Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Apakah Hamil

Bisingnya dunia seakan meredup saat Aurel jatuh terduduk di lantai, mengabaikan tatapan kosong dari dinding-dinding apartemen. Tidak ada tetangga yang mendengar keributan ini, dan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa sedikit lega. Bayangkan jika orang lain tahu—betapa malunya dia.

Detik demi detik berlalu. Aurel mengusap air mata yang tersisa di wajahnya, kemudian melihat ke sekeliling. Foto-foto kebahagiaan mereka bertebaran di lantai. Senyum-senyum manis itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menusuk. Dia meraih foto-foto tersebut, setiap gambar adalah kenangan dari kejadian semalam yang kini terasa seperti belati. Ia tidak pernah menginginkan kejadian itu. Apalagi mengenangnya, ia sungguh tidak mau.

“Aku harus menyimpan ini,” gumamnya sambil memungut satu persatu, seakan itu bisa menyelamatkan apa yang telah hancur. “Ini aib… semoga tidak ada yang mengetahui lagi setelahnya.”

Kakinya terantuk pada beberapa foto yang masih ada di lantai. Pikirannya kembali melayang tentang kejadian semalam. Tidak hanya itu, ucapan Riko tadi saat mereka baru bangun tidur kini juga terasa terus mengema di telinga. Perempuan cantik itu bahkan sampai menutup telinga. Ia terlampau pusing dan frustasi sekarang.

"Tidak, aku bukan kupu-kupu malam," batinnya lirih.

Kepala langsung pusing dengan ucapan penuh hinaan yang keluar dari mulut Riko tadi.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengikhlaskan semua yang telah terjadi. “Tidak ada lagi Dion, dan Pak Riko,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini saatnya untuk move on, dan ikhlas pada semua takdir dan ketentuan Sang Pencipta.”

Aurel mengambil ponselnya dan mulai menghapus foto-foto mereka di semua media sosialnya. Namun, setiap kali jari-jarinya menyentuh layar, ada rasa berat yang menyelimuti hatinya. “Ini untuk kebaikanmu, Aurel,” katanya berulang kali, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Hampir satu jam lamanya, akhirnya semua foto itu akhirnya terhapus. Perempuan cantik itu tampak menghela nafasnya pelan. Kisah cinta yang ia harapan akan sampai pelaminan pada akhirnya harus kandas di tengah jalan.

Satu bulan kemudian....

Tidak terasa, waktu kuliah akhirnya mulai. Aurel kini memasuki semester enam. Sejak kejadian malam yang tidak terduga bersama dosennya, Riko, hidupnya berubah total. Dia menjadi lebih tertutup, menjauh dari teman-temannya, dan akhirnya memutuskan untuk segera pindah ke luar negeri.

Hari ini, Aurel harus menghadapi kelas pertama. Kebetulan mata kuliah pertama adalah mata kuliah yang diampu oleh Riko. Rasa tidak nyaman menggelayuti pikirannya, tetapi ia berusaha untuk bersikap biasa saja.

Dengan langkah ragu, Aurel masuk ke dalam ruang kelas. Ia memilih duduk di belakang, bersampingan dengan sahabatnya, Irene. Mereka belum sempat mengobrol dan tiba-tiba Riko sudah masuk ke kelas itu. Aurel langsung menunduk, menghindari tatapan dosennya yang menusuk. Suasana kelas terasa berat. Semua mahasiswa terlihat siap menghadapi semester baru, tetapi Aurel merasakan kegugupan yang menyelimutinya.

“Selamat pagi semuanya!” sapa Riko dengan suara ramah, tetapi Aurel merasakan aura dingin di sekelilingnya.

“Pagi, Pak,” jawab mahasiswa lain serentak, kecuali Aurel yang memilih untuk tetap diam.

Pelajaran berlangsung dalam kesunyian yang menekan. Aurel, yang biasanya sangat aktif berpartisipasi, kini merasa seolah kata-katanya terbungkam. Ia hanya menatap meja, berusaha mengalihkan pikirannya dari sosok Riko di depan.

“Tidak ada pertanyaan?” tanya Riko, memecah keheningan sebelum mengakhiri kelas.

“Tidak,” jawab para mahasiswa dengan suara lantang.

“Baiklah, sebelum saya akhiri kelas ini, tolong salah satu mahasiswa untuk membantu saya menghandle tugas, karena Aurel sekarang sudah bukan asisten saya,” kata Riko, suaranya terdengar tegas. Aurel terdiam, hatinya bergetar mendengar namanya disebut. Ia tidak mau protes atau melakukan apapun. Biarlah, ia yakin ini yang terbaik. Ia juga tidak ingin berurusan dengan pria itu lagi.

Setelah itu, Riko menutup kelas dan meninggalkan ruangan. Semua mahasiswa langsung berhamburan keluar, termasuk Aurel dan Irene.

“Kamu serius? sudah bukan asistennya si dosen galak itu?” tanya Irene tidak percaya, mengamati reaksi Aurel.

Aurel hanya mengangguk, rasanya seperti terperangkap dalam jaring-jaring emosi yang tidak bisa ia ungkapkan. Dia berniat mengundurkan diri, tetapi sekarang, seolah sudah didepak sebelum sempat menyampaikan keputusan itu.

