Bab 4 Masa Lalu
Anisa kecil sangatlah periang dan manis. Dia gadis ceria dengan wajah yang imut. Rambut panjang sebahu dan bibir yang tipis juga bulu mata lentik bak boneka barbie. Siapa pun yang melihatnya merasa jatuh hati. Sedari kecil dia suka bernyanyi, dan pandai melantunkan lagu sholawat.
Dia juga jago membaca puisi. Anisa adalah anak kesayangan ayah dan ibu. Apa pun keinginannya pasti sebisa mungkin mereka akan menuruti. Sejak kecil aku harus selalu mengalah, dan memberikan apa pun yang aku miliki. Apa yang kusukai harus diberikan kepada Anisa. Meskipun itu satu-satunya barang yang berharga.
Aku tidak merasa keberatan memberikan apa yang menjadi keinginannya. Tapi yang lebih menyakitkan sekarang, harus memberikan suamiku yang sejatinya cinta dan jiwaku bahkan separuh napas ini ada padanya.
"Ibu, Nisa hari ini mau latihan menyanyi di sanggar," ucapnya setengah berteriak sembari berlari kecil menyusuri jalan.
Hobi Anisa memang menyanyi dan itu dilakukan atas dukungan ayah, ibu. Seperti rutinitas yang selalu dia kerjakan pada sore hari. Setelah pulang sekolah pasti dia akan menuju sanggar yang tak jauh dari rumah kami hanya berjarak sekitar lima ratus meter saja.
Aku hanya menekuni pelajaran. Bercita-cita menjadi seorang dokter. Aku membantu ibu di rumah sehari-hari menjual kue basah dan keripik yang kami jajakan keliling, dan dititipkan pada warung-warung terdekat.
"Nisa, makan dulu, Nak. Baru pergi latihan,"ucap ibu dari arah dapur. Namun, Anisa sudah melipir pergi begitu saja.
"Ibu, Rea pamit, ya? Mau mengantar keripik di warung sebelah," ujarku dengan mencium punggung tangan ibu.
"Hati-hati, Rea!" jawab ibu mengelus punggungku.
Aku hanya mengangguk dan menjawab.
"Iya."
Ku kayuhkan sepeda menyusuri jalan kampung untuk mengantarkan keripik pesanan ibu-ibu PKK di kampung sebelah. Dan juga menitipkan sebagian di warung-warung kecil yang menjual aneka macam snack, dan makanan kering lainnya.
"Assalamualaikum, Bu," ucapku berhenti di depan rumah Bu Elsa ketua PKK.
"Waalaikumsalam."
"Bu Elsa, ini pesanan ibu yang kemarin, keripik singkong dan keripik pisang," kataku sembari memberikan kantongan plastik besar.
"Rea, ayo masuk dulu! Kita minum dulu sebentar di rumah ibu," tawarnya dengan tersenyum ramah.
"Makasih, Bu, Rea masih mau mengantar pesanan ini ke warung-warung."
Aku menolak dengan halus tawaran Bu Elsa. Mengingat masih banyak pesanan yang harus diantar.
"Ya sudah kalau begitu, ini uangnya!" Bu Elsa memberiku uang dua lembar biru.
"Makasih banyak, Bu!" balasku dengan senyum semingrah.
"Rea!"
Aku menoleh kebelakang karena mendengar namaku disebut.
"Bayu!"
Aku tertegun saat mata ini menangkap sosok pria berkulit putih, dan hidung mancung sudah berdiri di depanku.
"Tunggu! Aku mau bicara," ucapnya sembari menahan sepedaku saat hendak meninggalkan rumahnya. Bayu adalah anak Bu Elsa yang sangat tampan.
Aku mengernyitkan kening, dan berusaha menormalkan detak jantung yang sedikit tidak beraturan. Setiap bertemu dengannya.
"Kenapa, Bayu?" tanyaku yang setengah gugup karena berpapasan langsung dengannya.
"Nanti malam, aku kerumahmu, ya?" katanya dengan meminta jawaban sembari menatapku.
"Kerumahku?" Aku balik bertanya.
"Iya, emang gak boleh main kerumah sahabat sendiri?" tanyanya lagi.
Aku hanya diam tanpa memberi respon apa pun menanggapi permintaannya.
"Kalau ada perlu bicara di sini saja gak usah kerumahku segala."
"Kita sekalian ngerjain tugas bareng , minggu depan sudah ujian kelulusan. Jadi apa salahnya kalau kita belajar bareng."
