Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Muak

Aurel masih menunduk, wajahnya disembunyikan di balik rambut panjangnya yang tergerai. Dengan hati-hati, ia pura-pura mengambil sesuatu dari dalam tasnya, meski sebenarnya tak ada yang perlu diambil. Di dalam kepalanya, pikirannya berkecamuk. Andai saja Riko, dosen yang menjadi orang yang membuat hidupnya berubah.

Kini ia merasa tidak nyaman, apalagi posisinya sekarang Aurel sedang mengandung. Namun, hal itu hanya akan menambah beban yang sudah cukup berat. Kenyataan pahit bahwa Riko sudah menuduhnya sebagai perempuan yang tidak baik terus menghantui pikirannya. Padahal hanya pria itu yang berhubungan badan dengan dirinya. Cuman sekali memang, tapi tokcer sekali pria itu mampu membuat dirinya berbadan dua.

"Ya Tuhan... kenapa harus selalu bertemu dengan pria ini?" batinnya lagi. Rasa kesal dan ingin sekali pergi dari planet bumi.

Pikiran Aurel melayang kembali pada malam itu, saat segalanya dimulai. Malam di mana dia terjebak dalam satu keputusan yang tak terduga. Saat ia berbaring di atas sprei hotel, darah virgin mencorong di atasnya, membuktikan segalanya. Riko, yang sekarang berjalan melewatinya, tampak biasa saja, seolah tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi di balik semua itu.

Aurel merasa ingin berteriak, tetapi suaranya terjebak di tenggorokannya. Ia tahu, Riko tidak akan pernah melihatnya dengan cara yang berbeda. Riko mungkin malah merasa jijik dengan dirinya. Begitulah yang kini terselip di pikiran Aurel.

Begitu Riko pergi, Aurel menghela napas pelan. "Untung saja dia pergi, sudah muak gue lihat dia tiap hari," batinnya lirih.

Kesedihan dan kemarahan bercampur menjadi satu. Ia merasa seperti bayangan, melayang tanpa tujuan. Dengan cepat, ia beranjak dan melangkah ke toilet perempuan. Aroma antiseptik yang tajam dan suara keran yang mengalir memberi sedikit ketenangan, meski hanya sementara.

Di dalam toilet itu Aurel beberapa kali menghela nafasnya pelan, rasanya ingin menangis. Atau menghajar Riko agar mau bertanggungjawab atas kehamilannya. Tapi sekali lagi dia masih muak, dan dia sebisa mungkin tidak ingin berurusan dengan pria tiga puluh tahun itu.

"Sabar Rel, sebentar lagi elo nggak akan ketemu dia," gumamnya lirih. Seolah memberikan kekuatan untuk dirinya sendiri. Dia memang harus menyemangati dirinya sendiri. Siapa lagi yang akan menyemangati dirinya?

Detik selanjutnya Aurel tampak keluar dari toilet itu dan menemui dua temannya yang menunggu dirinya tidak jauh dari toilet itu.

“Maaf ya lama,” kata Aurel, memecah keheningan saat mereka melangkah. Suaranya sedikit bergetar, tetapi ia berusaha terdengar santai.

“Lama apaan? Sepuluh menit doang,” jawab Irene, menyeringai lebar. Keduanya memang tidak menyukai situasi canggung, dan Irene selalu berusaha memecahnya dengan lelucon.

Ketiganya lantas berjalan ke area Gazebo yang ada di samping fakultas. Tempat itu adalah tempat ternyaman untuk mengerjakan tugas. Terlebiih ada danau dan beberapa angsa yang menambah menawannya suasana disana.

Dani yang berjalan di belakang mereka mendengus. “Elo sejak kapan sih dipecat sama dosen killer itu, Rel?” tanyanya serius, mata cokelatnya meneliti ekspresi Aurel. Ia penasaran, dan wajar saja. Terlebih Aurel adalah asisten Riko selama dua tahun terakhir, salah satu dosen yang paling ditakuti di fakultas mereka. Pria itu killer, dan dingin. Pelit nilai pula.

“Sejak sebulan yang lalu,” jawab Aurel singkat, berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

“Why? Bukannya elo mahasiswi kesayangan dia?” Dani masih tidak puas, menatap Aurel seolah ingin menemukan jawaban yang lebih memuaskan.