“Rel, kamu baik-baik saja?” tanya Irene dengan nada khawatir, menyentuh lengan Aurel.

“Baik, aku baik-baik saja,” jawab Aurel, meskipun dia tahu itu bukan sepenuhnya kebenaran. Senyum tipisnya seolah berusaha menyembunyikan kepedihan yang ada di hatinya.

“Kalau kamu butuh teman untuk ngobrol, aku selalu ada, ya?” Irene menawarkan, tulus.

“Terima kasih, Ren. Aku butuh waktu untuk membuat diriku sendiri bahagia." Aurel menjawab, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran sahabatnya. Satu-satunya orang yang mau mendengar keluh kesahnya selama ini.

Mereka berdua berjalan keluar kampus, Aurel masih merasakan ketidakpastian tentang masa depannya. Sebelum berpisah, Irene menggenggam tangan Aurel. “Ingat, kamu tidak sendirian. Aku akan mendukungmu.”

Aurel tersenyum, merasakan kehangatan dalam pelukan sahabatnya. “Iya, terima kasih."

Kebetulan hari itu hanya ada satu mata kuliah saja. Aurel berencana ke Biro Administrasi Akademik (BAAK), untuk menyampaikan permohonan kepindahannya.

"Rel, elo nggak pulang?" tanya Irene sebelum pergi.

"Ada urusan," jawabnya.

"Baiklah, hati-hati."

"Siap."

Setelah berpisah dengan Irene, yang langsung pulang, Aurel melangkah cepat menuju Biro Administrasi Akademik (BAAK). Langkahnya mantap, meski ada rasa enggan yang menyelinap di hatinya. Pindah kampus bukanlah keputusan yang mudah, tetapi ia tahu ini yang terbaik untuk kebahagiaannya. Setiap langkah terasa berat, namun ia berusaha meyakinkan diri.

Sesampainya di gedung BAAK, Aurel langsung memasuki ruang yang dikenal baik oleh banyak mahasiswa. Ruang tersebut dipenuhi dengan suara ketikan keyboard dan obrolan ringan antara mahasiswa yang lain. Ia segera menuju meja Kepala BAAK.

“Aurel, ada apa?” tanya pria paruh baya yang sudah hafal betul dengan wajah Aurel. Raut wajahnya menunjukkan keheranan saat melihat Aurel dengan ekspresi serius.

“Pak, saya ingin mengurus surat pindah kampus,” jawab Aurel dengan tegas, berusaha menampilkan kepercayaan diri meski hatinya bergetar.

Mendengar permintaan itu, pria itu tampak terkejut. “Kamu mau pindah kampus? Kenapa?” tanya dia, alisnya terangkat tinggi.

Jelas terlihat diwajahnya, kalau ia tidak rela jika Aurel pindah dari kampus itu.

“Mau melanjutkan bisnis orang tua saya yang ada di luar negeri Pak,” jawab Aurel, suaranya mantap meskipun jantungnya berdetak kencang.

“Apakah kamu yakin?” pria itu bertanya lagi, menilai keteguhan di balik pernyataan Aurel. Ingin sekali memaksa Aurel untuk tetap singgah. Namun, ia tidak punya hak untuk melakukannya. Semua keputusan tentu saja ada di tangan Aurel.

“Yakin,” Aurel menjawab tegas, berusaha meneguhkan keputusannya.

Melihat keyakinan Aurel, kepala BAAK itu mengangguk pelan. “Baik, tapi tidak langsung jadi, ya. Prosesnya maksimal dua minggu, paling cepat ya seminggu.” jelasnya, memastikan Aurel memahami prosesnya.

“Baik, Pak,” jawab Aurel, merasa sedikit lega. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pamit pergi dan melangkah keluar dengan perasaan campur aduk.

"Sebenarnya, saya merasa berat dan tidak rela kamu pindah. Kami mahasiswa berprestasi disini."

Aurel menghela nafasnya pelan. Ia juga ingin tetap disini, tapi keadaan tidak memungkinkan. Ia tidak mau berurusan dengan mantannya, sekaligus dosennya yang telah menodai dirinya.

"Saya harus melanjutkan usaha kedua orang tua saya, Pak," jawabnya masih teguh dengan pendiriannya.

"Ya sudah. Semoga apapun yang kamu putuskan kamu bisa bertanggung jawab, dan menjadi yang terbaik untuk kedua almarhum orang tua kamu," nasehat Bapak itu.

Aurel mengangguk. Lalu setelahnya ia langsung mengucapkan terimakasih dan pamit pergi dari kantor BAAK itu.

Sesampainya di apartemen, Aurel langsung duduk di bibir ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Di meja belajar, kalender meja berlogo kampusnya terpampang jelas disana. Benda itu, menandai hari-hari yang telah dilalui. Tiba-tiba, hatinya bergetar ketika menyadari sesuatu.

“Bulan ini aku belum datang bulan,” gumamnya, kepanikan mulai merayap. “Apakah aku hamil?” Rasa takut dan resah melanda hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel