Bab 5. Garis Dua
Aurel berlari dengan langkah cepat, sepatu ketsnya berbunyi di atas trotoar. Wajahnya terlihat pucat, dan matanya tak berhenti melirik sekeliling, memastikan bahwa tidak ada siapa pun yang mengenalnya di situ. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah mengingatkan betapa pentingnya misi siang ini.
Sesampainya di apotek yang terletak tidak jauh dari apartemennya, Aurel menarik napas dalam-dalam. Dalam pandangannya, apotek itu tampak hangat dan ramah, tetapi saat itu, bagi Aurel, semua terasa menekan. Dia melangkah masuk, berusaha untuk menutupi rasa cemas yang menghimpitnya.
“Mbak mau beli apa?” tanya pelayan apotek itu, seorang wanita muda dengan senyum lebar dan mata yang bersinar. Suaranya hangat, tetapi bagi Aurel, itu seperti palu yang mengayun langsung ke kepalanya.
Aurel mengernyit sejenak, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Dia menghela napas pelan, mencoba meredakan kepanikan yang mulai menyelusup ke dalam pikirannya.
“Mbak beli testpack,” jawabnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Pelayan itu mengangguk, tetapi ada sedikit keraguan di wajahnya.
“Mau yang merek apa?” tanyanya lagi, seolah mengundang Aurel untuk berbagi lebih banyak.
“Terserah, yang paling bagus,” jawab Aurel, nada suaranya sedikit lebih tegas, meski dia tahu ini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan. Dalam pikirannya, Aurel merasakan pertarungan antara harapan dan ketakutan. Bagaimana jika hasilnya sesuai dengan apa yang dia khawatirkan?
Pelayan itu mengambil salah satu testpack dengan merek terkenal, lalu menyerahkannya pada Aurel. “Ini bagus, banyak yang merekomendasikan,” katanya dengan senyum tulus, seakan tidak mengetahui betapa berartinya momen ini bagi Aurel.
“Terima kasih,” Aurel berbisik, mengambil testpack itu dengan tangan yang sedikit bergetar. Dalam hatinya, dia berdoa semoga ini bukan awal dari sesuatu yang menakutkan.
Setelah itu gadis itu membayar dan keluar dari apotek dengan langkah cepat. Setiap detik seolah terasa lebih lama. Dia merasa seolah semua orang di luar sana bisa membaca pikirannya, bisa mengetahui apa yang dia bawa dalam tas kecil di tangan kanannya.
"Semoga negatif," batinnya penuh harap.
Detik selanjutnya, akhirnya Aurel sudah sampai di apartemennya kembali. Ia langsung ke kamar mandi. Hatinya deg-degan sekali. Takut, dengan kemungkinan terburuk dalam hidupnya.
Terlebih dahulu Aurel membaca tata cara penggunaan testpack yang kini ada di tangannya. Setelah paham, dia langsung mengambil sedikit urinenya. Gadis itu bahkan sampai memejamkan matanya saat mencelupkan testpack itu pada urinenya itu.
Setelah lima menit Aurel membuka matinya, dan ia langsung lemas. Ternyata benar dugaannya, garis dua. Ia hamil.
Aurel langsung menangis saat itu. Hidupnya benar-benar hancur sekarang. Ia hamil anak seorang pria yang begitu ia benci sekarang.
"Tuhan kenapa hidupku seberat ini cobaannya," katanya sambil menangis, dan terduduk di kamar mandi.
Entah berapa lama Aurel menangis di dalam kamar mandi apartemennya itu. Ia baru keluar saat kepalanya pusing, dan menyadari kalau dirinya basah kuyup karena terkena shower yang ia hidupkan sebelumnya. Aurel frustasi, dan itu sangat wajar. Ia hamil tanpa akan ada yang mau bertanggung jawab.
Perempuan cantik itu masih menggenggam testpack itu. Sekali lagi ia melihat benda itu. Ia berharap ini hanya mimpi. Namun ini nyata. Testpack itu garis dua. Sungguh bukan hasil itu yang dia inginkan. Akan tetapi apa yang harus dia lakukan sekarang. Selain menerima takdi dan kenyataan.
"Mungkin aku tidak pernah ingin anak ini tumbuh di rahim ku, namun aku yakin Tuhan memang menakdirkan tentang ini. Yang kuat ya nak sama Mama. Kamu akan baik-baik saja meskipun tidak punya Papa," kata Aurel sembari mengelus perutnya. Hamil karena di nodai oleh dosennya tentu bukan keinginan Aurel. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia harus kuat, dan dia harus semangat.
Keesokan harinya Aurel tetap pergi kuliah seperti biasanya. Hari itu, ada mata kuliah Riko kembali. Ia tidak terlalu memperhatikan dan malah menggambar desain animasi tentang keluarga. Ia merasa lebih tenang dari pada memandang wajah Riko yang membuat dirinya ingat akan malam tidak terduga itu.
"Silakan buat makalah tulis tangan, dan harus di kumpulkan hari ini di ruangan saya. Dani tolong handel semuannya," perintah Riko pada salah satu teman Aurel itu.
"Baik Pak," jawab Dani.
Setelah itu Riko tampak menutup kelas pagi itu, Aurel hanya diam saja, melihat wajah pria itu rasanya tidak sudi. Apalagi kalau ingat dirinya di katai kupu-kupu malam.
"Rel, mau ngerjain makalahnya dimana? gila ya itu dosen, makalah tulis tangan. Sudah jangan digital masih saja suka yang manual," umpat Irene.
Mendengar sahabatnya itu mengumpat Riko, Aurel masih tetap diam. Malas sekali rasanya jika harus membahas tentang pria itu.
"Kita kerjain di gazebo samping fakultas saja gimana?" tanya Dani yang tiba-tiba mendekat ke arah keduanya.
"Ikut saja," jawab Aurel singkat.
"Ya sudah ayo!" ajak Irene.
Ketiganya langsung keluar dari kelas yang ada di lantai dua gedung perkuliahan itu. Mereka berjalan berjajar bertiga. Tidak ada obrolan kecuali Irene dan Dani yang mengumpat Riko karena tugasnya selalu menyusahkan mahasiswa.
"Kalian nggak bosan apa ghibahin dia?" tanya Aurel yang mendadak panas sendiri telinganya.
"Nggak cuman kita kali yang ghibahin dia, semua mahasiswa di fakultas kita kalau habis kelas dosen itu pasti langsung ngumpat," jawab Irene jujur sekali.
"Dan sampai hari ini gue heran. Kok bisa elo jadi asisten dia selama dua tahun. Apa nggak makan hati elo tiap hari Rel?" tanya Dani penasaran.
Aurel diam, tapi dalam hati dia bersuara, "Apa yang akan kalian katakan kalau kalian tahu anak yang gue kandunga mengalir darah pria kejam itu?
"Rel, kenapa sih elo diam terus dari tadi? elo ada masalah?" selidik Irene.
"Gue nggak apa-apa, gue ke toilet dulu ya!" jawab Aurel.
Perempuan cantik itu, langsung menuju ke toilet di lantai satu yang bersebelahan dengan toilet dosen dan karyawan. Karena ada yang sedang menggunakan toilet itu Aurel terpaksa harus menunggu. Ia tampak menghela nafasnya pelan, lalu bersandar di tembok sembari menunggu seseorang yang sedang menggunakan toilet itu.
Saat Aurel tengah diam disana, tiba-tiba Riko muncul dari toilet sebelah dan menatap Aurel tanpa berkedip.
"Aduh, kenapa harus ketamu dia sih," batinnya mendadak tidak nyaman.
