Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Selamat Ulang Tahun Rea

Hari yang sangat spesial penuh kejutan istimewa memberi harapan baru pada masa depanku. Siang itu Bayu sengaja pergi kerumah sakit untuk menjemputku pulang. Mata Bayu berbinar, dia tersenyum simpul penuh makna menyiapkan kejutan manis untukku.

Yah, hatinya dipenuhi sejuta kebahagian mengingat ini adalah ulang tahunku. Baginya, aku adalah sahabat sekaligus wanita yang selama ini membuatnya menjadi penyemangat hidup. Tapi … dia telah salah merelakan cintanya untuk Beno yang sudah mengkhianati pernikahan dengan berselingkuh dan menghancurkan pernikahan.

Andai saja dulu dia tak merelakan aku menikah dengan Beno mungkin saat ini aku akan bahagia menjalani hidup dalam biduk rumah tangga yang kami jalani bersama. Tapi nasi sudah menjadi bubur tidak mungkin akan menjadi nasi kembali. Waktu tidak bisa diputar mundur kebelakang.

"Selamat untuk pernikahanmu, Rea!" ucap Bayu mengulas senyum terpaksa.

Hati Bayu hancur harus menghadiri pernikahanku. Bayu terlambat mengutarakan isi hatinya kepadaku sahabat masa kecil sekaligus cinta sejatinya.

"Makasih, Bayu," balasku tersenyum bahagia.

Bayu melangkah pergi meninggalkan kemeriahan pestaku yang dihadiri teman dan saudara dengan meriah. Langkahnya gontai tidak kuat menahan rasa sesak di dada yang kian menyeruak, hingga membuat hatinya bagai tertusuk seribu duri.

"Mungkin jika dulu aku tidak mengalah dan mengikuti saranmu, kita tidak akan berpisah Rea," gumam bayu berkata di dalam hati.

Masih ingat dalam bayangan benak Bayu, di mana aku menolak cintanya yang dianggap bercanda.

"Aku ingin melamarmu, Rea," ucap Bayu menunjukkan sebuah cincin dengan berhiaskan batu merah delima diatasnya.

"Kamu, bercanda kan, Bayu?" tanyaku dengan ekspresi bingung.

"Enggak, kok."

"Serius, Bayu? Aku tidak ingin menikah denganmu karena kamu adalah sahabat yang selamanya tetap sahabat bukan suami," ujarku

Bayu terdiam sesaat dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ditatapnya wajah ini dengan tegang.

" Hahaha …. " Bayu tertawa dengan ekspresi mengejek. "Aku bercanda, Rea."

"Bayu! Aku tidak suka dengan candaanmu yang hampir saja membuat jantungku berhenti berdenyut," umpatku kesal.

"Makanya punya wajah jangan terlalu imut jadi gak bikin gemes aku buat ngerjain kamu," balas Bayu menyembunyikan kegundahan hatinya.

"Ih, Bayu. Awas, kamu, ya! Tunggu pembalasanku," teriakku yang berlari mengejar Bayu. Sementara Bayu sudah berlari kecil meninggalkanku sendiri.

"Wek … kejar aku kalau bisa," ejek Bayu sembari menjulurkan lidahnya ke depan mengejekku.

"Tunggu, Bayu!" teriakku menyadarkan Bayu dari lamunan.

Bayu tersentak kaget ketika aku mengetuk pintu mobilnya dengan keras. Ternyata Bayu lagi melamun masa lalu bersamaku. Dulu, saat dia mengutarakan isi hatinya kepadaku entah mengapa aku menolaknya. Ku anggap Bayu bercanda.

"Rea?" Bayu segera membuka kaca jendela mobilnya.

"Ada apa, Bayu?" tanyaku.

"Aku gapapa, Rea. Lagi mikirin kerjaan," jawab Bayu dengan tatapan kosong.

"Oh, ya sudah kalau gitu. Ayo kita pulang!"

"Ayo!" jawab Bayu singkat.

"Rea, aku mau makan dulu di restoran kamu mau ikut nggak?" tanya Bayu menoleh ke arahku, dan menunggu jawabannya.

"Jika, aku menjawab tidak, kamu akan tetap membawaku kesana." Aku mengerucutkan bibir dengan ekspresi merajuk.

"Nah, itu kamu tau jawabannya."

"Ya iyalah, kamu orangnya pemaksa," ledekku tersenyum tipis.

Bayu hanya tersenyum menanggapi celotehanku. Merasa diledekin, Bayu pun tidak menghiraukan lagi apa yang dikatakan tadi. Pria itu masih terus saja fokus menyetir membawa mobilnya. Hingga tiba di restoran yang kami tuju.

***

Malam beranjak gelap siang berganti dan menunjukkan pukul tujuh malam. Bayu dan aku tiba di depan rumah kediaman ibu mertua. Aku tinggal bersama ibu mertua yang tidak lain adalah ibu kandung---Beno.

Saat Beno memutuskan pergi dari rumah, ibu mertua memintaku untuk tetap tinggal bersamanya. Walaupun aku hanya seorang menantu, tetapi ibu mertua sudah menganggap anak sendiri. Statusnya sebagai menantu tidak menurunkan kasih sayangnya untuk menerima dengan sepenuh hati.

"HBD, Rea. HBD, Rea," ucapan ulang tahun terdengar dari dalam ketika aku memasuki ruang tamu yang gelap.

Ternyata ibu mertua dan Bayu sudah menyiapkan kejutan manis di hari ulang tahunku yang istimewa. Membuatku lupa kalau hari ini adalah ulang tahun yang kesekian.

Aku menangis haru saat kejutan manis menyapa.

. "Ibu, makasih."

Aku langsung memeluk ibu mertua dan menangis.

"Selamat ulang tahun, Rea," ucap ibu sembari memberi kecupan di kening ini.

"Aku tidak menyangka jika ibu akan menyiapkan hari istimewa untukku," ucapku.

"Mana mungkin kami lupa hari ini adalah ulang tahunmu," timpal Bayu.

Terlihat ibu mertua sudah menyiapkan perayaan kecil-kecilan yang dia lakukan bersama Bayu. Hanya beberapa teman yang datang menghadiri perayaan ini. Tetangga, ibu, umi, terlihat hadir ikut memeriahkan ulang tahunku.

Senyum semingrah di bibirku yang mungil. Bayu mendampingiku memotong kue ulang tahun yang diiringi dengan nyanyian kecil para tamu undangan. Saat aku memotong kue ulang tahun terlihat Beno, dan Anisa datang membawakan hadiah dan mendekati.

"Selamat ulang tahun, Rea." Beno mengucapkan dengan tersenyum.

"Terima kasih." Aku hanya membalas dengan singkat.

"Mba Rea, selamat ulang tahun," ucap Anisa memberikan sebuah bingkisan.

"Pergi! dan bawa saja hadiahmu kembali aku tidak membutuhkannya," ketusku.

Suasana menjadi kasak-kusuk saat kehadiran Anisa dan Beno di tengah acara ulang tahun.

"Beno, sebaiknya kamu keluar dari rumah ini dan jangan membuat keributan," ibu mertua setengah berbisik menggamit tangan Beno, dan membawanya ke sudut ruangan.

"Ibu, aku hanya ingin mengucapkan selamat kepada Rea, itu saja dan tidak lebih dari itu," timpal Beno. Seraya menenangkan ibunya yang kelihatan gusar.

"Aku tidak akan membiarkanmu melukai hati Rea setelah apa yang kamu lakukan selama ini kepadanya, apalagi Rea sekarang lagi," ucapan ibu terputus saat tanganku memberi isyarat untuk diam. Menandakan tidak boleh berbicara lanjut.

"Ibu, jangan katakan apa pun padanya, karena hubungan kami sudah berakhir sejak hari itu dia memutuskan untuk memilih adikku," ketusku.

Aku memotong obrolan ibu dengan Beno.

"Rea, aku ingin berbicara denganmu sebentar," ucap Beno menahan langkah yang hendak meninggalkan ibu.

Aku tidak memperdulikan ucapan Beno bahkan hanya sekedar menoleh pun tidak aku lakukan.

"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, Mas," jawabku ketus.

"Aku mohon, Rea!" tangan Beno menarikku bermaksud menahannya.

Aku menoleh kearah ibu untuk meminta pendapat. Dengan anggukkan ibu memberi jawaban.

"Baiklah." Aku menyetujui permintaan Beno.

"Kita bicara di belakang taman saja di sini tidak leluasa," ujar Beno.

Aku dan Beno menuju taman belakang rumah yang tidak begitu luas namun, mempunyai tempat yang teduh untuk mengobrol.

"Katakan, aku tidak punya banyak waktu untuk mengobrol denganmu." Aku berkata dengan nada tegas.

"Aku hanya ingin mengembalikan hakmu yang tidak pantas aku nikmat." Beno memberikan kunci ke tangan ini. Seraya menarik napas dan membuangnya perlahan.

"Kenapa dan mengapa, kamu mengembalikannya?" tanyaku dengan menatap wajah Beno yang sedikit frustasi.

Entah dengan alasan sengaja ataupun hanya sekedar rasa belas kasihan. Beno mengembalikan kunci klinik beserta sertifikat kepemilikkan atas namaku. Klinik tempat Beno bertugas sekarang itu adalah klinik yang aku bangun sebelum kami menikah. Aku memberikan klinik itu kepada Beno karena yakin dia pasti akan mampu membesarkan dan mengelolanya.

"Aku akan pindah ke luar kota karena disanalah aku akan melanjutkan tugasku sebagai dokter," jawab Beno.

"Oh, jadi hanya karena kamu malu skandal terbongkar, lantas dengan sengaja kamu mengembalikan semua ini, Mas." Aku berkata dengan sedikit nada tinggi.

"Tidak, Rea. Bukan karena itu."

"Lalu, apa namanya, Mas? Jika kenyataannya apa yang kamu lakukan semua itu adalah fakta." Aku berkata kesal.

"Mungkin, kamu benar kalau aku pria yang pengecut. Tidak berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanku."

Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah Beno dan menyisakan tanda merah di pipinya yang putih.

"Pengecut."

Hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Tatapanku berembun sebisa mungkin aku menahan buliran panas yang akan mengalir jatuh melewati pipi.

"Mba Rea, jangan salahkan Mas Beno! Ini semua salahku." Anisa tiba-tiba datang memotong menimpali.

Aku sama sekali tak menyangka kalau adikku akan setega itu menusuk dari belakang. Hingga membuatku nyaris ingin mengakhiri hidup mereka berdua. Masih terbayang dalam ingatanku, bagaimana mereka tertangkap basah di restoran sedang dinner.

Dan menghadiri tempat rekreasi. Mereka berjalan berdua dengan bergandengan tangan seolah satu pasangan yang baru menikah. Aku mengira itu hanya kebetulan saja, namun setelah itu mereka berdua terang-terangan berselingkuh.

Pada saat itu kejiwaan Anisa sedang depresi akibat keguguran, dan perceraian yang sedang dijalani. Tapi bukan hanya berhenti di situ saja, Aku juga melihat mereka jalan bareng dalam sebuah pusat perbelanjaan, dan memasuki salon ternama.

Mungkin memang aku yang bodoh memberi kepercayaan kepada suami dan adikku. Hingga telah membawa petaka yang menghancurkan rumah tangga sendiri. Beno memang pria yang romantis dan humoris. Siapa pun yang dekat dengannya akan merasa nyaman. Selain dia sangat tampan, juga seorang dokter yang baik hati selalu mengutamakan pasiennya. Nyawa pasien baginya adalah yang utama.

"Bagus. Kalian memang pasangan ideal," ketusku bertepuk tangan mengucapkan kalimat dengan menahan emosi di dada.

Gemuruh yang ada di hati ini seakan ingin menenggelamkan mereka berdua ke laut Afrika.

"Rea, sudah hentikan!" teriak Beno.

"Pergi, kalian! Jauh-jauh dari hidupku. Aku sudah memutuskan hubungan ikatan darah saat ini juga. Kamu sudah merebut suamiku. Mulai detik ini jangan pernah memanggilku dengan sebutan kakak. Jika nanti berpapasan di jalan sekalipun jangan pernah menegurku. Aku jijik dan muak bertemu denganmu, Anisa. Andai ayah dan ibu tidak mengamanahkan kepadaku niscaya hari ini juga aku akan menenggelamkan kalian berdua. Orang pertama kau, Anisa!" Bibirku bergetar mengucapkan kalimat itu.

Demi Tuhan, hati ini sungguh sakit menerima kenyataan yang begitu pahit. Aku berusaha tenang menghadapi sikap Beno dan adikku.

"Maafkan aku, Mba Rea," ucap Anisa menangis.

Aku bergeming saat Anisa memeluk lutut ini dan meminta maaf. Apa yang aku alami tidak sebanding dengan penderitaan yang sudah mereka berikan.

"Pergi!" Aku berteriak histeris.

Pandanganku kabur dan begitu gelap seakan dunia ini kiamat. Tubuh ini tiba-tiba saja ambruk ke lantai.

Badan terkulai lemah dengan selimut yang membalut tubuh. Perlahan aku membuka mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Rea, kamu sudah sadar?" Suara Bayu terdengar khawatir.

"Bayu, aku di mana?" tanyaku yang merasa heran karena sudah berada di kamar.

"Kamu, sudah sadar, Nak?" tanya ibu mertua mendekat.

"Apa yang terjadi, Bu?" tanyaku lagi.

"Kamu, tadi pingsan dan kami membawamu kesini," timpal Bayu mengulas senyum.

"Pingsan?"

"Iya, Nak. Kamu tadi pingsan setelah berbicara dengan Anisa dan Beno," jelas ibu mertua.

Aku kembali menangis dipelukan ibu mertua. Wanita paruh baya itu sudah kuanggap orang tua kandung. Walapun hanya ibu mertua bagiku, beliau adalah segalanya. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia tua mengelus bahuku. Sang menantu dengan kasih sayang yang hangat.

"Rea, sudahlah jangan tangisi lagi yang sudah terjadi, kamu tidak boleh lemah dan harus tetap semangat demi anak yang ada dalam kandunganmu," ujar ibu mertua yang dengan sabar menemani.

Di saat aku benar-benar jatuh di titik yang terendah, wanita itu mendampingi dengan setia.

"Aku bersedia menjadi ayah anak yang akan lahir nanti, Rea,"ucap Bayu pelan. Seraya menoleh kearah ibu dengan tatapan nanar.

Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar sekarang. Mungkin Bayu akan menjadi ayah dari anak yang jelas-jelas benih Beno. Mana mungkin aku akan tega melukai perasaan Bayu yang tulus dengan bersedia memberikan namanya di belakang. Aku tidak ingin Beno nanti tau dan akan merebut anak itu, setelah lahir dan membawanya pergi. Sungguh aku tidak sanggup untuk merelakan.

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel