Bab 3 Buli
Suasana yang begitu syahdu mengingatkanku pada masa saat bersama Mas Beno. Sepanjang jalan kenangan yang kami lalui terasa begitu indah. Barisan pohon mahoni yang berjajar di jalan juga hiasan lampu, yang berkelap-kelip semakin menambah cantik ibu kota yang tidak pernah sepi. Dari sebagian kendaraan yang melintas.
Aku mengemudikan mobil menuju di sebuah restoran cepat saji. Memarkirkan mobil di halaman depan. Niat ini untuk membeli makanan sebagai bekal makan malam tiba-tiba harus diurungkan. Terlihat keramaian yang berada di sudut rumah makan yang tak jauh dari tempat parkir. Seorang wanita sedang dibuli dengan lemparan tomat dan saus cabe yang berwarna merah jingga.
"Astagfirullah."
Aku mengucap istighfar menyaksikan pemandangan yang menyedihkan.
Anisa sedang dilempari oleh ibu-ibu berdaster, yang membawa sekantong plastik tomat busuk dan botol saus.
Segera menembus kerumunan para wanita yang sedang melempari perempuan. Wajah seorang wanita yang tidak asing lagi di mataku terlihat menangis, dan terduduk lemah di halaman depan parkir. Dengan pakaian yang sudah penuh noda merah akibat lemparan tomat yang berbau busuk. Tidak berhenti begitu saja, caci maki dan kata-kata kasar juga terlontar dari mulut mereka.
"Dasar pelakor perebut laki orang," ucap salah satu wanita yang berdaster dan bertubuh tambun.
"Wanita murahan," timpal wanita yang satu lagi sembari menjambak rambut.
"Kamu, perempuan gak tau malu sudah di kasih hati malah mencuri," seorang wanita muda perawakan kurus menimpali, dan melempar tomat busuk ke wajahnya.
Bisik-bisik para wanita menggunjingkan dengan semangat. Mereka berseteru tidak mau kalah.
"Lempar saja wanita ini! Ayo kita lempari lagi dengan tomat busuk!"
Ucapan para wanita yang merasa emosinya terkuras seakan meledak tanpa henti. Mereka semakin ganas membuli tanpa ampun. Sementara wanita yang di buli hanya diam bergeming. Tanpa bisa membalas perbuatan mereka.
"Hentikan!" teriakku dengan keras menghentikan pembulian.
Serentak para wanita itu menoleh ke arahku, dan menatap kaku. Anisa bergeming.
"Apa yang kalian lakukan pada wanita yang malang ini?" tanyaku menatap tajam.
"Minggir, Non! Dia adalah pelakor gak pantas untuk di belain," sahut seorang ibu muda cantik.
"Iya-iya, dia pantes di buli!" teriak para wanita itu dengan semangat.
Aku segera menarik tangan wanita yang sedang dibuli, dan menyembunyikannya di balik punggungku.
"Stop!"
Seketika mereka diam, begitu juga dengan Anisa. Dia bergeming mendengar bentakan yang keras.
"Negara dan agama kita punya hukum. Melarang tindakan kekerasan, apakah kalian mau di tuntut karena sudah menyiksa seorang wanita tak berdaya?" tanyaku kesal.
"Kamu, siapa?" sahut ibu paruh baya maju dua langkah ke arahku.
"Perempuan seperti itu tidak pantas untuk dibela."
"Aku adalah sama seperti kalian seorang wanita yang punya hati nurani," tukasku.
Kupandangi wajah para wanita yang sedang gencar, dengan tatapan tajam satu persatu.
"Tapi kamu tidak tau kalau wanita ini adalah perusak rumah tangga orang," ujarnya menjelaskan.
"Memang kenapa kalau dia pelakor? Apakah ada salah satu dari kalian yang suaminya direbut?" tanyaku kembali.
Para ibu-ibu berdaster seketika bertatapan saling pandang ke arah yang lain. Mereka bergumam seakan kembali mempertanyakan apakah suaminya baik-baik saja.
"Jawab! Kenapa diam? Apakah salah satu dari kalian yang menghujat wanita ini yang telah direbut suaminya? Jawab!"
