh. Ia bisa merasakan ketegangan di antara Aurel dan Riko, tapi tak berani mencampuri. Sebagai sahabat, ia tahu bahwa Aurel adalah seorang pejuang. Tak ada yang bisa menghentikannya, terutama seorang dosen yang merasa lebih berkuasa.
Aurel menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan gambar Riko dari pikirannya.
“Gue benci dia! Gak ada sopan santun!” keluhnya sambil menyandarkan punggung di dinding. Ia berusaha menenangkan diri, menarik nafas dalam-dalam. “Kayak dia nggak inget ya? Dia dosen, seharusnya lebih menghormati mahasiswinya.”
Irene hanya bisa mengangguk, menatap sahabatnya dengan cemas. “Kamu tahu kan, kadang dia hanya bercanda. Mungkin dia nggak bermaksud gitu.”
“Jangan bilang kalau bercanda itu wajar!” Aurel hampir berteriak. Semua orang di sekitar mereka menoleh, dan ia merasakan panasnya pipinya. “Gue udah cukup. Dia harus belajar untuk tahu batasan.”
“Gue paham, Rel. Tapi, mungkin ada cara lain untuk menyelesaikannya. Gak mungkin kamu mau terus-terusan berkonfrontasi,” saran Irene pelan, berusaha meredakan amarah Aurel.
"Lagian kalian kan sudah saling bekerja sama dua tahun, masa jadi berantem kaya gini. Kaya orang pacaran saja," kekeh Irene.
Kalau di amati. Menurut Irene memang aneh tiba-tiba Aurel di pecat oleh Riko sebagai asistennya, dan kemudian mereka seolah musuh yang saling beratem. Mendadak Irene curiga dengan apa yang sebenarnya terjadi dia antara keduanya.
Aurel menatap sahabatnya, mengamati tatapan serius di wajah Irene. Dalam hati, ia tahu bahwa tindakan emosional bukanlah solusi yang baik.
“Tapi dia harus tahu siapa yang dia hadapi,” ucapnya, meski suaranya mulai mereda.
Tiba-tiba, Riko melintas di depan mereka. Satu tatapan cepat antara Aurel dan Riko menciptakan gelombang yang mengalir di udara. Riko memberikan senyuman sinis, seolah menantang Aurel untuk beraksi. Melihatnya, amarah Aurel berkobar kembali. Ia merasa darahnya mendidih. Riko memang seorang yang penuh teka-teki; ada daya tarik dalam sikapnya yang merendahkan, tetapi juga ada kebencian mendalam yang membuatnya terpaksa merespons.
“Gue nggak akan tinggal diam,” bisik Aurel, bertekad. “Ini belum berakhir.”
Irene hanya bisa menepuk punggung Aurel dengan lembut, tahu bahwa sahabatnya sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar dari sekedar konflik biasa. “Ingat, Rel. Pertarungan ini bukan hanya tentang kamu dan dia.”
“Gue tahu, tapi… kadang hal-hal harus dilawan. Mungkin tidak hari ini, tapi suatu saat nanti.”
Dengan semangat yang berkobar, Aurel melangkah maju, meresapi setiap detik yang akan datang. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan setiap langkah yang diambil akan membawa konsekuensi. Namun, satu hal yang pasti—ia takkan pernah mundur.
Di saat itulah, Dani yang tadi meninggalkan Aurel sendirian di depan ruangan Riko muncul. Ia sepertinya berlari. Mungkin karena Aurel tidak ia temui.
Aurel baru saja melangkah untuk menghampiri Riko yang berjalan menjauh, ketika Dani muncul dari arah tangga, tampak tergesa-gesa. “Woi, kalian mau kemana?” tanyanya, dan dengan cepat membuat Aurel menghentikan langkahnya.
“Gue mau bejek-bejek Pak Riko,” jawab Aurel, suaranya penuh semangat namun terisi amarah. Tidak ada yang bisa menghalanginya kali ini.
“Kenapa?” Dani bertanya dengan kebingungan. Pria tampan itu tidak tahu apa yang terjadi di depan ruangan Riko. Dengan tatapan bingung, ia menatap Irene, berharap mendapatkan penjelasan.
Irene hanya menggeleng pelan, tidak ingin terlibat lebih dalam. Aurel, di sisi lain, melihat Riko semakin menjauh, dan rasa kesalnya makin membara. Tanpa ragu, dia berlari, mengejar pria itu yang ternyata menuju ke parkiran.
“Pak Riko...” panggil Aurel dengan nada marah-marah, kakinya berlari cepat seolah tidak ingin kehilangan momentum.
Riko berhenti sejenak, memutar tubuhnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Kenapa? Mau melayani saya lagi?” godanya lirih, senyum sinis menghiasi wajahnya. Aurel bisa merasakan keangkuhan dalam kata-katanya, membuat darahnya mendidih.
“Ih, brengsek! Enak saja. Saya mau buat perhitungan sama Bapak,” ancam Aurel, berusaha menahan emosi yang semakin tak tertahankan.
“Perhitungan apa?” tanya Riko dengan nada meremehkan. Wajahnya kaku, tanpa senyuman. Dia tahu ini bukan momen yang baik untuk menyerang balik, tapi rasa percaya dirinya tidak mau pudar.
“Oh, saya tahu! Pasti kamu mau buat berhitungan berapa lama kamu bisa melayani saya di ranjang? Iya kan?” Riko menantang, menggolok-golok Aurel dengan kata-kata tajam yang membuatnya semakin terbakar.
Aurel merasakan seolah jantungnya berhenti sejenak. Dia ingin melawan, tetapi dalam hati ia tahu Riko sedang bermain api.
“Jangan sekali-sekali menganggap saya itu seperti perempuan murahan!” ucapnya, suaranya nyaring dan penuh penekanan.
Riko tidak bergeming, seolah kata-kata Aurel hanyalah angin lalu. “Lihat, Aurel. Kita berdua tahu apa yang terjadi bulan lalu. Ini bukan saat yang tepat untuk berkelahi di depan umum,” ujarnya, berusaha menjaga ketenangan, meski dalam hatinya, ada rasa bersalah yang tak bisa diabaikan.
“Justru ini saat yang tepat!” Aurel menolak menyerah. “Saya tidak akan biarkan Bapak terus bermain-main dengan perasaan orang lain! Saya tahu saya bukan satu-satunya yang Bapak permainkan.”
Riko mengernyit, rasa tertantang itu muncul di wajahnya. “Jadi, kamu mau menyuruh saya untuk berhenti? Atau ada hal lain yang ingin kamu katakan?”
“Yang ingin saya katakan adalah, Bapak tidak bisa terus-menerus merendahkan saya!” Aurel menjawab tegas, mengarahkan tatapannya langsung ke mata Riko. Ada keberanian yang tumbuh dalam dirinya, meski dia tahu ini mungkin berbahaya.
Riko tampak tersenyum mengejek, lalu setelahnya dia tertawa "Hahahaha.... apakah kamu pikir saya peduli. Kamu memang perempua rendahan yang bisa-bisanya tidur di kamar hotel yang saya pesan."
"Pak Riko..." teriak Aurel sembari memukul dada bidang pria itu dengan tangannya.
