Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Kecanduan Sex - 3

"Kamu akan tetap sekolah seperti biasa, lagian tinggal beberapa bulan lagi kamu lulus, Sayang," ucap Marlin lembut, sesekali mengusap bahu Naira yang terlihat kesal atas permintaan mereka.

"Iya, ini sudah menjadi kesepakatan Papa sama teman Papa, tak enak jika diurungkan," kata Herman meneruskan.

"Ngapain juga Papa sama teman Papa bikin kesepakatan ini? Dan ngapain juga Papa sama Mama menerima?" kesal Naira pada Papa dan mamanya.

"Sudahlah, Naira. Ini permintaan Papa sama kamu, tolong kamu penuhi keinginan Papa, ya, Nak?"

Naira terdiam, mendengar penuturan papanya, dia menjadi tak tega jika harus menolak.

"Lagian anak teman Papa itu ganteng, kok. Sholeh lagi," lanjut Herman tersenyum.

"Bukan masalah ganteng atau nggaknya, Pa. Tapi, 'kan Naira nggak kenal sama dia?"

"Masalah kenal atau nggak kenal, 'kan kalian bisa kenalan nantinya, Sayang?" Herman kembali meyakinkan Naira.

Herman dan Marlin memang menginginkan Naira menikah dengan Rifky, selain sholeh, Rifky juga sudah dewasa, jadi pemuda itu pasti mampu mendidik putri mereka.

"Terserah Papa sama Mama," ketus Naira. Dia sangat malas berdebat sekarang, apalagi tentang keinginan orang tuanya itu. Lagi pula dapat dipastikan dia akan kalah jika berhadapan dengan papanya.

Mama dan papanya memang egois, tapi di balik keegoisan itu ada rasa sayang yang mendalam mereka terhadap Naira.

Semua ini mereka lakukan agar Naira memperoleh pendamping yang mampu membimbingnya ke jalan yang benar. Herman dan Marlin tidak mau jika putrinya harus terjerembab ke jurang yang kelam. Ya, orang tua mana pun pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, begitu juga dengan orang tua Naira.

"Ya sudah, kita bicarakan ini lain kali saja, kamu tidur sekarang! Ini udah malam," titah Marlin pada Naira.

Naira hanya menurut dan berjalan menuju kamarnya.

Herman dan Marlin saling pandang dan melempar senyum, mereka bersyukur memiliki anak seperti Naira. Meskipun Naira anak yang bandel, tapi dia tetap berbakti pada kedua orang tuanya.

.

.

.

Pagi telah tiba, di mana semua orang seharusnya bangun untuk melaksanakan ibadah kepada Sang Khalik. Namun, tidak dengan Naira. Gadis itu masih bergelut dalam mimpinya tanpa terusik sedikitpun.

"Naira, bangun!" Marlin menggoyangkan tubuh Naira yang masih ditutupi selimut.

"Hmm ...." Naira menjawab dengan mata terpejam.

"Bangun, ayo salat subuh dulu!" ajak Marlin.

"Ah, Mama, nanti," ucap Naira membuka mata. Kemudian menutupnya lagi.

"Ini sudah waktunya subuh, Sayang. Ayo cepat bangun!"

Naira tak menggubris perkataan Marlin, dia masih setia menutup mata dan membelakangi mamanya yang memanggil.

"Naira! Kalau kamu nggak bangun Mama siram kamu!" ancam Marlin agar Naira segera bangun.

"Ck! Iya, Ma, iya!" Naira membuka selimutnya dan turun dari ranjang.

"Cepat kamu siap-siap! Mama tunggu!" Marlin meninggalkan Naira yang masih mengucek-ngucek matanya.

Naira berjalan menuju kamar mandi dengan sempoyongan, matanya belum sepenuhnya mau terbuka.

Huh! Gadis itu memang pemalas, jangankan akan bangun sendiri, dibangunkan saja susah.

Beberapa menit kemudian, mereka semua sudah melaksanakan salat subuh berjamaah. Selesai salat, Marlin langsung memasak bersama Bi Ijah untuk mereka sarapan nanti, sedangkan Naira segera bersiap-siap untuk sekolah.

Tepat jam 6 pagi, Naira keluar kamar dengan pakaian sekolahnya. Dia memakai rok abu-abu panjang, baju panjang, dan jilbab putih yang menambah kesan cantiknya.

