1. Kecanduan Sex - 1
Menceritakan seorang ustaz tampan yang menikahi wanita berusia sangat remaja, dalam rumah tangganya banyak terjadi hal-hal aneh. Karena sikap kekanak-kanakan sang istri, yang selalu membuat pusing sang ustaz tersebut.
Tidak ada unsur menjelekkan agama atau apa pun, ya, karena ini hanya cerita saja. Kalau suka terima kasih, kalau gak, ya, kita bicarakan di depan KUA. Aku siap, kok, nikah sama kamu!!!
“Kapan aku akan menikah, Ma?”
“Kamu harus menikah secepatnya, Nak, mama malu dengan kamu!”
***
"Ma! Aku nggak mau pakai baju yang kek ginian, Mama ini ada-ada aja!" Seorang gadis berambut pirang berucap sebal pada mamanya.
"Naira! Ini sudah menjadi keputusan Mama sama Papa! Jadi, mau nggak mau kamu harus nurut!" tegas mama Naira---Marlin.
"Tapi, Ma, baju gamis yang kek gini tu cocoknya sama ibu-ibu, bukan sama Naira, Ma." Naira, gadis SMA yang berusia 18 tahun itu kembali berkilah.
"Ini bukan untuk ibu-ibu aja, untuk kamu juga cocok. Lagian nanti kamu bakal jadi ibu-ibu juga, 'kan?"
"Iya, Ma. Tapi aku masih remaja, masih SMA. Aku nggak mau pakai baju itu pokoknya!" timpal Naira yang tak mau kalah.
"Memangnya kenapa kalau masih remaja?" tanya mama Naira.
"Ck! Mama ini nggak ngerti banget sih." Naira berdecak sebal menghadapi mamanya yang menginginkan dia memakai baju syar'i. Padahal baju itu sama sekali tidak bagus menurutnya. Itu, 'kan baju ibu-ibu? Mana mungkin dia mau memakai baju gombrang seperti itu. Mamanya ini ada-ada saja. Naira masih SMA, Ma. Apa harus berpenampilan seperti ibu-ibu?
"Pokoknya kamu harus pakai baju ini! Mama udah beliin banyak buat kamu!" tekan Mama pada putri satu-satunya itu. Wanita paruh baya ini sangat menginginkan Naira memakai baju muslimah yang dibelinya beberapa hari lalu. Dia sangat menginginkan putrinya menjadi orang yang lebih baik dan menjadi muslimah yang seharusnya. Bukan malah bertingkah laku buruk seperti ini.
Orang tua Naira sangat menginginkan Naira menjadi anak yang sholeha. Alangkah bahagianya mereka bila mendapati putri yang memakai baju syar'i dan dihiasi juga dengan akhak yang mulia. Sayangnya, ini masih harus tertunda.
"Ma, apa Naira harus pakai baju ini buat main sama teman-teman Naira? Kan nggak mungkin, Ma?" ujar Naira lembut. Netra coklat miliknya menatap Marlin memelas, berharap hati mamanya itu akan luluh.
"Mama nggak nyuruh kamu pakai baju ini buat main, tapi buat kamu pergi belajar ngaji di masjid," ucap Marlin tersenyum.
"Hah! Ngaji? Di Masjid?" Naira kaget dengan penuturan mamanya barusan.
"Iya!" Marlin mengangguk.
"Mama jangan ngada-ngada, Ma. Naira nggak mau!" timpal Naira dengan nada tinggi.
"Apa-apaan kamu, Naira! Jangan kebiasaan membentak orang tua, apalagi Mama kamu!" bentak papa Naira yang baru datang. Tadi pria itu mendengar perdebatan anak dan istrinya di kamar.
"Pa, Naira nggak mau ngaji, Pa. Apalagi di masjid!" ucap Naira pada papanya.
"Ini keputusan Papa, Naira. Papa ngak suka kalau kamu membantah!"
"Tap---"
"Sekarang kamu sudah dewasa, Naira! Tapi pengetahuan agama kamu masih sangat dangkal, mau jadi apa kamu nanti? Dulu Mama kamu selalu manjain kamu, makanya kamu jadi anak yang kurang didikan sekarang. Papa nggak mau tau! Ini sudah sekian kalinya kamu membantah, kali ini keinginan Papa tidak bisa ditolak!" tegas Herman dengan marah.
Naira memang dari kecil sangat dimanja oleh mamanya, tapi bukan berarti Mama dan papanya tidak mendidiknya, melainkan memang anak itu yang susah diatur.
Setiap kali disuruh belajar dan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, mengaji misalnya, Naira selalu saja membantah. Akhirnya tak ada cara lain bagi orang tuanya selain menyuruhnya mengaji di luar rumah agar dia benar-benar mau belajar.
"Ayo, Ma, tinggalkan saja anak itu!" ajak Herman pada istrinya.
Mereka berdua meninggalkan Naira yang masih terpaku di kamarnya, gadis itu menatap pakaian yang terletak di sisi ranjang, menyebalkan sekali!
Daripada dia harus mendengar ocehan yang tak jelas dari papanya itu, lebih baik dia sekarang ke luar untuk jalan-jalan.
Hari ini memang hari minggu, jadi Naira tidak sekolah. Dia berniat keluar dari rumah ini untuk menghindari papanya. Ya, dari dulu memang seperti ini kelakuannya. Suatu kebiasaan buruk!
Naira melangkah menuju lemari untuk memilih baju yang akan dia pakai.
"Hah! Baju gue pada ke mana?" Naira mencari baju-bajunya yang dia taruh di lemari, tapi tidak ia temukan. Malahan yang ada berbagai macam baju gamis, celana panjang, baju panjang, kerudung serta pakaian muslimah lainnya.
Ke mana baju kemeja dan celana jeansnya yang hampir memenuhi lemari itu? Atau baju yang lagi trend masa kini.
Apa mamanya sudah membuangnya?
"Maa!" teriak Naira memanggil mamanya.
"Sudah, tak usah digubris!" ucap Herman kesal.
"Nggak gitu juga kali, Pa. Siapa tau Naira butuh sesuatu?" Marlin membujuk.
"Kamu ini, Mah. Dari dulu selalu aja manjain Naira!" Herman menatap istrinya sejenak, setelah itu kembali pada korannya.
Marlin hanya menghembuskan nafas kasar melihat suaminya ini, lalu berjalan menghampiri Naira.
"Ada apa, Ra?" tanya Marlin ketika tiba di kamar Naira.
"Ma, baju Naira ke mana, Ma?" Naira melihat mamanya yang masih berdiri di pintu.
Marlin mendekat, ikut membuka lemari putrinya itu dengan senyum. "Ini semua baju kamu, Ra."
"Bukan yang ini, Ma. Baju-baju Naira yang Naira sering pake?" kata Naira dengan muka penuh tanya.
"Sudah ada di gudang!"
"Apa, Ma?" Marlin hanya mengangkat kedua alisnya untuk menanggapi pertanyaan Naira.
"Kenapa bisa di gudang?"
Naira bertanya lagi.
"Papa kamu yang nyuruh Mama buat buang semua baju kamu ke gudang. Katanya baju kamu itu kurang bahan, ketat dan sama sekali tidak menutup aurat!"
Mendengar nama papanya, Naira langsung menghela nafas kasar. Tak mungkin jika ia harus membantah lagi. Bisa-bisa papanya tambah marah.
"Terus, Naira pake baju yang mana, Ma?" Naira memelas pada mamanya. "Masa Naira harus pakai baju gamis buat jalan-jalan sama teman Naira?" sambungnya lagi.
"Di sini, 'kan sudah tersedia baju panjang dan celana panjang, Ra? Kamu bisa pakai itu, dan satu lagi ... kamu harus pakai hijab, ya!" ucap Marlin tersenyum, yang dibalas dengan muka malas Naira.
"Tapi, Ma. Apa kata teman-teman Naira nanti kalau liat Naira pakai baju kek gitu. Naira nggak biasa, Ma ...," bantah Naira yang berharap mamanya mengerti.
"Ngapain juga kamu dengar kata orang, Ra?"
"Ah, Mama!" Naira menghempaskan tangannya di udara, membuang pandangan, lalu bersedekap.
"Ra, kalau kamu nggak nurut sama Papa, mobil kamu bakalan Papa sita, dan uang jajan kamu bakal dikurangin!"