"Ya, sudah terserah kamu deh," ucapku melipir pergi kembali menggoes sepeda butut.
Sepeda yang kubawa memang bisa dibilang tak sempurna lagi, karena ini adalah hadiah dari Pak Lurah ketika aku memenangkan perlombaan cerdas cermat se kecamatan, dan mendapatkan juara satu. Dalam hal mata pelajaran aku selalu unggul, dan tiap tahun selalu mendapatkan rangking satu. Hingga masa SD dan sampai sekarang setelah aku menduduki bangku SMA.
Aku selalu mendapat piala dan penghargaan atas usaha, dan jerih payahku sendiri. Sehabis membantu ibu berjualan aku juga harus menjajakan keripik keliling ke kampung-kampung. Demi memenuhi standar ekonomi keluarga. Ayahku hanya seorang guru honor di sekolah SD. Yang mungkin pendapatannya tidak bisa mencukupi segala kebutuhan internal.
Tapi ibu tak pernah menyerah dalam mengelola gaji ayah yang sedikit. Dengan kerja keras dan semangat mereka bisa menyekolahkanku sampai duduk di bangku SMA. Terkadang aku juga mendapatkan beasiswa, karena prestasi dalam hal pelajaran selalu unggul.
Berbeda dengan adikku Nisa. Dia tak suka belajar karena otaknya lemah. Sedari dulu dia hanya hobi menyanyi dan menari. Meskipun dia juga banyak menjuarai lomba tari tingkat daerah.Banyak sudah piala yang didapatkan dari berbagai macam lomba menyanyi, dan baca puisi yang diikuti.
Meskipun watak kami berbeda karakter aku sangat menyayanginya. Kadang hanya masalah sepele pun ayah dan ibu tak luput membela Anisa. Maklum Anisa anak bungsu gadis manja, aku harus selalu mengalah dan menuruti keinginannya.
Termasuk barang yang aku puny Apabila dia menyukainya harus merelakan itu menjadi miliknya. Suatu hari aku capek harus mengalah terus kepada adikku, dan berusaha protes dengan peraturan yang ditetapkan ayah dan ibu. Tapi aku hanya mendapat bentakkan saja, karena tidak mau mengalah memberikan barang yang diinginkannya.
"Cukup, Nisa! Kenapa kakak terus yang harus mengalah setiap kamu menginginkan apa yang menjadi milik kakak," bentakku kesal pada Anisa yang terus merengek. Meminta hadiah boneka yang diberikan Bayu sebagai kado ultahku.
Boneka beruang kecil yang berwarna pink memang terlihat sangat imut.
"Mba Rea, Anisa pengen boneka seperti itu,"ucapnya dengan bibir dikerucutkan ke depan.
Aku mendengus kesal. Lagi-lagi harus bersedia mengalah demi membuatnya bahagia.
"Rea, berikan boneka itu pada adikmu," titah ibu sembari menatapku kesal.
"Tapi, Bu."
"Rea!" bentak ibu mengeraskan suaranya.
Dengan terpaksa aku menuruti perintah ibu dan memberikan apa yang diinginkan Anisa. Terlihat Anisa tersenyum puas karena telah mendapatkan apa yang dia minta.
Aku melengos pergi dan masuk kedalam kamar dengan rasa sesak, yang kubawa hingga tangis pecah. Air mata membasahi bantal yang menutupi wajah. Isakku berderai sedih menyisakan batin yang sakit. Sebuah tangan menyentuh bahu ini, dan membalikkan punggung menghadap ke wajahnya.
"Ayah," ucapku lirih.
"Jangan menangis, Nak! Tak perlu sedu-sedan kamu tumpahkan hanya karena permainan," kata bijak ayah yang menasehatiku.
"Iya, Yah."
"Ayah tau, kamu pasti sedih bila harus tiap saat mengalah pada adikmu. Tapi ... ketahuilah, Nak. Bukan tidak artinya kamu selalu mengalah," ujar ayah.
"Tapi, Rea juga mau bahagia, Yah." Aku memeluk tubuh kurus ayah yang masih berpakaian dinas.
"Rea, tidak ada pengorbanan yang tak berarti. Anisa adalah adik kandungmu satu darah denganmu, jadi sudah wajar kalau kamu yang lebih tua banyak mengalah." Ayah berkata sembari mengusap air mataku yang masih menempel.
"Rea, mengerti Ayah."
"Nak, percayalah pada ayahmu ini! Setiap perbuatan baik dan salah itu sudah dicatat dalam kitab lauhul mahfudz. Akan mendapat balasan yang baik jika kita berbuat baik. Begitu juga dengan sebaliknya. Kamu, mengertikan?" tanya ayah yang tak pernah lelah selalu menasehatiku.
Aku mengangguk tanpa memberi jawaban. Hanya bisa kupeluk ayah yang selalu sabar menasehati di kala aku, dan Anisa selalu bertengkar hanya masalah kecil.
"Satu lagi, pesan Ayah! Tolong jaga baik-baik adikmu jika nanti kami sudah tiada dan pergi untuk selama-lamanya. Sayangi dia dan tuntunlah kejalan yang benar jika dia tersesat terlalu jauh."
Aku masih selalu ingat ayah memberiku nasehat agar selalu menyayangi dan menjaga Anisa. Meskipun kadang lelah harus selalu mengalah dan menuruti keinginannya.
***
Hari ini mungkin adalah hari yang paling suram kujalani di masa suram hidupku. Orang yang dihormati dan ditaati perintahnya harus meninggalkan selamanya. Sepuluh tahun setelah kepergian ayah dan ibu karena sakit, kini berkunjung kembali ke makam kedua orang tuaku.
Rumput liar yang tumbuh menutupi makam ayah dan ibu segera dibersihkan. Aku menangis di batu nisan kedua makam mereka yang saling berjajar. Setelah kepergian ayah yang tiba-tiba sakit perut, membuat ibu syok berat tidak kuasa menahan kesedihan berlarut. Badan ibu kurus, dan lusuh akibat tidak terurus dan kurang makan.
Ibu akhirnya juga jatuh sakit, setelah itu juga pergi meninggalkan kami. Sebulan meninggalnya ayah karena sakit dadakan, dan tidak punya tanda apa pun menjelang kepergiannya. Membuat kami semua belum siap untuk melepasnya. Ibu kemudian juga menyusul sebelum beliau juga berpesan agar selalu menjaga Anisa dengan baik.
"Ayah, Ibu, Rea datang mengunjungi makam kalian," ucapku dengan lirih.
Sejak menikah dengan Mas Beno dan menjadi dokter, aku jarang mengunjungi makam mereka terlebih tuntutan tugas sebagai seorang dokter sangat sibuk. Hingga tidak punya waktu luang yang luas. Walau itu hanya sekedar berkunjung saja.
"Maafkan, Rea, Ayah! Rea tidak bisa menjaga Anisa dan mengembalikan dia yang sudah terlalu sesat jauh." Aku terus saja menangis di batu nisan ayah tanpa kuhiraukan hujan mulai turun membasahi tubuhku.
"Aku gagal melindunginya, Yah dan menyadarkan perbuatan salahnya hingga Nisa berbuat curang."
Aku terus saja berkata tanpa mempedulikan hujan yang sudah membuat tubuh ini basah, dan menggigil kedinginan.
Saat aku terbangun sudah berada di ruang yang asing bagiku. Sebuah kamar yang bernuansa biru langit tertata lukisan dengan rapi terpajang di tembok, dengan barisan yang semakin menambah kesan indah.
"Dimana, aku?" batinku berkata menatap sekeliling ruangan yang tak bertuan.
Tiba-tiba pintu terbuka dari arah luar, dan menampakkan sesosok tubuh pria tampan dengan balutan kemeja abu-abu polos tersenyum mendekati.
"Rea, kamu sudah sadar?" tanyanya mengulas senyum sembari menyodorkan sebuah nampan yang berisi bubur ayam, dan teh jahe. Aroma bubur ayam dan wangi teh jahe menggoda seleraku.
Aku hanya terpaku tanpa menjawab pertanyaannya. Hati bertanya-tanya bagaimana bisa dia bisa mengenalku, dan membawa kesini.
"Siapa, kamu? Kenapa kamu bisa memanggil namaku dengan benar? Apa kita sudah saling kenal?" cerocosku menghujaninya dengan semua pertanyaannya.
"Makanlah dulu, Bu dokter!" pintanya dengan memberi sendok.
"Aku tidak mau! Jawab dulu pertanyaanku baru bisa makan," ujarku.
"Kamu, masih seperti Rea yang aku kenal dulu tidak banyak berubah," ucapnya membuat pengakuan yang mengejutkan.
Aku hanya berdecak kesal dengan ucapannya yang tidak mau menjawab rasa penasaranku.