Tidak ada yang berani maju dan menjawab. Kecuali hanya bisik-bisik kecil. Mungkin benar Anisa merebut suamiku, namun bukan berarti bebas menghukumnya sesuka hati.
"Tidak ada," jawab seorang wanita maju ke arah depan.
"Lalu, kenapa kalian menganiayanya? Ada hukum dan karma yang akan diterima di setiap perbuatan yang kita lakukan walaupun hanya sebesar biji sawi, tapi tetap dosa itu akan dicatat para malaikat," ujarku menerangkan.
"Nyonya tidak tau, kalau perempuan ini sudah merusak rumah tangga kakak kandungnya sendiri," celetuk seorang ibu yang sedang menggendong bayinya.
Aku terdiam sesaat, memikirkan apa yang telah diucapkan oleh seorang wanita tadi yang tentu saja tidak dikenal. Entah dari mana wanita itu mendapat informasi tentang gosip murahan ini.
"Dari mana kalian tau kalau dia sudah merusak rumah tangga kakak kandungnya? Apa buktinya?" Tanyaku penasaran.
"Ini," salah seorang ibu muda berdaster menunjukkan photo Anisa sedang mengenakan bikini dan berpose mesra dengan Mas Beno.
Aku mundur dua langkah kebelakang, dengan menekan dada yang terasa sesak. Melihat adikku berphoto syur di sosmed dengan Mas Beno.
"Astaga," gumamku.
"Nyonya, sudah lihat dia adalah Anisa adik kandung dokter Rea istri dokter Beno yang sudah direbutnya," jawabnya dengan wajah ekspresi marah.
Aku yakin mereka tidak mengenalku, itu terlihat dari bicara para wanita tadi dengan bersemangat mengumbar aib Nisa. Memang aku jarang menampakkan diri di publik terlebih jadwal dinas menyita banyak waktu. Hanya orang tertentu saja yang mengenali. Itu pun saat mereka berkunjung di rumah sakit atau tidak sengaja berpapasan denganku di jalan.
"Dari mana kalian mendapatkan photo-photo itu?" tanyaku lagi.
"Dari akun yang tidak kami kenal," ucapnya.
"Itu semua bohong dan tidak benar. Jangan langsung percaya kepada berita hoax jika belum akurat," ujarku berdecak kesal.
"Memang benar, kan? Kenyataannya tadi aku melihat dia bergandengan mesra dengan dokter Beno di apartemen. Karena apatemen yang dia tempati bersebelahan denganku."
"Cukup! Sekarang semuanya bubar! Tidak ada gunanya lagi main hakim sendiri."
Mereka langsung bersorak ramai.
"Hu."
"Bubar atau akan aku panggilkan polisi!" teriakku mengancam.
Satu persatu wanita yang membuli tadi membubarkan diri. Terlihat rona kesal dan kecewa di wajah mereka, karena tidak berhasil meneruskan aksinya.
Kuambil ponsel dari tasku dan menelpon Mas Beno. Pasti dia terkejut bila melihat istrinya sedang dianiaya para ibu-ibu.
"Hallo," suara sahutan terdengar dari arah seberang.
"Hallo, Mas! Kamu harus secepatnya kemari Anisa sedang dibuli para ibu-ibu di depan restoran cepat saji," tukasku.
"Apa?" jawabnya terkejut.
"Cepatlah segera, kamu urus Anisa akan aku sms, kan alamatnya sekarang."
"Ok, ok, aku akan segera meluncur kesana." Sambungan telepon langsung diputus sepihak.
Saat ini perasaanku hampa. Pikiran ini kosong memandang adik yang kusayangi harus menerima penghinaan dari para wanita yang tak dikenal. Hatiku sakit, bahkan terasa perih.
Tiga puluh menit berlalu akhirnya Mas Beno sampai di tempat yang kuberi alamat tadi. Dia langsung menghampiri.
"Anisa!" panggilnya panik. Seraya langsung menghampiri Anisa yang masih tertunduk diam tanpa berbicara.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya penasaran dengan wajah panik. Ekspresi Mas Beno menatapku dingin.
Wajah itu yang dulu kukenal teduh, kini sudah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi dingin seperti orang asing.
"Aku tidak tau, Mas, karena dari awal aku datang keadaannya sudah seperti itu."
