Bab 5 Kembali Bertugas
Setelah badan terasa fit, aku memutuskan untuk kembali ke kota melanjutkan tugasku sebagai dokter. Karena izin cuti ku hanya sehari saja. Dari tempat dinas ke kampung jarak bisa ditempuh tiga jam perjalanan saja. Jarak yang tidak begitu jauh tapi kesempatan tidak banyak, saat berkunjung ke kampung.
Desa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang sudah merawatku. Namun, sayang saat kesuksesan mereka tidak bisa lebih dulu menikmati. Tuhan lebih sayang sehingga memanggil mereka lebih dulu. Andai mereka masih hidup dan ada di sampingku, pasti akan mengatakan keluh kesah ini yang terasa berat menimpa.
"Bayu, aku mau kembali bertugas," ucapku sembari mengulas senyum ke arah Bayu.
"Ini masih pagi, Rea." Bayu berkata dengan melipat tangan di dada.
"Cutiku hanya sehari, Bayu," ujarku menerangkan.
"Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja, Rea."
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Bayu?" tanyaku gusar. Tatapan mata bayu menelisik ke manik mataku yang hitam.
"Rea, jangan sembunyikan kebohongan sebesar itu, hanya karena menutupi luka!"
Aku menghela napas dan menghirupnya dalam-dalam. Sebelum kuberanikan diri untuk melanjutkan obrolan.
"Aku baik-baik saja, Bayu."
Bayu hanya mendesah pelan, dan kembali membuang pandangannya tanpa ekspresi. Pria beralis tebal dan berhidung mancung itu hanya tersenyum tipis, kembali menatapku.
"Manusia bejat seperti, Beno, tidak pantas untuk kamu pertahankan di hatimu, Rea." Kata-kata Bayu membuatku tersentak, dan hampir saja memancing emosiku.
"Aku lagi tidak ingin berdebat denganmu, Bayu," ucapku malas dan pergi meninggalkannya dari kamar.
Aku melengos keluar tanpa memperdulikan pandangan Bayu yang memintaku untuk menjawab pertanyaannya.
"Rea, tunggu, Rea!"
Panggilanya tak kuhiraukan.
Aku mengabaikan panggilannya tanpa menoleh sedikit pun kearahnya. Hanya ini yang bisa kulakukan menghindari setiap pertanyaan untuk menekan perasaan. Ya, perasaan yang hancur karna di khianati. Perasaan kecewa karena terlalu banyak luka.
"Rea, pamit, Bu." Kucium punggung tangan Bu Elsa dan berpamitan dengan suaminya.
"Kamu, mau pulang sekarang, Nak?" tanyanya.
"Ini masih pagi, Rea, apa gak sebaiknya agak siangan dikit aja nanti kamu kembali," timpal Om Firman--ayah--- Bayu.
"Aku, gak enak kalau harus ngerepotin disini, Om," tolakku beralibi.
Om Firman dan Bu Elsa hanya saling pandang menanggapi ucapanku. Ada raut wajah kecewa terpancar di sana.
"Kami, gak merasa diberati, Rea." Bu Elsa menjawab.
"Bayu, antarkan Rea dengan selamat sampai ke tujuan!" pinta om Firman kepada Bayu yang sedang berdiri di belakangku.
"Iya, Pa," jawab Bayu singkat.
Sebenarnya aku masih betah di sini, tetapi hatiku menolak ingin segera berlalu meninggalkan secepatnya. Mengenang masa lalu hanya akan membuat sakit jiwa.
"Aku akan mengantarmu sampai ke rumah sakit Rea," kata Bayu mensejajarkan langkahnya di sampingku.
"Aku membawa mobil sendiri, Bay."
"Sekretaris bisa mengantarkannya ke rumahmu nanti."
Matahari yang semakin tinggi mulai memancarkan sinarnya yang terasa hangat. Tapi tidak dengan hati ini yang dingin sedingin kutub utara. Rasanya sulit buat move on dari kisah rumit. Ku elus perut yang masih kelihatan rata. Di rahim telah tumbuh benih cinta yang telah kulewati bersama Mas Beno yang selama ini ku kenal pria yang romantis humoris.
Ternyata semuanya berubah sejak kedatangan Anisa ke rumah. Entah sejak kapan perubahan sikapnya terlihat, hingga aku tidak menyadarinya. Mungkin jika aku segera menyadari perubahan perilakunya, masih tetap bersama saat ini menikmati indahnya momen kebersamaan menyambut kelahiran.
"Rea, bangunlah, kita sudah sampai." Suara Bayu mengagetkanku hingga membuatku tersadar.
Entah sudah berapa lama aku tertidur selama perjalanan. Yang ku tau sudah berada di halaman parkir rumah sakit tempat bertugas.
"Huap."
Tubuhku menggeliat ketika meluruskan persendian, yang kaku setelah tiga jam dalam perjalanan.
"Maaf Bayu, aku ketiduran di mobil."
Wajahku mengalir panas menahan malu saat ketahuan Bayu. Bagaimana mungkin aku bisa ceroboh.
Ponsel ku berbunyi di saat hendak turun.
[Ya suster ]
[Dokter, Rea ada pasien mengalami pendarahan ]
[Ya aku akan segera kesana segera ]
Aku setengah berlari menuju ke ruang operasi untuk menjalankan tugas.
"Bawa segera pasien ke ruang operasi!"
Aku memberi perintah kepada para medis, juga suster yang sedang bertugas.
Satu jam berlalu di ruang operasi, aku keluar dengan peluh keringat dingin. Rasa lelah mendera tubuh yang baru melakukan perjalanan dan melaksanakan tugas.
Kembali keruangan adalah pilihan untuk mengistirahatkan tubuh yang penat. Baru saja melangkah masuk dan duduk beristirahat, sudah kedatangan tamu yang tak lain adalah Reno mantan suami adikku Anisa.
"Maaf, dok ada tamu ingin bertemu dengan dokter," ucap suster penjaga yang bertugas di luar.
"Siapa?" tanyaku penasaran.
"Tuan Reno," jawab suster.
"Reno? Mau apa dia datang kesini," gumamku."Suruh dia masuk ke ruanganku, suster!"
Suara ketukkan pintu dari arah luar.
"Masuklah!"
Tanpa banyak basa-basi aku meminta Reno masuk dan mempersilahkan duduk.
"Duduklah!"
"Apa kabar, dokter Rea?" tanya Reno mengulas senyum.
"Baik, to the point! gak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kamu inginkan dengan menemuiku secara mendadak," ucapku bernada sinis.
"Kakak ipar, slow gak usah bernada sinis begitu padaku. Kedatanganku hanya ingin berbisnis denganmu," ujarnya dengan datar.
" Aku tidak tertarik untuk berbisnis denganmu, Reno," ketusku.
"Ayolah, kakak ipar. Jangan ketus begitu karena bisnis ini sangat menguntungkan bagimu."
"Maksudnya?"
"Aku akan memasukkan obat-obatan dari perusahaanku melalui koneksimu dan kamu akan mendapatkan dua puluh persen dalam keuntungan," ujarnya menerangkan.
"Aku menolak kerja sama mu, Reno. Sekarang keluarlah dari ruanganku!" Aku menolak keinginan Reno dengan mentah-mentah.
"Rea!"
Suara Reno meninggi satu oktaf mendengar penolakan ku.
"Jangan membentakku, Reno!" ucapku tak mau kalah dengan menaikkan nada bicaraku.
"Rea, aku mencoba berdamai padamu. Tapi kau benar-benar tidak bisa bekerja sama denganku."
"Cukup, Reno! Pergilah segera tinggalkan ruangan ini karena aku tidak mau bekerja sama dengan orang selicik dirimu." Aku mengusir reno dengan penolakkan keras.
