Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Nama

Senyum kegembiraan tergurat dari wajah Bayu. Menyambut kelahiran bayi yang kulahirkan. Seorang bayi kecil yang hadir memenuhi hari-harinya menjadi lebih istimewa. Meskipun bayi yang kukandung bukan benih cintanya, namun mampu membuat hati bayu terpikat.

"Rea, aku sudah menyelesaikan administrasi buat kepulanganmu dari rumah sakit," ucap Bayu meletakkan berkas yang dia bawa ke atas nakas.

Matanya tak lepas memperhatikan bayi mungil yang berada di sebelahku, tertidur dengan pulasnya.

"Makasih, Bayu. Aku sudah banyak merepotkanmu," kataku hampir nyaris tak terdengar.

Bayu menghela napas, lalu kembali menatapku. Netra itu begitu indah dengan manik mata hitam

"Aku tidak merasa direpotkan oleh kamu, Rea."

"Aku, hanya …." Kalimatku terputus. Saat jari telunjuknya menempel di bibir mungil ini.

"Hups!" Mata Bayu mengerjap dengan bahasa isyarat. Diambilnya bayi mungil dari pangkuanku

"Sayang, Papa akan selalu ada untukmu." Bayu mencium bayi mungil yang ada dalam gendongannya.

Aku terkesima dengan perilaku Bayu yang menyebutkan dirinya sebagai papah.

"Bayu!" panggilku lembut.

"Aku tau apa yang akan kamu katakan, Rea. Aku mohon biarkan anakmu memanggilku Papa. Walau status kita belum resmi menikah," ujar Bayu.

"Aku tidak ingin kamu salah paham, Bayu." Aku berdiri mendekati Bayu, dan mengambil alih dari gendongan Bayu.

Bayu menyipitkan netranya. "Atas dasar apa kamu berkata seperti itu, Rea?"

"Jangan terus memberiku harapan tinggi, Bayu. Yang nantinya hanya akan membuatku kecewa," ucapku dengan gamblang.

Bayu sesekali menghirup udara yang berbau karbol, lalu menghembuskan napasnya untuk mengumpulkan konsentrasi.

"Rea, belum cukupkah ketulusanku ini untuk membuktikan padamu. Bahwa apa yang aku lakukan itu semua tulus sebab aku mencintaimu. Sangat mencintaimu," kata Bayu dengan antusias.

"Jangan bicara soal cinta, jika hati terluka," ucapku menyangkal perkataan Bayu.

"Apa kamu perlu bukti? Oke, akan aku buktikan sekarang juga di hadapan semua orang. Agar kamu percaya kalau yang aku katakan bukan main-main, Rea!" teriakkan Bayu mengagetkan bayiku. Bayi ini menggeliat membuka matanya. Kemudian melanjutkan tidurnya lagi.

"Apa yang kamu lakukan, Bayu? Tanyaku penasaran.

"Memberikan bukti padamu tentang keseriusan hubungan ku ini, bukanlah sebuah mimpi tapi akan aku wujudkan menjadi kenyataan," jawabnya kemudian.

Aku tidak berani menatap sinar mata Bayu, yang mengharapkan kepastian.

"Berikan aku waktu untuk mencintaimu, Bayu," pintaku lirih.

Sekali lagi Bayu mengulas senyum ke arahku.

"Akan kuberikan sebanyak yang kamu mau." Bayu mengambil tanganku dan menggenggamnya erat.

"Assalamualaikum." Suara ibu terdengar mengucap salam.

Semenit kemudian, ibu muncul dengan membawa makanan kecil, dan meletakkannya di atas nakas.

"Duh cucu---Oma, bangun dong sayang jangan tidur terus." Ibu mendekati bayiku yang sedang tertidur pulas, dan membelai pipinya yang gembul.

"Rea, siang ini kita akan pulang. Ibu sudah mempersiapkan semuanya di rumah untuk kedatangan tamu kecil kita," ujar ibu memperjelas.

Kuanggukan kepala pelan.

"Rea, tau. Ibu gak usah khawatir semua sudah diurus Bayu. Tinggal pulang saja segala administrasi sudah beres," pungkasku kemudian.

"Makasih, Nak Bayu," ucap ibu dengan semingrah.

Jam menunjuk waktu pukul sebelas siang. Waktu kepulangan sudah tiba. Terlihat Bayu membawa peralatan bayi dan memasukan ke dalam mobil. Aku berjalan mengiringi dari belakang. Ibu menggendong bayi dalam dekapan, dan menyelimutinya.

"Selamat ya, dok! Sekarang sudah punya baby," ucap salah satu suster.

Aku hanya membalas ucapannya dengan senyum kecil.

"Makasih."

***

Menempuh perjalanan yang hanya berjarak beberapa kilometer, membuatku terasa lelah. Begitu dengan lelaki yang kini duduk di sebelahku. Lagi fokus menyetir. Dia hanya menoleh sebentar, lalu lanjut mengemudi.

Kami tiba di halaman rumah. Segera mobil terparkir dengan rapi. Bi Inah membukakan pintu setengah berlari dari arah dapur.

"Assalamualaikum," ucapku menekan bel yang ada di samping pintu.

Pintu terbuka dari dalam oleh Bi Inah.

"Waalaikumsalam."

"Selamat datang, Non Rea." Bi Inah menyambut kami dengan ekspresi bahagia.

"Iya, Bi. Makasih sudah menyambutku," ucapku kemudian.

Bi Inah mengambil alih tas dari tangan Bayu, dan membawanya masuk ke dalam ruangan.

Aroma bedak bayi dan minyak kayu putih tercium dari rongga hidung. Kuhirup perlahan menikmati sensasi ini.

"Kamu, istirahat dulu. Ibu akan memasakkan kamu sup tulang iga biar tenaga cepat pulih." Ibu berkata sembari meletakkan bayi di box, dan melipir pergi dari hadapanku.

Tangis bayiku pecah membelah keheningan.

"Ugh … cup .. cup … sayang, anak manis. Anak Papa haus, ya?" celoteh Bayu yang menggendong bayiku dengan menimangnya.

"Berikan padaku, Bayu!" Aku mengambil alih bayiku dari gendongan tangan Bayu. Kuberi asi sebagai makanan terbaik bagi tubuhnya untuk perkembangan.

Bayu sepertinya mengerti dengan melihatku memberi ASI. Dia melengos begitu saja. Setelah aku menyusui bayiku yang menangis kehausan.

"Rea, aku akan pulang sebentar untuk istirahat dan berganti pakaian. Nanti aku akan kembali lagi ke sini untuk menjengukmu kembali." setelah berucap pamit Bayu pun pergi.

Aku tidak menjawab ucapannya. Hanya anggukan kecil saja yang mewakili ucapanku.

***

Waktu berganti malam. Siang tenggelam menyusul senja yang berwarna merah jingga. Matahari tenggelam di ufuk barat tidur dalam peraduaan. Bulan sabit separuh muncul di langit malam. Menandakan siang telah berakhir, dan menggantikan waktu malam yang kian cepat merayap.

"Ibu, membawakan makan malam untukmu, Rea."

Dibawanya nampan yang berisi sup tulang, dan segelas susu juga vitamin untuk menstabilkan tubuh pasca operasi.

Dia meletakan di atas nakas dan menyerahkannya ke hadapanku.

"Letakkan saja di situ, Bu! Aku belum lapar. Nanti kalau sudah lapar aku makan," tolakku dengan halus.

"Makanlah dulu, Nak! ini penting untuk kesehatanmu," katanya kemudian.

"Tidak baik menunda waktu makan." Bayu menimpali.

Tiba-tiba sudah muncul di hadapanku dengan pakaian kemeja rapi berwarna hitam polos.

"Sejak kapan kamu menjadi penguping pembicaraan kami?" sungutku kesal.

Merasa terpojokkan dengan situasi, Bayu pun membuat alibi.

"Oh itu, anu." Bayu gugup menjawab pertanyaanku. Tampak tingkahnya yang kikuk begitu gugup.

Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu. Senyumnya mengembang terlihat barisan gigi putih. Disampingnya gigi gingsul, menambah Bayu terlihat makin tampan.

Aku tersenyum kecil dengan kekonyolan, yang dibuat Bayu terkesan natural.

"Rea, aku sudah punya nama untuk bayimu." Bayu mendekatiku dengan langkah percaya diri.

"Nak Bayu, kamu sudah makan?" tanya ibu.

"Sudah, Bu," jawab Bayu santai.

Ibu pergi berlalu meninggalkan kami.

"Nama apa yang akan kamu berikan pada bayiku?"

"Bayi kita, Rea," ujarnya menegaskan.

"Oya?"

"Aku beri nama Aira Ah-Zahra."

Dahiku berkerut-kerut mendengar nama pemberian Bayu.

"Bagus."

"Jadi, kamu setuju dengan nama yang aku berikan tadi?" tanyanya tak percaya.

"Setuju, Bayu," jawabku mantap.

Sebuah panggilan vidio cal dari Anisa. Aku diam tak beranjak menatap layar ponsel. Aku menolak panggilan video dari adikku.

Pesan masuk dari aplikasi watshap Anisa.

[Mba Rea aku sudah melahirkan keponakan yang imut] kubaca pesannya tanpa membalas.

[Lihatlah anakku! Lucu dan imut, kan?] Anisa mengirimkan photo seorang bayi mungil.

Kuusap dadaku yang terasa sesak dalam paru-paru napasku.

[Imut bukan? Ia seorang perempuan] sekali lagi ku buka pesannya tanpa membalas.

[Kuberikan dia nama Dea ] air mataku lolos tanpa permisi membanjiri pipi.

Begitu bangga adikku menunjukkan anak hasil perselingkuhannya dengan suamiku. Andai dia tahu bahwa aku juga melahirkan sama sepertinya, mungkin dia akan merasakan penderitaan yang aku rasakan.

"Sakit, sudah pasti sakit." Itu yang kini kurasakan.

"Rea!" Tepukkan halus di bahuku membubarkan lamunan sementara.