"Atau, kamu sengaja ingin menjebak dan menculikku?" cecarku habis-habisan. "Ayo ngaku!"
"Emang, kamu anak kecil yang harus di culik," balasnya kesal.
"Kamu ...." Ucapanku terpotong kala seorang wanita separuh baya muncul dari balik pintu, dan memanggil nama.
"Rea, dia adalah Bayu sahabatmu dari kecil, masa kamu lupa, sih?" ucap Bu Elsa.
"Hah?" mataku melotot saat Bu Elsa menyebutkan namanya.
"Iya, Rea, ini, Bayu," terangnya dengan menoleh kearah Bayu.
"Kamu, Bayu?" tanyaku masih tidak percaya.
Bayu mengangguk, lalu tersenyum. Seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan sambil menatap ke arahku.
"Apa kabar, Rea? Lama sudah kita tidak bertemu setelah enam tahun," tanyanya.
"Kabarku baik, Bayu," kubalas senyumannya dengan kecut.
Kubuang napas ku dengan kasar setelah menghirup oksigen dengan rakus. Lalu, melepaskan kembali dan memejamkan mata mengingat rasa perih yang kian meraja. Pandangan kosong menatap arah luar jendela kamar.
"Aku tau kamu tidak baik-baik saja," timpalnya. Seraya menatap wajahku yang sayu.
"Bagaimana, aku bisa sampai di sini? Seingatku tadi aku berada di pemakaman?" tanyaku penasaran.
Manik mataku bertemu dengannya di tengah, lalu tatapan kami saling beradu pandang menelisik pikiran masing-masing.
"Aku menemukanmu pingsan di pemakaman dan membawamu ke rumah Ibu."
"Dari mana, kamu tau kalau aku ada di pemakaman?" tanyaku lagi.
"Aku, sudah mengikutimu sejak kamu mulai datang ke kampung ini," ujarnya menjelaskan.
Keningku berkerut mencerna apa yang diucapkan Bayu. Bagaimana aku tidak bisa mengenali Bayu sahabatku dari masa kecil.
Aku dan Bayu terpaksa harus berpisah setelah aku kembali melanjutkan kuliah dengan beasiswa yang kudapat atas kemampuanku sendiri. Aku pergi meninggalkan kampung. Di mana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh ayah dan ibu.
Setelah mereka meninggal, aku berhasil lulus ujian dengan nilai terbaik dan mendapatkan universitas kedokteran. Kutinggalkan kampung halaman dan pindah ke kota agar tidak terlalu jauh dengan tempat berkuliah. Aku dan Anisa satu kos, dengan fasilitas seadanya nya. Siang aku kuliah dan malam harus bekerja di sebuah kafe, yang kebetulan buka malam dan tak jauh dari tempatku berkuliah.
Sengaja aku ngekos di dekat universitas agar bisa berjalan kaki ke tempat kerja untuk menghemat biaya. Selain untuk biaya hidup, aku juga harus menanggung biaya adikku Anisa dan membiayainya sekolah masuk SMA. Ketika masuk fakultas Anisa juga masuk ke sekolah SMA.
Kerjaku serabutan yang penting halal untuk kami makan. Aku juga membuat kue basah dan keripik untuk dijual, dan dititipkan ke warung-warung saat jam kuliah selesai. Ini semua kulakukan untuk kelangsungan hidup, karena kami tidak mempunyai orang tua lagi yang bisa menanggung biaya hidup sehari-hari.
Rasa lelah pasti iya, letih apalagi? Jangan tanya keadaanku yang pontang-panting harus bekerja ekstra demi memenuhi tuntutan, dan tanggung jawab.
"Kamu, bisa bercerita padaku tentang semua masalahmu agar hatimu merasa lega dan tak terhimpit beban pikiran," Bayu mengulas senyum dengan wajah datar.
Bayu tipe lelaki yang pendiam tapi tidak banyak bicara. Sudah sejak lama kami bersahabat aku kenal betul semua sifat dan gayanya. Dia akan tertunduk malu kalau terus di perhatikan.
Wajah Bayu bersemu merah seperti tomat masak" Makasih," jawabku singkat.
Senyumnya yang manis masih tetap sama seperti dulu ketika kami masa-masa sekolah tertawa bareng dan jalan bareng. Tapi kini semua kenangan itu terusik kembali setelah sekian lama kami tidak bertemu. Dan dengan situasi berbeda kami dipertemukan kembali saat hati sedang terluka.
***
Bersambung