"Kamu, benar-benar keras kepala, Rea. Aku sudah berniat baik untuk berdamai denganmu maka camkan ini baik-baik, Rea! Kamu pasti akan menyesal karena telah menolak niat baikku." tangan Reno menunjuk ke arahku.
Kutepiskan tangannya dan menjatuhkannya asal.
"Jangan mengancamku dengan tak-tik murahanmu, Reno."
"Aku tidak mengancammu, kakak ipar. Tapi satu hal yang perlu kau ingat akan kupastikan penolakkanmu ini menjadi penyesalan bagimu kerena sudah menolak kerjasama denganku dan menghinaku, Rea," celetuknya kesal.
"Pergi! Aku tidak takut dengan ancamanmu, Reno," ucapku berdecik kesal.
"Aku akan membongkar skandal suamimu karena sudah berselingkuh dengan istriku," jawabnya mengancamku.
"Keluar sekarang juga dari ruanganku, Reno!" Aku meninggikan suaraku dengan ekspresi marah menahan emosi. "Bawa juga ini, brosur yang kamu berikan padaku, aku tidak membutuhkannya."
Kulempar kertas yang tadi di bawa Reno dan terbang berserakkan di lantai tertiup angin. Napas memburu tersengal-sengal menahan amarah. Dada sesak menahan amarah yang sedari tadi akan meledak seperti bom waktu yang akan mengguncang setiap saat. Kupijat pelipis yang terasa sakit.
Keadaan ini membuatku tersudut di posisi yang sulit. Aku tidak mau menjadi lemah karena ingin melindungi aib yang di corengkan ke wajah. Meskipun tahu perbuatan suami dan adikku salah, tetapi aku tidak ingin reputasi nya rusak karena rahasia perselingkuhan diketahui oleh masyarakat awam. Kebobrokanya yang gagal menjadi seorang suami tidak ingin dilihat oleh umum. Biarlah ini akan menjadi karma sang pencipta saja yang berhak menghukum setiap perbuatan yang salah.
***
Jam menunjukkan waktu pukul lima sore. Masa tugasku sudah selesai di rumah sakit ini. Kupercepat langkah ini meninggalkan ruangan rumah sakit dan menuju arah pulang. Saat tiba di halaman rumah sakit, Bayu sudah menunggu dengan tersenyum manis ke arahku.
"Aku ingin menjemputmu, Rea," ucapnya mengulas senyum.
"Aku bisa pulang naik taksi, Bayu. Gak usah repot-repot menjemput," ujarku beralasan.
"Kita searah jalan, jadi apa salahnya jika aku mampir menjemputmu. Lagian, kantor dan rumah sakit ini hanya berseberangan jaraknya."
"Makasih, Bayu," ucapku lirih." Kamu selalu ada buatku disaat aku membutuhkan."
"Ayo!"
Bayu membukakan pintu mobil dam mempersilahkan masuk, memperlakukan seperti seorang putri.
Aku tersenyum menerima tawarannya, dan duduk di depan bersebelahan dengan Bayu.
"Dari wajahmu kelihatan menahan kesal," ucapnya memberanikan diri.
Aku membuang tatapan ke arah samping jendela mobil, dan menyusuri jalanan yang padat dengan tatapan nanar. Tebakan Bayu memang benar.
Menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Bayu dan membuangnya secara perlahan dengan satu tarikkan.
"Reno datang ke rumah sakit dan mengancamku, Bayu."
"Reno?"
"Iya, Bayu."
"Apa, dia tau skandal yang dilakukan oleh suamimu dan adikmu?" Bayu balik bertanya.
"Dia tau semua nya."
Bayu terlihat mengernyitkan kening dan menarik napas. Merasakan apa yang kurasakan dan berpikir keras untuk menyelesaikan sekandal ini. Pikiran kami makin larut dalam pendapat masing-masing tanpa berani mengutarakan pendapat. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.
***
Bersambung
