1. Kecanduan Sex - 2
"Apa, Ma?" ulang Naira tak percaya.
"Ya! Papa kamu nggak pernah main-main, Ra. Kamu ingat itu!" ucap Marlin memperingatkan. Kemudian berlalu meninggalkan Naira yang masih tercengan.
'Ck! Papa menyebalkan!' umpat Naira dalam hati. Dia menatap malas baju-bajunya yang ada di lemari itu, dengan terpaksa dia harus memakai baju itu untuk pakaian sehari-harinya.
"Huh!" Naira memutar bola mata ketika ia memakai baju yang terlihat gombrang sekali menurutnya. Baju lengan panjang dan menutup sebagian pahanya, serta celana panjang yang agak gebor. Ditambah lagi dengan hijab yang harus ia pakai sebagi beban di kepalanya. Ya, hijab hanyalah kain yang membuat sakit kepala bagi Naira. Apa sebenarnya yang diinginkan Mama dan papanya?! Huh!
.
.
.
Saat Naira tiba di ruang tamu, Mama dan papanya memperhatikan Naira dari kepala sampai kaki, menatap takjub putrinya seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Memang, mereka belum pernah melihat Naira memakai baju muslimah.
"Wah. Ini beneran anak mama?" tanya Marlin mendekati Naira, lalu memutar-mutar badan putrinya itu.
"Apaan sih, Ma?" decak Naira dengan nada malas.
"Kamu cantik banget, Sayang," puji Mama pada Naira.
"Pa! Liat nih, Naira cantik banget, 'kan?" Marlin melirik ke arah suaminya.
"Iya, Ra. Ini baru anak Papa," kata Herman tersenyum.
"Cantik-cantik apaan baju gombrang begini!" jawab Naira ketus.
"Kamu itu belum terbiasa aja, Sayang. Nanti kalau kamu udah biasa pasti kamu nyaman pakenya. Ya, 'kan, Pa?" Marlin meyakinkan.
"Iya, Mama kamu bener," jawab Herman.
"Udah, ah. Naira pergi dulu." Naira menyudahi pembicaraan mereka, membosankan sekali berdebat dengan Papa dan mamanya.
Naira menyalami punggung tangan kedua orang tuanya, kemudian berbalik pergi.
"Salamnya mana, Sayang?" tanya Herman sedikit terkekeh.
Ck! Naira membalikkan badannya kembali.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Mama dan Papa," ucap Naira dengan senyuman termanisnya, sayang, itu hanya terpaksa.
"Waalaikumussalam ...," jawab mereka serempak.
Naira segera menuju garasi dengan mata berputar-putar jengah, memasuki mobilnya dan melaju ke luar gerbang.
"Punya orang tua nyebelin banget, sih? Pake maksa segala buat pake baju kek ginian! Dasar nggak gaul!" umpat Naira sambil menjalankan mobilnya.
Ah, anak ini memang tak tahu balas budi, masa orang tua sendiri dicaci maki?
Meskipun tidak secara langsung, tapi tatap saja terkesan kurang ajar.
Naira sekarang menuju boutique terdekat, rencananya ingin membeli baju baru. Dia tidak ingin terus-terusan memakai baju seperti ini, tidak betah!
Sementara di rumah, Herman dan Marlin segera bersiap untuk mengunjungi rumah Ustaz Hanan. Selain tetangga, Ustaz Hanan juga teman Herman sejak SMA dulu, mereka berdua sangat akrab dan akur. Begitu juga dengan Marlin, dia sudah lama mengenal Ustaz Hanan dan istrinya---Rasya Komaria.
"Assalamualaikum." Herman memencet bel rumah dan mengucapkan salam. Mereka sekarang sudah sampai di rumah Ustaz Hanan yang tak terlalu jauh dengan rumah mereka itu.
"Waalaikumussalam," sahut seseorang dari dalam rumah.
Ceklek!
"Om Herman? Ayo masuk, Om," ajak seseorang yang tak lain adalah anak dari Ustaz Hanan.
"Ohh, iya. Papa kamu ada, Ky?" tanya Herman pada Rifky.
"Ada, Om."
Rifky mempersilakan keduanya masuk. Pemuda tampan dengan tinggi badan sekitar 178 cm itu masih berumur 23 tahun. Dia juga seorang Ustaz muda yang mengikuti jejak ayahnya. Memiliki sifat ramah, sopan santun dan sangat baik terhadap semua orang yang dikenalnya, seperti Herman dan Marlin.
"Siapa, Ky?" tanya Rasya---mama Rifky.
"Om Herman, Ma," jawab Rifky.
Mereka semua berkumpul di ruang tamu rumah Rifky. Tak lupa setelah bersalaman dan mengucapkan salam kepada keluarga Ustaz Hanan.
"Bagaimana, apa Naira mau belajar mengajinya?" tanya Ustaz Hanan di tengah obrolan mereka.
"Ya ... maulah, mau nggak mau harus mau, Han!" jawab Herman dengan nada agak bergurau.
"Hahaha, iya-iya. Lalu, tentang perjodohan antara Rifky dan Naira, apa kamu sudah bicarakan juga?"
"Kalau masalah itu belum, Han. Mungkin nanti malam," timpal Herman.
"Kenapa? Bukankah ini sudah lama kita rencanakan?" tanya Ustaz Hanan pada sahabatnya itu.
"Iya, Pak. Tapi kami belum menyampaikan semuanya pada Naira, takutnya nanti dia marah karena banyak paksaan dari kami. Mungkin kami akan menyampaikannya secara bertahap," ujar Marlin menerangkan.
Ustaz Hanan dan Rasya hanya mengangguk pelan mendengar penuturan Marlin.
"Tapi, Pa. Bagaimana kalau Naira menolak perjodohan ini, Pa? Kan nggak enak sama Naira-nya?" Rifky yang tadi hanya diam ikut bicara. Jujur saja, dia juga keberatan menerima usulan dari orang tuanya, tapi sebagai anak dia harus berbakti dan menuruti kehendak orang tua.
"Kamu tenang aja, Ky. Om yang akan bicara sama Naira," jawab Herman meyakinkan.
"Iya, kamu nggak usah khawatir, ya?" sambung Marlin tersenyum.
Mereka semua asik dengan obrolan, kecuali Rifky yang memilih pergi ke kamarnya saja, memikirkan apa yang akan terjadi atas rencana dari kedua orang tuanya itu.
Sampai matahari sudah mulai condong ke barat, Herman dan Marlin pamit pulang.
Sementara Naira masih asik menikmati angin sore dan berjalan-jalan tak jelas lagi arahnya. Sebenarnya Naira malas pulang ke rumah, tapi kalau tidak pulang sekarang, pasti dia akan kena marah lagi.
***
Siang telah berganti menjadi malam, kini Naira sedang asik memainkan handphonenya di kamar.
Entah apalah yang dia buka di benda pipih itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.50 WIB. Naira menuruni anak tangga untuk menuju dapur, mengisi botol minumnya yang telah kosong.
"Naira, kamu belum tidur, Sayang?" Marlin melihat ke arah Naira.
"Belum, Ma," jawab Naira sembari terus berjalan.
Herman dan Marlin dari tadi memang menunggu Naira turun, ada sesuatu yang harus mereka bicarakan pada Naira. Menit berikutnya, terlihat Naira berjalan hendak ke kamarnya kembali.
"Naira, kemari sebentar, Nak!" panggil Herman.
Naira hanya menurut dan duduk di sofa sebelah mamanya.
"Ada apa, Pa?" tanya Naira. Dia menggaruk-garuk rambutnya dan sesekali mengusap mata, sepertinya sudah mengantuk.
"Ada sesuatu yang harus Papa sampaikan sama kamu," ucap Herman memulai pembicaraan. Naira hanya mengangguk tanpa melihat papanya.
"Kami sudah menjodohkan kamu sama anak teman Papa," ujar Herman pada Naira yang masih menunduk. Seketika kepala Naira terangkat, matanya yang mengantuk kini telah terbuka lebar-lebar.
"Apa, Pa? Dijodohkan?" Naira menyipitkan mata seolah meminta penjelasan dari rasa kebingungannya.
"Iya, kenapa?"
"Papa ini kenapa, sih main jodoh-jodohkan Naira segala? Naira nggak mau, Pa. Naira masih mau sekolah!" timpal Naira dengan muka sebal.
"Emangnya siapa yang suruh kamu berhenti sekolah? Lagian Papa belum selesai bicara," balas Herman.
Naira hanya berdecak menanggapi perkataan papanya. Apa-apaan papanya ini? Mendengar kata 'jodoh' saja telinganya sudah gatal. Apalagi dijodohkan.
