Bab 3. Hinaan Dari Mantan
Kini, Aurel terpuruk di atas ranjang, tangisnya masih sesunggukan. Air mata mengalir deras di pipinya, menciptakan jejak basah di bantal yang menjadi saksi bisu segala kepedihannya.
Sungguh tidak pernah terngiang di dalam pikirannya kalau saat ini dia akan berada di fase ini. Fase dimana kesuciannya terenggut tanpa ia sadari. Terlebih pelakunya adalah dosennnya sendiri. Dosen yang sering ia bantu dan sangat ia hormati. Pria yang selalu menjadi idolanya karena menjadi dosen cerdas dan berprestasi, di usianya yang masih terbilang muda.
“Kalau nanti aku hamil, gimana?” pikirnya.
Gadis itu mengusap air mata yang tak kunjung reda. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Ia rasanya masih tidak percaya, dengan apa yang terjadi dalam dirinya. Apakah semua hal yang ia bangun, hancur karena kejadian malam tidak terduga itu?
Jika nantinya dia hamil rasanya sangat mustahil meminta pertanggungjawaban dari dosennya itu. Lihat saja tadi. Pria itu bahkan tidak merasa bersalah atas apa yang terjadi semalam terjadi, dan malah menganggap dirinya kupu-kupu malam.
Pikirannya tidak hanya tentang kejadian itu. Akan tetapi Ia juga mengenang peristiwa semalam. Saat Dion memutuskan hubungan mereka hanya lewat surat. Parahnya hanya lewat waiter. Sungguh pengecut sekali.
"Dion kenapa kamu harus meminta aku datang ke kafe itu? jika saja aku tidak datang kesana. Pasti aku tidak akan pernah mengalami hal seburuk ini," gumamnya pelan dalam kesendirannya.
"Ya Tuhan, andai aku mengikuti firasatku semalam. Pasti semua ini tidak akan terjadi." Sesalnya.
Aurel merasa seolah dunia runtuh. Ia yang hanya tinggal sebatangkara sekarang. Tanpa keluarga, ayah ibunya sudah merenggang nyawa sejak ia lulus SMA. Tidak ada saudara yang ia miiliki. Mungkin tidak akan ada yang mendukungnya. JIka seandainya ia benar-benar hamil anak dosennya itu, dan pasti ia harus berjuang sendirian. Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka.
“Seandainya hanya Dion yang pergi, mungkin aku bisa mengatasi ini. Tapi sekarang.. Aku sudah berhubungan badan dengan dosenku sendiri? Kenapa semua ini harus terjadi?” katanya, merutuki nasib yang tak berpihak padanya.
Rasa khawatir menghantui pikirannya, menyelimuti jiwanya dengan ketidakpastian. Dengan enggan, ia mencoba berdiri dari ranjang, menata kembali dirinya meskipun kesedihan masih menyesakkan dada. Ia tahu, hidupnya kini telah ternoda oleh ketidaksengajaan yang ia sendiri tidak tahu sebabnya.
Di tengah tangisannya, Ia tampak menoleh ke atas nakas. Terlihat foto dirinya bersama kedua orang tuanya saat mereka masih hidup. Foto itu di ambil beberapa hari sebelum kedua orang tuanya meninggal dunia saat perjalanan bisnis ke Jerman.
"Ma, Pa! Maafkan aku yang tidak bisa menjaga diri. Sungguh aku tidak pernah berpikir menyerahkan diriku pada lelaki manapun yang bukan suamiku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di hotel itu. Aku tidak siapa yang telah menjebak diriku," gumamnya sembari terisak. Pilu sekali rasanya. Jelas ada sesal yang begitu mendalam di hatinya.
Tangisannya sama sekali belum mereda. Tiba-tiba bunyi bel apartemen menguncang ketenangannya. Aurel terdiam sejenak, hatinya berdegup kencang. Ia tidak tahu siapa yang datang? teman kuliahnya tentu tidak mungkin, sedang libur semester sekarang.
“Siapa yang datang?” tanyanya dalam hati.
Mulai panik. was-was dan sedikit ada rasa takut dihatinya.
Perlahan, ia bangkit dari tempatnya, dan setelahnya ia berjalan menuju pintu utama unit apartemennya itu. Langkahnya terasa berat, namun ia terus maju tanpa gentar.
Perempuan cantik itu tampak menarik handel pintu apartemen itu, "Ceklek.."
Tak lama setelah itu, pintu terbuka dengan sempurna.
Saat pintu itu telah terbuka, ia terkejut melihat Dion berdiri di sana, wajahnya tampak sinis, dan tersenyum remeh ke arahnya.
“Dion!” serunya, berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia tidak menyangka pria itu akan datang menemui dirinya setelah semalam menitipkan surat perpisahan untuknya. Rasanya ingin memaki pria yang kini di depannya itu. Andai saja semalam dion tidak meminta dirinya datang ke kafe, pasti semuanya akan baik-baik saja sekarang.
“Hai Mantan... kamu sungguh murahan,” ucap Dion, suaranya tajam penuh hinaan. Dion yang lembut sudah tidak ada lagi sekarang. Berganti dengan Dion yang jahat, dan kejam.
Ia merogoh saku celananya, dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Setelah itu ia melemparkan beberapa kertas foto ke arah wajah Aurel.
Perempuan cantik itu menunduk, dan melihat gambar apa yang diperlihatkan oleh Dion. Aurel langsung terkejut dan tangisannya hampir pecah. Terlebih saat ia melihat foto-foto dirinya yang tampak berpelukan dengan Riko di hotel semalam.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Aurel mencoba membela diri, ia bisa menjelaskan semuanya.
"Masih mau ngelak? Dasar murahan." umpat Dion dengan jahatnya.
Aurel masih berdiri di ambang pintu apartemennya, tubuhnya bergetar. Air mata mengalir di pipinya, memandikan wajahnya yang cantik dengan kesedihan yang mendalam.
“Aku bisa jelasin semuanya, Dion,” katanya dengan suara bergetar.
Dion, mantan pacarnya, berdiri dihadapannya dengan ekspresi marah yang membara. “Ck! Apa yang mau kamu jelasin? Apa?” Ucapannya tajam, seolah setiap kata adalah senjata yang menusuk langsung ke jantung Aurel.
“Dion, tolong…,” Aurel memohon, namun suaranya terhenti ketika Dion melanjutkan.
“Atau kamu mau menjelaskan kalau kamu itu murahan? Sudah berapa kali kamu tidur dengan dosen itu?” Tanya Dion dengan nada penuh tuduhan, matanya membara. Kata-kata itu seperti api yang membakar semua yang tersisa di antara mereka.
Aurel terhenyak, merasakan setiap kata Dion menyayat hatinya. “Dion, itu tidak seperti yang kamu pikirkan,” ia berusaha menjelaskan, tetapi suara tangisnya membuat kata-katanya tersangkut di tenggorokan.
“Tidak seperti yang aku pikirkan? Jadi, kamu mau bilang ini semua tidak benar?” Dion mendekat, menantang. “Jangan coba bohong lagi, Aurel. Semua orang di kampus akan tahu tentang kalian!”
Air mata Aurel semakin deras. “Aku… aku tidak bermaksud menyakitimu. Kami di—”
“Di jebak? bilang saja kalau kalian memang sudah lama berhubungan.” Dion menyela, suaranya semakin tinggi.
“Selain murahan, kamu tidak setia. Kamu sengajakan selingkuh agar melupakan kalau kita sudah merencanakan masa depan?”
“Aku tidak pernah lupa, Dion!” Aurel berteriak, suaranya pecah. “Aku mencintaimu! Tapi ini lebih rumit dari yang kamu pikirkan!”
Dion terdiam sejenak, tampaknya meragukan ketegasan suaranya. Akan tetapi, kemarahannya menghalangi empatinya.
“Cukup, Aurel! Cukup!”
"Dion....."
“Murahan, Mulai sekarang kita Putus!" Kata Dion sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Aurel yang terpuruk di ambang pintu.