Bayu menghapus jejak air mata yang menempel di pipi ini.. Kuangkat wajah menengadah kehadapannya.

"Maaf, Bayu aku baper," ucapku beralibi.

"Air matamu sangat berharga untuk menangisi seseorang yang sudah melupakanmu," katanya kemudian. Bayu duduk di sisi ranjang menyuapiku dengan makanan yang dibawa ibu tadi.

"Dasar, playboy." Kucubit pinggang Bayu dengan cubitan kecil.

"Aduh sakit, ampun!" cerocosnya meringis kesakitan.

Candaan dari Bayu membuatku sedikit terhibur dengan aksinya yang sedikit narsis.

"Oh ya, kapan kamu akan membawa orang tuamu ke sini?" tanyaku asal.

"Wau! Tuan putri yang cantik, sudah tidak sabar ya mau di lamar," ucap Bayu menggodaku dengan candaan canggung.

Aku menunduk malu dengan ucapan tadi. Bodohnya aku, mengapa harus mengatakan duluan. Wajahku pasti sudah seperti buah ceri merah merona menahan malu.

"Is, apaan sih Bayu." Aku menyangkal perkataan ku sendiri.

"Sayang, lihatlah, Mamamu sekarang! Wajahnya seperti tomat yang merah merona."

Bayiku hanya menggeliat mendengar Bayu menggodaku.

Rasa bahagia mulai bersinar dari tatapan mata Bayu yang terlihat teduh. Kubalas tatapannya dengan senyuman tersipu malu.

"Anak Mama, gak usah dengerin ya ucapan papa Bayu," celetukku.

Mata Bayu membulat menatapku," Hei, apa-apaan ini. Jangan menghasut anakku yang masih kecil."

Aku tidak peduli dengan celotehan Bayu yang protes berbicara sendiri.

"OMg, dadaku bergemuruh, detak jantungku tidak beraturan."

Hampir saja aku terjatuh kalau saja Bayu tidak segera menangkapku. Seperti cerita di film sinetron adegan kami dilakukan. Bayu menahan pinggangku agar tidak jatuh dan memelukku dengan spontan.

Tatapan mata kami kembali bertemu.

"Hati-hati, Rea!"

Suara ketukan pintu pelan membuat kami melonggarkan pelukkan.

"Masuk!"

Pintu terbuka perlahan.

"Maaf, Non. Nyonya menyuruh saya buat anterin jamu kunyit asem ini." Bi inah meletakkan minuman kunyit asem di atas nakas, lalu melipir.

"Iya, Bi. Makasih sudah mau mengantarkan minuman saya."

Bi Inah pamit untuk melanjutkan tugasnya kebelakang.

"Bayu, udah ah becandanya. Aku capek mau istirahat," lirihku nyaris berbisik tak kedengaran.

"Baiklah, jika itu mau aku akan pulang sekarang. Jaga baik-baik putri kita," ujarnya.

Aku mengangguk menanggapi permintaannya.

"Mas Bayu, I love you."

Bayu berhenti membalikkan tubuhnya kembali menatapku. Aku menutup wajah, dan menyembunyikan ekspresiku di balik tirai kelambu, yang melambai dari balik box bayi.

"Wah, kamu sudah berani menggodaku sekarang, ya?" tangan kekarnya mencoba meraih yang bersembunyi di balik box bayi.

"Jangan mendekat, Bayu!"

Bayu terus mendekati dengan aksinya ingin menggapaiku. Dengan sergap ku tepis tangan kekarnya, dan berlari kecil menghindar.

"Katakan sekali lagi, Rea! Aku ingin kamu mengulanginya sekali lagi"

Lagi, dengan kepura-puraan aku berusaha tak mendengar.

Bayu semakin gemas dengan aksi keberanianku yang malu-malu kucing.

"Tidak ada siaran ulang," ketusku.

"Ugh!" Bibir Bayu mengerucut maju dua centi.

"Sudah sana pulang. Hari semakin malam."

"Ogah, aku tidak akan pulang sebelum kamu mengucapkannya sekali lagi," rajuknya.

"Aih, males banget," jawabku pedas.

"Please, Rea!" Bayu memelas memasang wajah lemas.

Tanpa meluluskan permintaan kecilnya, aku menutup pintu kamar dan membantingnya dengan kasar.

Malam ini mungkin aku tidak bisa tidur membayangkan wajah Bayu, yang memelas tadi. Kutatap langit plafon kamar. Sebuah pemandangan kembali berputar di atas sana seperti sebuah film.

"Maafkan, aku Bayu. Mungkin aku terlalu naif untuk mengakui perasaanku saat ini padamu. Tapi percayalah suatu hari nanti aku akan menerimamu dengan persiapan penuh." Hati kecilku berkata.

Aira bayi kecilku tertidur dengan lelapnya setelah minum susu formula. Selain asi aku juga memberikannya susu formula. Wajah imutnya sedekit mirip dengan Mas Beno. Namun, sayang sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengatakan padanya. Jika aku mempunyai anak dari benihnya. Biarlah rahasia ini akan aku simpan sampai nanti Aira dewasa.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel