1. Kecanduan Sex - 5
"Kamu kenapa, Ky?" tanya Ustaz Hanan pada putranya. Sejak tadi Rifky terlihat melamun dan kurang fokus menyetir.
"Hem, nggak papa, Pa," sahut Rifky melihat papanya sekilas.
"Paling mikirin bidadari syurga!" cetus Iyan yang duduk di kursi belakang.
Iyan adalah teman sekaligus tetangga Rifky, mereka selalu pulang bersama dan satu mobil. Lagi pula Ustaz Hanan sudah menganggapnya seperti anak sendiri, karena kerajinan dan ketekunan Iyan dalam belajar, sehingga Ustaz Hanan senang terhadapnya.
Dia tinggal bersama Paman dan bibinya, sementara kedua orang tuanya sudah meninggalkan dia sejak Iyan masih kecil.
"Bidadari syurga? Hah! Ada-ada aja kamu,Yan." Ustaz Hanan terkekeh atas perkataan Iyan.
"Udah, Pa. Nggak usah didenger, tu anak memang suka ngada-ngada," sanggah Rifky mengomel. Matanya berputar malas.
"Yaelah, Om. Masa Om nggak tau, sih?
Gini, ya, Om. Sejak kedatangan bidadari syurga hari ini, si Rifky jadi keliatan gundah gulana gitu," beber Iyan pada Ustaz Hanan.
"Tadi aja ada kejad---"
"Shutt ... diem!" Rifky berbalik sejenak dan memelototi Iyan. Sementara yang ditatap acuh tak acuh saja.
Ustaz Hanan hanya menggeleng melihat tingkah anak serta tetangganya itu, dan tidak membutuhkan waktu lama, mereka sudah sampai di kediaman mereka sebelum Iyan sempat membocorkan semuanya.
***
Segera hari mulai gelap, lampu-lampu rumah menyala memberi penerangan kepada penghuninya, serta kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan menghiasi belahan kota Jakarta yang padat akan penduduk itu.
"Bagaimana kegiatan kamu hari ini, Nak? Apa menyenangkan?" tanya Herman sembari menyeruput tehnya. Kini keluarga itu sedang berkumpul bersama di ruang keluarga.
Naira yang tadi fokus ke arah TV langsung melihat ke arah papanya yang bertanya.
"Menyenangkan? Adanya menyebalkan!" cibir Naira menampakan raut muka gemesnya.
"Loh, kenapa?" tanya Herman keheranan.
"Naira diketawain tadi sama anak-anak, gara-gara Naira nggak bisa ngaji." Naira mengadukan semuanya pada papanya.
"Hahaha. Masa, sih, Sayang?" Herman mengelus kepala putrinya. Bukannya membela, sang Papa malah tertawa.
"Ih, kok ketawa, sih, Pa?!" rengek Naira manja, baru kali ini anak itu bersikap manja pada papanya.
"Nggak papa, yang penting kamu semangat belajarnya, ya, Sayang. Biar tambah pinter dan nggak diketawain lagi," ujar Herman dan kembali terkekeh.
"Ya, udah, ini sudah malam. Kamu tidur sana, besok jangan lupa bangun pagi!" ucap Marlin menyuruh Naira tidur. Naira menekuk wajahnya dan berjalan menuju kamar.
Herman kembali tertawa melihat tingkah lucu Naira. Segera ia menghabiskan tehnya dan mengajak istrinya untuk istirahat. Malam ini mereka semua terlelap dalam tidur yang indah.
.
.
.
Naira, Kiki dan Sindy tengah berkumpul bersama di taman sekolah. Mereka berbincang-bincang sesekali tertawa ria.
"Kinta mana, ya? Kok nggak nongol-nongol dari tadi?" tanya Sindy pada Naira dan Kiki.
"Nggak tau, biasanya jam segini dah dateng," jawab Naira celingukan.
"Nah, tuh dia!" Kiki menunjuk seorang gadis yang hendak menghampiri mereka.
"Hai, udah cantik belum gue?" teriak Kinta dari kejauhan, menampilkan senyum manisnya.
Benar, Kinta sekarang sudah memakai hijab sama dengan para sahabatnya.
"Kinta ...!" Mereka berlari berhambur memeluk Kinta.
"Aaa ... lo cantik banget," puji Naira menoel pipi Kinta.
"Dah lama nunggu inces, ya?" ucap Kinta menaikkan alisnya sembari tersenyum geli.
"Elah lo, penampilan doank yang beda," cibir Kiki tak suka.
"Tapi kelakuan ...," ucap mereka serentak.
"Hahaha!" mereka berempat tertawa bersama sampai-sampai menarik perhatian banyak siswa lainnya.
***
Hari ini sangat menyenangkan bagi empat sahabat itu, senyum dan tawa seakan tak pernah hilang dari wajah mereka.
Sampai waktunya pulang sekolah, mereka berpisah untuk menuju rumah masing-masing.
Naira menjalankan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, tapi tiba-tiba mobilnya macet dan tak bisa dijalankan.
"Duh, kenapa nih?" ucap Naira yang mulai panik.
"Macet! Mana tempat sepi lagi." Naira bergumam resah sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Jarak ke rumah sekarang masih membutuhkan waktu sekitar 20 menit lagi jika memakai mobil, tak mungkin jika Naira harus jalan kaki.
Naira celingukan menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, berharap ada yang mau membantunya. Gadis itu sangat bingung sekarang, dia duduk di pinggir jalanan yang sepi itu dan meringkuk memeluk lututnya.
Tiba-tiba seseorang mendekat dan duduk di samping Naira.
Naira menoleh dan tersentak kaget.
"Aaa ... tolong, ada orang gila!"
Naira berlari menjauh dari tempat itu sampai tak sadar kalau ada motor yang melintas di jalan sana.
Tit! Tit! Tit!
"Aaa ...."
Bruk!
"Aduh!" ringis Naira mengelus lututnya kesakitan.
"Kamu nggak papa?" tanya orang yang telah menabrak Naira.
"Nggak papa gimana? Sakit tau!" ucap Naira dengan mata berkaca-kaca.
Naira memperlihatkan tangannya yang berdarah akibat goresan aspal.
Orang itu merasa iba, dan mengangkat Naira untuk kepinggiran jalan.
"Heh, turunin gue!" sentak Naira memberontak dalam gendongan pria tersebut.
"Udah, nggak usah bawel!" Pria itu mendudukkan Naira di bangku yang ada.
"Mana, gue liat!" Pria itu menarik tangan Naira dan melihat bagian yang terluka.
"Di sini nggak ada jualan obat, lo ikut gue, ya! Kita beli obat di sana."
"Hah!" Naira menyipitkan sebelah matanya.
"Rumah lo di mana?" tanya pria itu menatap Naira.
"Masih jauh," jawab Naira sembari meniup lukanya.
"Ya udah, gue anterin lo pulang sambil kita beli obat buat lo."
Naira hanya menurut, mobilnya ia tinggal di sana. Dia akan menyuruh seseorang untuk mengambilnya nanti.
"Naira?!" monolog seseorang dari dalam mobil yang kebetulan lewat sana.
"Ngapain, dia sama pria itu?" tanya orang itu ketika melihat Naira naik ke motor cowok tadi. Kemudian berlalu.
***
"Mana, luka lo?" Pria itu menarik tangan Naira dan segera mengoleskan obat dibagian yang terluka, Naira hanya diam saat lukanya diobati.
Mereka sekarang berada di depan toko kecil yang terdapat berbagai macam jajanan.
"Oh, ya. Nama lo, siapa?" tanya Naira.
"Gue? Panggil aja Tama!" jawabnya memperkenalkan diri.
"Kalo, lo?" pria itu menatap Naira dan segera Naira membuang muka. Sangat tak nyaman jika tatap-tatapan.
"Naira!" balas Naira dingin.
'Cantik, sih. Tapi kok ketus amat?' Tama masih memperhatikan Naira, menatap gadis itu tanpa berkedip.
Naira segera melihat ke arah Tama dan menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kenapa, lo?" sentak Naira yang membuat lamunan Tama buyar.
"Eh, nggak papa. Ya udah, yuk! Gue anterin lo pulang!" ajak Tama pada Naira.
Naira memberi tahu alamat rumahnya dan naik ke atas motor Tama. Segera Tama menjalankan motornya dengan sangat pelan agar ia bisa berlama-lama dengan Naira.
"Lelet banget, sih!" ketus Naira yang mulai kesal.
"Ntar kalau ngebut, lo jatoh lagi," ucapnya lembut.
"Nggak bakalan!" timpal Naira asal.
Brum!
"Aaah!" Tama melajukan motornya tiba-tiba membuat Naira terhuyung ke depan dan memegang pundaknya.
