Bab 8 Melahirkan
"Ibu, perut Rea sakit!" teriakku memanggil ibu di dalam kamar.
"Rea, ada apa, Nak? Kenapa teriak-teriak." ibu bertanya dengan panik saat membuka pintu.
Aku masih meringis menahan sakit yang amat dahsyat. Kontraksi di perutku kian kencang.
"Perutku sakit."
"Masya Allah, kamu mau melahirkan, Nak. Itu air ketuban sepertinya sudah pecah." Ibu menunjuk di bawah kakiku yang terlihat basah. Cairan bening seperti air kencing kian menetes deras.
"Sakit, Bu. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan," ucapku lirih.
"Rea, bertahanlah! Ibu akan menelpon Bayu untuk meminta bantuan membawamu ke rumah sakit."
Ibu berlalu ke kamarnya dengan gugup, dan mencari benda pipih miliknya untuk menelpon Bayu.
Menit kemudian, ibu keluar dan menekan tombol. Menelpon kontak Bayu dan menghubunginya.
[Halo] suara Bayu dari arah seberang sana.
[Nak, Bayu tolong segera kemari! Rea, akan melahirkan] ucap ibu dengan sedikit tegang.
[Baik, Bu] telpon terputus kemudian.
Sepuluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda Bayu akan datang. Jam menunjukkan pukul sebelas malam.
Terdengar dari luar rumah suara mobil, dan klakson. Memecah kesunyian malam.
"Ayo, Rea kita segera ke rumah sakit sepertinya Bayu sudah datang," ujar ibu membantuku memapah keluar.
Sementara itu asisten rumah tangga Bi Inah membawakan tas, yang berisikan lengkap perlengkapan bayi dan lahiran.
"Assalamualaikum."
Suara salam dan ketukkan pintu pelan dari arah luar.
Bi Inah membukakan pintu dengan tergopoh-gopoh. "Waalaikumsalam."
"Rea, aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertahanlah dan kuatkan dirimu. Semua pasti akan baik-baik saja." Bayu menggendongku. Seraya membawaku dengan mobilnya ke rumah sakit.
"Bayu, aku mau kelahiran anak ini ditangani dokter Maya! Tolong segera hubungi dokter Maya," titahku lirih. Dengan napas yang tersengal menahan sakit.
"Baiklah, aku akan menghubungi dokter Maya agar bisa segera menuju ke rumah sakit. Kamu tenang aja, ya!" Bayu masih fokus mengemudi. Sementara dia menelpon dengan sambungan headset.
Jalanan yang tidak terlalu macat memudahkan kami. Segera sampai ke tempat tujuan. Rumah sakit terlihat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan pasien.
***
"Bagaimana, kondisi menantu dan cucuku, dok," cecar ibu yang bertubi-tubi menanyakan kondisiku.
"Selamat!" dokter Maya memberi kabar gembira. "Ibu dan bayinya sehat."
"Ini bayinya, Nyonya." Suster memberikan bayi mungil kepada ibu.
Melihat reaksi ibu yang bahagia menimang cucunya, Bayu tersenyum semingrah.
"Cucuku." Ibu mencium bayi mungil yang menggemaskan.
Tak sengaja netra ini bersitatap dengan dokter Maya. Dengan isyarat dokter mengerti, lalu mempersilahkan Bayu untuk masuk menjenguk. Keadaanku masih yang terbaring lemah di atas ranjang periksa.
"Rea, gimana keadaanmu sekarang?" Bayu memberanikan diri menatap wajahku yang sedikit terlihat pias.
Aku tersenyum tipis, dan membuang pandangannya ke arah samping. Di luar keadaan masih gelap. Ku alihkan pandangan tanpa menjawab pertanyaan.
Hening sejenak. Sebelum akhirnya aku menjawab.
"Baik, Bayu."
"Selamat, ya!" Bayu mengucapkan kalimat bahagia. Netranya terlihat kosong menatap langit-langit plafon.
"Makasih, Bayu."
"Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menangis, Rea. Bukalah hatimu dan lupakan masa lalu," ucap ibu yang tiba-tiba menimpali obrolanku dengan Bayu.
Saat menoleh ke samping, ibu sudah datang dengan membawa bayi mungilku.
Wajah Bayu tersenyum menatapku. Dengan isyarat kecil membenarkan perkataan ibu.
"Rea, izinkan aku untuk menjadi Ayah bagi anakmu!" ujar Bayu berkata hati-hati.
Aku menoleh kearah ibu, dan meminta persetujuan darinya atas permintaan Bayu.
Ibu mengangguk pelan. " Iya."
"Aku, terima lamaranmu, Bayu." ucapku datar.
Bayu spontan kaget sekaligus girang dan memelukku.
"Rea, akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang karena kamu menerima lamaranku," tukas Bayu melonggarkan pelukannya.
"Tapi … aku minta pada Ibu dan Mas Bayu jangan katakan pada Beno jika ini adalah anaknya. Berjanjilah!" titahku meminta persetujuan dari mereka berdua.
Ibu tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan. Menyetujui permintaanku. Sementara Bayu mengernyitkan kening.
"Apa katamu tadi, Rea? Coba ulangi sekali lagi aku ingin mendengarnya. Lagi dan lagi." Bayu terus saja ngotot ingin aku mengulangi panggilan, yang barusan aku sebut.
"Ish, lebay deh." Aku tersipu malu karena merasa tergoda, dengan kata-kata Bayu barusan.
"Katakan padaku, Rea sekali lagi! Aku ingin terus mendengarnya dari bibirmu mengucapkan namaku," cerocos Bayu dengan semangat empat puluh.
"Mas Bayu! Puas," ucapku berdecak kesal.
"Heh!" Bayu ternganga. Kalimatku yang pelan mampu menohok hatinya. Bayu terlihat tak berkutik untuk membahas lagi.
Ibu hanya tersenyum kecil melihatku. Sudah lupa dari Beno. Meskipun aku hanya menantu baginya, tetapi aku dianggap anak kandung yang sudah menjadi keluarga.
Ponsel ibu berbunyi dengan nada panggilan getar. Wajah ibu mendadak berubah. Setelah menerima telepon yang sudah tidak asing lagi baginya.
Ibu menggeser tombol hijau, dan menjawab panggilan dari arah seberang.
[Halo, Nak] jawab ibu dengan ekspresi datar.
[Ibu, Anisa sudah melahirkan. Cucu Ibu sudah lahir dengan selamat dan berjenis perempuan] ucap Beno dengan antusias.
[Selamat ya, Beno] hanya ucapan itu yang terdengar dari ibu, lalu menutup telepon dari Beno.
Ibu masih diam bergeming setelah menerima telpon dari Beno. Wajah ibu seketika berubah pucat.
"Ibu, ada apa?" tanyaku penasaran.
"Anisa sudah melahirkan. Di hari yang sama sepertimu, Rea." ucap ibu dengan wajah ekspresi takut mengatakan berita itu padaku.
"Apa jenis anaknya, Bu?" tanyaku lagi.
"Perempuan."
Aku dan Bayu hanya saling pandang mendengar jawaban ibu, yang spontan membuatku terkejut. Tidak disangka, Anisa juga melahirkan di hari yang sama.
"Apa?!" aku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran dari ibu, dan Bayu mendengar berita ini.
"Rea, tenangkan dirimu." Bayu seakan mengerti kegusaran. "Kita sudah sepakat tadi tidak akan membocorkan rahasia ini."
"Sebaiknya, kalian segera menikah agar Beno tidak curiga kalau anak ini adalah darah dagingnya," ucap ibu menimpali.
"Aku setuju dengan pendapat Ibu," tukas Bayu.
Aku tidak merespon perkataan Bayu. Aku masih syok dengan berita kelahiran. Anisa juga melahirkan anak perempuan. Sama sepertiku di hari ini. Berarti anakku akan mempunyai saudara satu darah dengan anak---adik kandungku.
"Setelah, Rea usai nifas kami akan melangsungkan pernikahan." Bayu berkata meminta pendapat ibu.
"Ibu, setuju denganmu, Bayu," jawab ibu.
"Bagaimana pendapatmu, Rea?" tanya Bayu menoleh ke arahku.
"Aku setuju," jawabku datar tanpa ekspresi.
Terlihat ibu dan Bayu tersenyum bahagia mendengar jawabanku. Jujur, meski di hatiku tidak ada bunga-bunga cinta untuk Bayu, namun ada desiran halus dalam hati. Debaran-debaran aneh pun datang. Hanya bedanya, aku tidak terlalu bergairah menyambut lamaran Bayu.
Bukti tidak ada getaran, dan degupan kencang dalam dadaku, yang menimbulkan kegugupan. Saat menatap wajah Bayu. Salahkah aku bila tidak ada reaksi dalam menerima cinta Bayu. Mungkin dengan sejalannya waktu, aku akan mencintainya dan menerima cinta Bayu seutuhnya.
Pada akhirnya apa yang Allah takdirkan pasti akan terjadi. Berhenti memikirkan sesuatu yang gagal diraih dengan asal, akan menimbulkan kegagalan.
"Sebaiknya, kamu istirahat! Biar Ibu saja yang menjaga Rea," ujar ibu.
"Gak papa, Bu. Biar aku saja yang menjaga Rea. Ibu saja yang beristirahat dan pulang saja diantar supirku. Besok jika aku masuk kerja Ibu yang bergantian jaga."
Bayu memutuskan malam ini untuk menjaga, dan meminta agar ibu pulang. Besok kembali ke sini bergantian menjaga.
"Ibu, gak mau merepotkanmu, Bayu," bantah ibu yang bersikeras bertahan di rumah sakit.
"Ibu, benar apa kata Bayu. Sebaiknya Ibu pulang saja istirahat. Nanti, Ibu sakit kalau harus begadang di sini," ucapku menimpali.
"Baiklah, kalau begitu. Ibu pulang sekarang. Tolong kamu jaga baik-baik cucu dan menantuku," pinta ibu berlalu. Seraya berpamitan, dan bergegas keluar meninggalkan ruang bersalin.
Aku pandangi wajah Bayu duduk di sebelahku yang terlihat lelah. Kepalanya bersandar di ranjang. Dengkuran halus terdengar menghiasi tidurnya yang lelap. Kuusap pucuk kepalanya. Takut membangunkan tidurnya yang kelihatan sangat nyenyak. Kubisikkan kata yang tidak mampu didengar.
"Maafkan aku, Bayu. Yang belum sepenuh hati menerima cintamu dengan sepenuh jiwa," gumamku.
Bayu yang terlihat lelap dalam tidurnya. Dia hanya menggeliat. Kemudian melanjutkan tidurnya dan bermimpi. Entah mimpi apa yang sedang dialami, namun terlihat dia tersenyum dalam tidurnya.
Mungkin Bayu sedang bermimpi indah sekarang. Mimpi yang menjadi kenyataan, sebentar lagi akan terwujud. Aku menjadi pendamping hidupnya.
***
Bersambung.