Sebenarnya Naira tak ingin pakai hijab saat sekolah, tapi ini perintah Mama dan papanya yang mau tak mau harus dituruti.

"Sarapan dulu, Sayang," ajak Herman yang dari tadi sudah duduk di kursi makan.

Pria itu juga sudah siap dengan pakaian kantornya. Herman bekerja di perusahaan keluarga yang dia teruskan.

"Iya, Pa." Naira duduk di kursi sebelah mamanya.

"Ayo makan, Sayang." Marlin menyerahkan piring berisi nasi pada Naira.

Mereka sarapan bersama dalam keheningan, hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar.

"Naira, jangan lupa kamu hari ini mulai ngaji, ya!" ucap Herman di sela makannya.

Naira melihat ke arah papanya. "Iya, Pa," jawabnya menurut.

"Nanti Mama yang nganterin kamu perginya, Sayang," ujar Marlin tersenyum, dibalas anggukan kecil oleh Naira.

Selesai makan, Naira berangkat sekolah dan menyalami tangan orang tuanya. Begitu juga dengan Herman yang akan pergi bekerja.

***

Saat sampai di sekolah, Naira segera mendapatkan perhatian dari para murid di sekolah itu. Pasalnya karena hijab yang Naira pakai.

"Wah-wah, Naira udah taubat, guys!"

"Iya, nggak nyangka gue!"

"Kesambet apa tuh, Naira?"

Berbagai macam cibiran Naira dapati dari mereka.

Namun, tidak secara langsung karena mereka tahu siapa Naira. Siapa pun yang berani mengusik pasti akan terusik, tapi Naira tidaklah seberandal itu, dia hanya tidak ingin diganggu!

"Hai," sapa Naira pada tiga sahabatnya yang tengah berkumpul di dalam kelas.

Mereka semua melihat ke arah sumber suara dan mendapati sosok Naira dengan penampilan yang sangat berbeda.

"Naira?!" ucap mereka serentak.

"Kenapa, sih?" Naira kebingungan melihat para sahabatnya menatap dengan tatapan aneh.

"Ini beneran lo, Ra?" tanya Sindy mendongakkan dagu Naira.

"Iya, ini gue. Kenapa sih? Ada yang salah?" tanya Naira.

"Aneh banget, lo!" Kinta menatap Naira dari kepala sampai ujung kaki.

"Badai dari mana, ya, yang nyadarin, lo?" ucap Kinta memutar bola matanya.

"Gue, sih seneng liat Naira pakai hijab. Makin cantik!" Kiki mengacungkan dua jempolnya pada Naira, tersenyum manis sebagai dukungan.

"Nah, gitu donk, jadi sahabat itu mendukung bukan sebaliknya," timpal Naira sembari membenahi hijabnya.

"Lo sama Kiki emang sebelas dua belas!" Kinta melipat kedua tangannya di dada, anak itu terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Lo kali yang nggak punya teman, kita bertiga udah pada pake hijab, nih. Lo kapan nyusul?!" ucap Sindy dengan nada ejekan ringan.

"Tul, tu," timpal Naira menunjuk Kinta.

Kiki dan Sindy memang dari dulu sudah berhijab, mereka berdua adalah sahabat Naira yang terbilang alim daripada Naira dan Kinta.

"Paling besok juga udah nyusul, mana mau dia beda sama kita," cibir Kiki sambil melirik Kinta dengan ekor matanya.

"Sok tahu, lo!" timpal Kinta ketus.

"Tapi kayaknya benar juga, lo. Gue emang harus pake hijab besok." Kinta mengetuk dagunya. Dia juga tak ingin beda dari yang lain.

"Elo, sih! Pake hijab nggak bilang-bilang sama gue."

"Ya, mana gue tahu." Naira mengangkat bahunya dan duduk di sebelah Kiki.

"Udah-udah! Sebentar lagi bell bunyi, ayo siap-siap, kita mau upacara, nih!" ajak Sindy pada sahabatnya.

Naira, Kinta dan Kiki menatap Sindy dengan tatapan malas. Selain sok bijak, Sindy itu terbawel di antara mereka semua, dasar cerewet!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel