Bab 7 Sembilan Bulan
Setelah kepergian Mas Beno dan Anisa ke luar kota, aku mencoba untuk ikhlas menerima kenyataan. Bahwa diri ini, kini adalah seorang wanita sekaligus calon ibu. Mungkin bagi pasangan yang menikah, akan senang dengan kehadiran bayi mungil di tengah mereka. Menyabut dengan penuh suka cita.
Tapi tidak denganku, kehadiran bayi ini dianggap tidak beruntung. Saat ia hadir dalam rahim, ayahnya berselingkuh dengan adik kandungku. Kenyataan yang sangat miris untuk dihadapi. Batin menangis, jiwa terguncang.
Kebahagiaanku hancur seketika, harus menyaksikan kenyataan yang begitu menyakitkan. Teganya suami dan adikku menikam dari belakang, dengan perselingkuhan mereka yang juga menghasilkan buah cinta sama seperti yang aku alami. Anisa juga hamil, usia kandungannya memasuki bulan kedua.
Tidak dapat kubayangkan jika nanti anak---Mas Beno harus lahir dari Anisa dan anak ini juga lahir. Mereka akan bernasab satu nama. Anakku dan anak Anisa mempunyai darah yang sama dari hasil benih Mas Beno. Aku sempat depresi memikirkan semua keadaan ini. Ingin rasanya menggugurkan kandungan, tetapi apa salah bayi yang tidak berdosa ini, hingga menanggung beban orang tuanya.
Bagaimanapun bayi ini tidak boleh mengetahui, jika nanti ia lahir harus melihat kondisi berantakan. Kalau ayahnya masih hidup. Dan ternyata telah pergi meninggalkan untuk memilih wanita lain, dan mempunyai anak juga yang sama seumuran dengannya.
"Rea, ini hasil USG mu sudah keluar," ujar dokter Maya memberikan sebuah amplop berwarna coklat.
"Makasih, Maya. Kamu selalu membantuku dalam hal kecil sekalipun." Aku berucap dengan menerima amplop yang diberikan Maya.
Maya mengulas senyum padaku.
"Sama-sama."
Dokter Maya pergi dari ruanganku. Setelah menyerahkan hasil USG. Di dalam photo USG terlihat jenis bayiku seorang perempuan. Janin ini tumbuh sehat di sini, di dalam rahim dan bergerak sangat aktif.
Ibu mertuaku selalu menyediakan makanan bergizi untuk kesehatan menantu dan cucunya. Bahkan jika aku lupa untuk minum susu hamil, maka dengan cepat dia akan membuatkannya segera. Bu Nila mertua yang sangat baik. Aku beruntung memiliki orang tua seperti dia, karena sudah memperhatikan dengan baik di saat aku berada di titik terendah, beliau bersedia menemani.
Jika mertua lain melihat anaknya menikah, mungkin tidak akan senang punya menantu baru dan mendukung istrinya, tetapi Bu Nila berbeda dengan ibu mertua yang lainnya. Dia tidak pernah mendukung perbuatan Mas Beno, dan Anisa karena bersalah.
"Dengar ini baik-baik, Beno! Sampai kapan pun Ibu tidak akan pernah menganggap Anisa menjadi menantu Ibu." Tamparan membekas di wajah Mas Beno saat ibu dengan marah melakukannya.
"Ibu, aku mencintai, Anisa dan itu murni dari dalam hatiku," ujar Mas Beno.
"Ibu, malu punya anak sepertimu, Beno. Bagaimana mungkin akhlakmu begitu rendah hingga merusak persaudaraan, Rea dan Anisa," cecar ibu habis-habisan.
"Ibu, maafkan kami yang sudah berbuat dosa. Kami khilaf." Anisa menimpali.
"Ibu? Jangan panggil aku, Ibu! Aku tidak sudi mempunyai menantu yang sudah merusak rumah tangga kakak kandungnya sendiri," protes ibu.
"Ibu, sudah hentikan! tidak ada gunanya lagi kita berdebat masalah ini. Lebih baik aku saja yang pergi dari rumah, mungkin dengan begitu mereka bisa bebas menikah dan bahagia," ucapku lirih.
"Tidak, Rea. Merekalah yang seharusnya pergi dari rumah ini karena aku tidak akan pernah menerima pelakor ini menjadi menantuku," tukas ibu dengan ekspresi kesal.
Mas Beno terlihat shock dengan penuturan ibu yang lebih membelaku, daripada dirinya yang anak kandung.
"Baiklah, jika itu yang ibu inginkan aku akan pergi. Ibu lebih memilih menantu daripada anak sendiri," protes Mas Beno yang tidak menerima sikap ibunya.
"Itu harga yang pantas kamu dapatkan, Beno. Bagi Ibu kamu sudah keterlaluan dan tindakanmu ini tidak bisa dimaafkan," jawab ibu.Seraya memandang Mas Beno, dan Anisa dengan tatapan tajam.
Mas Beno menyeret koper dan melangkah pergi dengan hati sedih. Setelah menerima penolakkan ibunya dengan tegas. Mereka berdua ditolak dan tidak diberi izin tinggal di rumah ibu nya sendiri.
"Maaf, Dok ada tamu ingin bertemu dengan Anda," ucap suster penjaga yang membuyarkan lamunanku.
"Siapa, sus?" Aku bertanya dengan penasaran. Seingatku aku tidak punya janji dengan pasien.
"Pak Bayu."
"Iya, aku, Rea," ucap Bayu yang tiba-tiba sudah datang dari balik pintu.
"Aku belum memberimu izin masuk, kenapa sudah muncul," protesku kesal.
"Pangeran itu tidak perlu harus minta izin terlebih dahulu jika ingin bertemu dengan sang putri," celetuk Bayu.
"Apa?"
"Wau, hasil USG bayi berjenis perempuan ini sungguh luar biasa," ucap Bayu mengalihkan obrolan.
"Jangan, coba-coba mengalihkan pembicaraan, Bayu. Karena aku belum mempersilahkan kamu untuk masuk ke ruangan," cerocosku kesal.
Kurampas kembali hasil photo USG dari tangan Bayu dengan kilat.
"Olala, tuan putri sepertinya lagi kesal." Bayu mengejek dengan senyum simpul.
"Ih, Bayu. Berhenti mengolok-ngolok terus."
Wajahku terasa memanas. Mungkin sudah seperti tomat ceri yang kelihatan merah merekah. Bayu tidak bosan-bosannya terus mengejek. Ini adalah salah satu triknya untuk menghibur.
"Ayolah, Rea aku hanya bercanda. Gak usah diambil serius. Lihat tuh di kaca senyum kamu hilang. Tuh, kan." Bayu masih saja menggodaku dengan gurauan kecil yang mengesankan.
"Lalu, ada apa kamu datang kemari?" ketusku.
"Wih, jutek banget sih. Ditanya malah ngejawab sewot," tukas Bayu kesal.
"CEO tampan, ada perlu apa datang kemari?" aku berkata dengan nada ketus.
"Kamu, baru nyadar ya, kalau aku ini tampan," ucap Bayu dengan PDnya.
"Dasar, lebay," gumamku.
"Rea, akui saja kalau aku ini emang tampan! Biar nanti kalau anak kamu bertanya siapa papanya, kamu bisa menjawab dengan yakin bahwa aku inilah papa yang tampan." Bayu bermonolog sendiri.
"Udah deh, mulai lagi usilnya." Mataku melotot dan tangan berkacak pinggang mendengar ucapan Bayu.
"Ampun, Bu Dokter! Nggak lagi deh, aku hanya bercanda." Bayu menangkupkan tangan di dada meminta maaf.
"Dengan satu syarat!"
"Pasti ujung-ujungnya gak enak kalau sudah mengajukan syarat," celetuk Bayu.
"Ya sudah kalau gak mau. Gak ada juga yang maksa kamu, kok." Aku berkata dengan merajuk, memalingkan pandangan ke arah jendela kamar.
"Apa pun untuk tuan putri akan aku kabulkan." Bayu berkata dengan berlutut mengelus perutku, yang terlihat makin membesar.
Usia kandungan kini sudah memasuki sembilan bulan, dan menunggu hari kelahiran. Perhatian Bayu yang hadir menggantikan sosok ayah. Membuatku sangat terhibur sejenak melupakan masa pahit. Bayu seperti seorang ayah yang sedang memperhatikan kondisi. Bahkan dia rela datang di malam hari untuk memenuhi permintaanku yang kadang ngidam sesuatu tidak bisa ditunda lagi.
Dia bahkan rela bangun tengah malam, karena ku telpon untuk mencarikan apa yang aku inginkan. Kehadirannya sebagai sosok ayah bagi anakku membuat hati sedikit terobati. Niat Bayu ingin menikahi selalu kutolak dengan halus, masih alasan sama, anak belum lahir.
Tapi semangat Bayu tidak pernah pudar dalam memperjuangkan cintanya. Pernah di suatu hari Bayu mengutarakan keinginannya untuk melamar, dan memberikan nama anak yang belum lahir. Agar saat nanti keluar ke dunia mempunyai ayah dan nama.
"Rea, aku ingin melamarmu," ujar Bayu dengan ekspresi serius.
"Aku belum melahirkan, Bayu. Itu tidak mungkin masa idahku belum berakhir," jawabku datar.
"Aku akan menunggu sampai anakmu lahir," balasnya dengan senyuman.
"Andai aku akan menolakmu terus apa kamu akan menyerah?" tanyaku.
"Tidak peduli ribuan kali kamu akan menolak lamaranku, aku tetap akan memperjuangkan cintaku," tukasnya.
Hatiku masih belum terbuka untuk menerima cinta Bayu. Meskipun aku tau cintanya tulus tapi hati masih berat, untuk menerima dirinya. Aku belum bisa move on dari Mas Beno yang sangat aku cintai. Mungkin waktulah yang akan menjawab semuanya, dan menerima cinta Bayu dengan tulus.
"Aku ingin makan di restoran favorit bersama Ibu, Bayu," ucapku pada Bayu yang masih berlutut mencium perut ini.
Bayu berdiri dan membingkai wajahku dan kemudian berkata.
"Baiklah, jika ini syarat yang kamu inginkan agar bisa memaafkanku."
"Makasih, Bayu."
Aku membalas tatapan manik matanya yang hitam, dan menurunkan tangannya yang membingkai wajah. Kuturunkan tangannya ke bawah dengan perlahan, dan membawanya keluar dari ruangan.
"Ayo kita jemput dan membawanya makan malam bersama." Tangan Bayu menggandengku dengan erat, dan tersenyum menatap.
Kubalas senyumannya dengan anggukkan pelan, dan mengikuti langkahnya meninggalkan tempat ruang kerja. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul lima sore. Menandakan waktu dinas berakhir dan bebas tugas. Kami menuju ke tempat parkiran di mana mobil terparkir di sana.
***
Bersambung