Mas Beno menatapku tajam seakan tidak puas menerima jawabanku," Katakan, Rea! Apa ini salah satu trik kamu untuk mempermalukanku?"
Aku terkejut dengan tuduhannya yang tak beralasan dia lontarkan. Tanpa bertanya dulu kepadaku secara baik-baik.
"Jangan menjadikan aku kambing hitam, Mas. Kamu yang berkhianat dan aku yang terkhianati. Tapi berasumsi seolah aku yang menyakiti."
"Lalu, apa yang terjadi ini hanya kebetulan?"
Mas Beno masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi, dan menuduh aku sekali lagi tanpa alibi.
Tenggorokanku kering, bibirku kelu menahan air mata yang sudah tadi berembun.
"Cukup, Mas!"
"Aku sungguh membencimu, Rea. Sungguh sangat membencimu," ucapnya dengan tatapan tajam.
"Apa kamu kira aku akan baik-baik saja, Mas. Setelah apa yang kamu lakukan di belakangku. Jangan menghukumku untuk kesalahan yang tidak pernah aku lakukan?" teriakku.
"Inikan yang kamu lakukan melihatku bersama, Anisa. Lalu, membalas kejahatanku?" Mas Beno balik menghujamku dengan pertanyaan menyudutkan.
"Aku kehilangan impian dan semangat hidup. Kehilangan cinta dan harapan, tapi apa yang aku dapatkan, Mas? Merasa tanpa dosa kamu menikam jantung ini dan membunuhku secara perlahan dengan perselingkuhanmu. Menjadikan adik kandungku sebagai madu pilihanmu. Lantas, apa salahku hingga kamu menuduh hina dengan melakukan perbuatan tak bermoral seperti ini?" pertanyaan bertubi-tubi ku lontarkan kepada Mas Beno yang terus saja menuduh tanpa bukti.
Rea!" Bentaknya dengan berteriak. Tangan Mas Beno mengepalkan tinju.
Sakit, ya ALLAH. Ini sungguh sangat menyakitkan sekali melebihi tikaman seribu belati. Aku tidak sanggup melihat kedekatan Mas Beno dengan adikku Anisa. Meskipun aku berusaha ikhlas dan merelakannya, tetapi jujur hatiku masih terasa ngilu bagai di sayat sembilu.
"Mas, jangan salahkan, Mba Rea!" potong Anisa angkat bicara.
"Jangan membela kakakmu, yang jelas-jelas bersalah!" katanya.
"Aku tau ini perbuatan, Reno yang sudah mengunggah fotoku di sosmed," ucapnya lirih.
"Argh."
Tangan Mas Beno mengepalkan tinju. Genggamannya keras, hingga menonjolkan semua urat-uratnya.
Aku terluka Mas, tidakkah kamu hargai perasaan ini sakit? Rumah tangga yang kita lalui tiga tahun hanya menyisakan kehancuran. Mengapa harus Nisa yang kamu pilih menjadi istrimu? Tidakkah kamu hargai jerih payahku selama ini yang sudah membelanya habis-habisan.
Air mata kian deras hingga kurasakan mata pedih, karena terlalu banyak mengucurkan buliran kepedihan. Kutinggalkan Restoran itu tanpa membeli sedikitpun makanan, yang aku niatkan tadi untuk memesannya. Ku kemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju arah pulang.
Hati ini hancur bagai kaca yang jatuh berserakan ke lantai. Mereka berbahagia di atas luka. Tidakkah dia tahu kalau aku juga wanita yang butuh perhatian dan kasih sayang. Bohong jika aku tidak terluka melihat mereka bahagia.
Bagaimana dengan nasib anakku ini? Jika nanti dia besar apa yang aku katakan. Tidak mungkin kujawab dengan jujur kalau ayahnya pergi dengan wanita lain. Suatu hari nanti mereka akan menyadari kesalahan, namun semuanya sudah terlambat.
Mengapa harus suamiku yang harus dia ambil? Mengapa harus Anisa yang harus menjadi maduku? Tidakkah dia pikirkan hati, jiwa dan perasaan hancur, terluka. Sementara mereka hanya tertawa dan bersenang-senang.
***
Bersambung.