Aurel menelan ludah. "Ya karena gue bosan saja," ujarnya, mencoba tersenyum meski hatinya bergetar. Ia tahu itu kebohongan, tetapi entah kenapa kata-kata itu terucap begitu saja. Dari pada harus jujur, sama saja dia membuka aibnya. Ya, walaupun pasti lambat laun aibnya pasti akan terbongkar. Dia hamil anak pria itu sekarang.

Irene yang berjalan di sampingnya mengangkat alis, tidak percaya. “Tadi kita lihat itu dosen keluar dari toilet. Kok bisa ya elo jadi asisten pria dingin kaya Pak Riko?” tanya Irene, nada suaranya sedikit menggoda.

Aurel menggaruk kepala, bingung. Kenapa? Ia sendiri tidak tahu pasti jawabannya. Awalnya, ia mengagumi Riko, menganggapnya sosok yang pintar dan bijaksana. Namun, seiring waktu, kebenaran mulai terkuak—Riko ternyata jauh dari itu. Riko adalah orang yang kejam, terutama terhadap dirinya. Terkadang tuduhan tentang dirinya yang katanya kupu-kupu malam masih begitu jelas di telinganya.

“Sudah sih, ngomongin dia terus,” Aurel akhirnya memutuskan untuk menghentikan pembicaraan. Suaranya tegas, tetapi di dalam hatinya, ada rasa kesedihan yang dalam. Ia merasa hancur setelah menyadari betapa salahnya ia menilai seseorang.

Sesampainya di Gazebo, mereka segera mengeluarkan kertas dan alat tulis dari tas masing-masing. Satu-satunya cara untuk melupakan kekecewaan adalah dengan menyelesaikan tugas kuliah yang diberikan Riko. Aurel mencoba fokus, tetapi pikiran tentang Riko selalu menghantui.

“Eh, kita kan belum beli kertas polio!” Dani mendadak mengingat sesuatu, wajahnya terkejut.

“Beli sana,” Aurel menyodorkan uangnya, meski sebenarnya ia lebih ingin menempelkan kertas di wajahnya agar tidak memikirkan Riko.

“Bu Bos mah baik. Sisanya gue beli makanan dan minum di kantin ya!” Dani melompat penuh semangat.

“Iya, boleh,” jawab Aurel, sedikit tersenyum. Ia menyukai semangat Dani, setidaknya bisa mengalihkan perhatian sejenak.

Setelah Dani pergi, suasana di Gazebo menjadi hening. Aurel dan Irene saling menatap. “Gimana?” tanya Irene, suara rendahnya mengundang Aurel untuk berbagi lebih banyak.

“Gue... kadang ngerasa kehilangan,” jawab Aurel jujur, suara hatinya mulai terungkap. “Riko bukan hanya dosen, dia sudah kayak mentor buat gue. Dan sekarang, semua itu hilang.”

Irene mendekat, meraih tangan Aurel. “Jangan sampai dia bikin lo merasa kayak gini. Lo kuat, Rel. Banyak yang lebih baik dari dia. Kita bisa bantu lo.”

Aurel menatap Irene, merasakan dukungan tulus dari sahabatnya. “Tapi, kenapa rasanya seperti gagal?” Ia bertanya, suaranya bergetar.

“Karena lo berani mencoba. Kadang, gagal itu bagian dari proses belajar. Lagipula, siapa yang bilang kita harus selalu jadi yang terbaik?” Irene tersenyum, berusaha menguatkan.

Aurel menarik napas dalam-dalam, merasakan kehangatan dari persahabatan mereka. Ia tahu, meskipun situasi ini sulit, ia tidak sendirian. Bersama Irene dan Dani, ia bisa menemukan jalan baru, meskipun tidak pasti arahnya.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki. Dani kembali, membawa tumpukan kertas polio dan beberapa snack dari kantin. “Nah, ini dia! Makan dulu, baru kerja!” serunya ceria.

Aurel dan Irene tertawa, suasana hati mereka sedikit terangkat. Mungkin, dalam setiap kegagalan, ada kesempatan untuk menemukan diri sendiri yang lebih kuat. Di tengah tawa dan canda, Aurel berjanji pada dirinya sendiri—ini bukan akhir. Ini adalah awal dari perjalanan baru, dan ia akan menghadapi setiap tantangan dengan berani. Meskipun jujur ia masih memikirkan bagaimana nantinya di bilang pada anaknya ketika sudah lahir. Siapa ayahnya!

“Rel, elo kok nggak jalan sama pacar elo?” tanya Dani, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Aurel yang sedang menikmati jusnya tersedak. “Uhuks!” Suaranya teredam, dan ia berusaha menahan napas.

“Eh, gue nanya tentang pacar elo! Kok elo malah tersedak?” goda Dani, wajahnya menyeringai menahan tawa.

“Apaan sih elo! Kita sudah putus,” jawab Aurel cepat, berusaha mengalihkan perhatian dari topik yang mendesak itu.

Mendengar jawaban Aurel, Dani dan Irene, yang duduk di sebelahnya, langsung saling tatap. Keduanya sepertinya tidak percaya dengan fakta yang baru saja disampaikan oleh Aurel.

“Putus? Kenapa putus? Elo sama Kak Dion itu pasangan yang serasi,” tanya Dani, ekspresinya serius dan penasaran.

"Iya benar Rel. Bukannya kalian sama-sama bucin juga?" tambah Irene. Dua orang itu, sepertinya sangat penasaran dengan kisah cinta Aurel yang kandas.

Aurel menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. “Nggak jodoh,” balasnya sekenanya, berusaha terlihat tenang meski hatinya bergejolak.

“Masih nggak nyangka kalau kalian putus. Tadi gue lihat dia. Kayaknya lagi ngurus skripsinya,” Dani melanjutkan, memperhatikan reaksi Aurel.

“Lah, terus? Memang sudah waktunya kan mahasiswa semester 8 ngurus skripsinya,” sela Irene, berusaha mengalihkan perhatian dari topik sensitif.

“Bukan itu yang gue sorotin. Tapi gue melihat pria itu pakai cincin di jarinya,” jelas Dani dengan nada serius.

Aurel langsung terdiam. Informasi itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Apakah Dion sudah tunangan? Tetapi dengan siapa? Jantungnya berdegup kencang, berpacu dengan pikirannya yang liar. Kembali ia teringat saat-saat indah bersama Dion, saat mereka tertawa, berbagi mimpi, dan merencanakan masa depan bersama. Namun, sekarang semua itu terasa samar, seperti ilusi yang runtuh.

“Elo nggak denger kan?” tanya Dani, melihat Aurel yang tampak melamun.

“Hah? Apa?” Aurel tersentak, berusaha kembali fokus.

Dani dan Irene saling memandang lagi, jelas ada kekhawatiran di antara mereka. “Gue bilang, elo yakin putus sama dia? Dia selalu terlihat bahagia kalau ada di dekat elo,” tanya Dani, memperhatikan ekspresi Aurel.

“Bahagia? Mungkin itu hanya kesan,” Aurel menggeleng, berusaha membuang pikiran negatif. Namun, hatinya mulai ragu. Apa Dion benar-benar bahagia? Atau hanya berpura-pura?

Irene, yang diam saja, akhirnya ikut bicara. “Mungkin kita harus bicara langsung sama dia, Rel. Jangan berasumsi tanpa bukti.”

“Bukan itu masalahnya, Irene. Ini soal perasaan,” jawab Aurel, suaranya mulai serak. “Gue... gue masih sayang sama dia, tapi dia yang memilih untuk pergi.”

“Rel, kita bisa bantu. Kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” Dani menambahkan, berusaha memberi semangat.

Aurel menatap kedua sahabatnya, merasakan dukungan mereka. “Gue... gue perlu waktu,” ujarnya, jujur. “Kalo dia sudah tunangan, apa lagi yang bisa gue lakukan? Gue nggak mau jadi penghalang di hidupnya.”

Suasana di antara mereka menjadi tegang. Irene meraih tangan Aurel, menggenggamnya erat. “Kadang hal-hal yang kita anggap pasti ternyata bisa berubah. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tapi lo harus yakin sama diri lo sendiri.”

Aurel mengangguk, walaupun hatinya masih penuh dengan keraguan. “Makasih, guys. Tapi sekarang, biar aja. Definisi nggak jodoh dan hanya jagain jodoh orang ya memang begini,” katanya berusaha tersenyum.

“Bener juga! Kita harus fokus. Dan kalau lo butuh apa-apa, jangan ragu buat minta bantuan,” kata Dani, kembali ceria.

Aurel menghela napas, berusaha menenangkan pikirannya. Ia mengangguk dan tersenyum. Meski dia sangat penasaran apakah benar Dion sudah bertunangan? kok bisa secepat itu dia move on. Padahal saat dia melempar foto dirinya dan Riko di ranjang hotel itu dia sangat marah. Apakah Dion mencari pelampiasan?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel