Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Kecanduan Sex - 4

Lima menit kemudian, bell telah berbunyi. Seluruh siswa dan siswi berbaris di lapangan. Upacara berlangsung dengan khidmat meskipun ada sedikit siswa yang mendapat hukuman karena atribut tidak lengakap.

***

"Pelajaran apa, kita sekarang?" tanya Naira pada Kiki---teman sebangkunya.

"Agama! Masa nggak ingat?"

"Mampus, gue. Itu Pak Lalas pasti masuk!" umpat Naira. Sentak semua orang tertawa melihat tingkah Naira, wajah gadis itu terlihat sedikit panik. Bagaimana tidak panik? Pasti nanti dia dapat hukuman karena tak bisa baca tulisan arab. Ah si*l!

"Lo jangan sembarangan kalau ngomong!" Sindy menoel bahu Naira. "Masa dibilang Pak Lalas, sih?"

"Biarin, emang lalas, 'kan?" Naira mencibikkan bibirnya.

"Bodolah!" Sindy tak mau ambil pusing. Sementara Kiki dan Kinta menggeleng melihat tingkah dua orang di depannya ini.

"Assalamualaikum," ucap seorang guru yang baru saja memasuki kelas Naira.

"Waalaikumussalam, Pak," jawab mereka serempak.

"Pagi, anak-anak. Maaf Bapak telat sedikit, ya," ujar Pak Supri---guru agama kelas XII.

"Iya, Pak," jawab mereka semua.

"Nggak masuk lebih baik!" Naira memangku dagu sembari merotasikan matanya.

"Kenapa, Naira?" tanya Pak Supri.

Sentak Naira dibuat kaget. "Nggak papa, Pak," jawabnya cengengesan.

Selama pelajaran berlangsung, pikiran Naira sama sekali tak tenang, dia sangat takut kalau-kalau Pak Supri menyuruhnya membaca arab lagi. Jangan sampai kejadian minggu lalu terualang kembali! Bisa mati dia.

Sebenarnya sudah biasa Naira tak bisa mengaji. Semua teman-temannya juga sudah tahu, tapi entah kenapa kali ini dia merasa takut jika tak pandai membaca Al-quran.

Mungkinkah hidayah menghampirinya? Ah, entahlah!

.

.

.

Kini, Naira sudah siap untuk pergi mengaji, dia sudah memakai baju gamis berwarna pink beserta kerudung pinknya.

"Naira, cepat sedikit, Sayang!" panggil Marlin dari balik pintu kamar Naira.

Marlin juga sudah siap dengan baju syari-nya, dia berniat untuk mengantar Naira pergi mengaji dikarenakan Naira belum tahu alamatnya di mana.

"Bentar, Ma. Ini jilbab susuh dipake!" sahut Naira dari dalam, suara gadis itu terdengar sedikit kesal.

Marlin membuka pintu dan membantu Naira memakaikan hijabnya.

"Mana? Sini Mama pakein!" Naira mendekatkan wajahnya pada Marlin dan segera wanita itu membenahi kerudung yang dipakai putrinya. Setelah itu, mereka berdua berangkat ke masjid menggunakan mobil.

Barulah setengah perjalanan Naira menghentikan mobilnya.

"Kenapa berhenti, Sayang? Ayo cepat! Kita udah telat, nih," ucap Marlin melihat ke arah Naira.

"A--aku, takut, Ma." Naira menjawab gugup sambil menggigit telunjuk kanannya. Raut kecemasan semakin jelas terpancar di wajah gadis itu.

"Kamu nggak usah takut, Sayang, ada Mama, kok." Marlin menenangkan putrinya itu, tersenyum dan mengelus pundak Naira sayang.

Naira tersenyum tipis melihat mamanya, dalam hati ia berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja.

Saat tiba di depan masjid itu terlihat Ustaz Hanan sudah menyambut kedatangan mereka beserta dua pemuda di sampingnya.

'Gimana, nih?' batin Naira bimbang.

"Ayo, Sayang!" Marlin menarik tangan Naira mendekat pada Ustaz Hanan.

"Assalamualaikum," sapa Marlin menghampiri mereka.

"Waalaikumussalam," jawab mereka diiringi senyum tipis.

"Ayo, silakan masuk!" ujar Ustaz Hanan sopan.

"Iya, terima kasih, Pak."

"Ayo, kamu masuk, Sayang!" titah Marlin pada Naira.

"Mama?" Naira menatap Marlin, ada rasa takut dan malu menyelimuti dirinya saat ini.

"Mama tunggu di sini, Sayang. Masa Mama mau masuk juga? Kan yang mau belajar itu kamu?" Marlin menggenggam tangan Naira erat, berusaha menyemangati Naira agar gadis itu tak merasa takut.

Naira masuk ke dalam surau itu. Ya! Tempat Naira mengaji adalah surau yang terdapat di samping masjid besar di sana. Banyak sekali anak-anak yang ingin belajar mengaji. Semuanya anak-anak, tak ada yang seusia dirinya.

'Memalukan!' Naira menggigit bibir bawahnya dan duduk bergabung bersama mereka.

Saat tiba giliran Naira mengaji, dia mengeluarkan iqro-nya, dan hal itu sentak membuat para murid di sana tertawa.

"Masa udah gede masih iqro, sih?" ucap salah satu dari mereka dan mengundang tawa yang lain.

"Heh! Kalian diam!" tegur Rifky dan Iyan yang sedari tadi berada di sana.

"Siapa yang ngajarin begitu?" Rifky memelototkan mata, membuat semuanya terdiam.

"Nyebelin banget, sih!" Naira menatap mereka sengit.

"Udah, kamu baca sekarang, ya?" Ustaz Hanan tersenyum.

"Maaf, Pak Ustaz," ucap Naira lembut, "apa di sini nggak ada ustazahnya?" Naira memberanikan diri untuk bertanya.

"Di sini yang mengajar hanya saya, Rifky dan Iyan, di sini, 'kan semua muridnya anak-anak, jadi tak ada ustazahnya, karena kalau remaja seperti kamu sudah tidak mengaji lagi." Ustaz Hanan menjelaskan dengan sopan. Naira mengangguk faham dan mulai membuka iqro-nya.

"Tapi saya nggak bisa bacanya, Pak Ustaz ...," keluh Naira menunduk malu.

"Kalau sudah bisa bukan belajar namanya, Naira," ujar Ustaz Hanan. "Apa kamu sudah pernah mengaji?"

"Iya, tapi saya belum bisa membacanya, kalau hurufnya saya tau, Pak." Ustaz Hanan hanya mengangguk menanggapi perkataan Naira.

Pelan tapi pasti, Naira mulai membaca iqro-nya. Beberapa kali dia mengulangi bacaan itu karena kesalahan. Meskipun demikian, Ustaz Hanan tidak memarahinya.

Selain mengaji, mereka juga melaksanakan salat ashar berjamaah di masjid sana. Sampai waktunya pulang, Naira segera ke luar dan menghampiri mamanya yang sedang mengobrol bersama para ibu-ibu yang juga mengantar anak mereka mengaji.

"Mama, ayo pulang!" ajak Naira pada mamanya.

"Udah selesai ngajinya?" tanya Marlin, lalu berdiri menghadap Naira.

"Udah!" ketus Naira.

"Kamu kenapa, Ra?" Marlin melihat Naira yang menunjukkan wajah kesalnya.

"Itu, Ma. Para anak-anak nyebelin itu! Masa Naira diketawain, sih, Ma?" Naira mengadu sembari mengerucutkan bibir.

"Memangnya kamu kenapa, Sayang? Kok sampai diketawain?" Marlin mengelus pucuk kepala Naira yang ditutupi hijab. Wanita itu tersenyum lembut pada anak kesayangannya.

"Udah, ah, Ma. Nggak usah dibahas, bikin Naira bete aja!" ucap Naira kesal. "Ayo pulang, ah!"

Marlin menghela napas melihat Naira yang seperti anak kecil, mungkin karena malu. Bayangkan saja kalau ada di posisi Naira saat ini, bagaimana?

Naira berjalan tanpa mempedulikan sekeliling yang banyak batu kerikil, dia berjalan sangat cepat, dan ....

"Aa!"

Bruk!

"Naira!" pekik Marlin yang melihat Naira terjatuh. Namun, tidak membantu Naira karena seseorang yang mendahuluinya.

Naira memejamkan mata, detik demi detik, tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali, melainkan tubuhnya telah dipangku seseorang.

Saat Naira membuka mata, netra keduanya bertemu dan sempat berpandangan.

"Pak Ustaz?" cicit Naira yang masih dalam dekapan Rifky.

"Astagfirullahhalazim." Rifky tersadar atas apa yang terjadi.

"Ma--maaf." Naira menunduk.

"I--iya. Hati-hati!" jawab Rifky gugup, kemudian berlalu pergi.

"Naira, kamu nggak papa, Sayang? Ada yang luka? Sakit?" Marlin menghampiri Naira dan bertanya khawatir.

"Naira nggak papa, Ma," jawab Naira tersenyum.

"Syukurlah kalau begitu. Ayo kita pulang, Sayang!" ajak Marlin merangkul Naira.

Naira melajukan mobilnya segera.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel