Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Perceraian

Ya Tuhan, hati terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum peniti. Perihnya hingga ke tulang begitu tersiksa batin dan jiwa. Adik yang kupercaya telah menikam dari belakang hingga tembus terkena dalam jantung. Masih teringat saat aku menemukannya terkulai di lantai dengan bersimbah darah karena keguguran. Yah, suaminya yang arogan telah begitu tega menyiksanya lahir dan batin.

Flashback

"Assalamualaikum." Kuketuk pintu berulang kali, dan mengucapkan salam namun tidak ada jawaban.

Aku hanya berdiri di depan pintu rumah adikku---Nisa sembari terus mengetuk pintu tapi tidak juga ada jawaban. Dengan terpaksa Mas Beno mendobrak pintu masuk utama rumah dengan kasar. Firasatku semakin tidak enak karena mengkhawatirkan kondisi Anisa yang terakhir menghubungi, dengan isak tangis. Begitu pintu selesai didobrak alangkah terkejutnya, aku melihat kondisi Anisa.

"Astaga, Anisa!" Apa yang terjadi denganmu, Nis?" Aku mengguncangkan tubuh Anisa yang tak sadarkan diri. Darah keluar deras dari pangkal pahanya.

"Sepertinya, Anisa pingsan," timpal Mas Beno.

"Anisa, bangunlah! Ini, Mba Rea. Anisa! Kutepuk-tepuk pipinya agar dia sadar, dan bisa mendengar suara panggilan.

"Sayang, sebaiknya kita bawa Anisa ke rumah sakit," ucap Mas Beno yang juga panik.

"Ayo, Mas! Sepertinya Nisa mengalami pendarahan hebat darahnya tidak mau berhenti mengalir," tukasku.

Mas Beno segera mengangkat tubuh Anisa yang masih tak sadarkan diri. Kami bergegas membawa Anisa ke rumah sakit, tempatku bertugas.

Dengan kecepatan tinggi Mas Beno mengendarai mobil. Agar segera sampai di tempat tujuan.

"Mas, cepatlah! Aku takut terjadi sesuatu pada Nisa karena terlambat menolongnya," ujarku.

"Sabarlah, Sayang! Aku juga sudah berusaha untuk fokus menyetir agar kita bisa segera sampai!" Seru Mas Beno yang masih fokus menyetir.

Sementara aku panik terus berusaha menyadarkan Nisa yang terlihat pucat pasi.

Tubuh Anisa terasa sedingin es tanpa aliran darah yang berdesir. Bibirnya pucat kebiruan, wajah cantiknya begitu layu dan tak berdaya. Banyak luka lebam di sekujur tubuh. Sungguh miris mata menyaksikan Anisa yang begitu tersiksa, menjalani rumah tangga.

Aku tau kalau suami Anisa sangat kejam, bahkan tak segan-segan memberi pukulan. Saat dia melakukan kesalahan walaupun itu hanya masalah kecil saja. Sudah berulang kali aku menyarankan agar dia mengakhiri pernikahan tidak bahagia, tetapi Anisa selalu menolak menggugat cerai, karena takut dengan ancaman Reno.

***

Tiba kami di rumah sakit, segera membawa Anisa ke ruang UGD.

"Suster, tolong siapkan ruang operasi untuk pasien. Adikku sedang sekarat," ucapku memberi perintah kepada suster jaga.

"Baik, Dok." Setengah berlari para suster dengan cepat mempersiapkan ruang operasi.

"Mas, tolong selesaikan registrasi Anisa, ya!" Ujarku pada Mas Beno.

Mas Beno mengangguk "Iya, sayang."

Selama satu jam aku di ruang operasi menolong Anisa. Dengan peralatan yang serba canggih. Akhirnya bayi yang berusia dua bulan dalam kandungan bisa dikeluarkan. Anisa masih terlihat lemah dan belum sadarkan diri. Selang oksigen terpasang di hidungnya yang mancung.

Terlihat napasnya beraturan, detak jantungnya pun semakin normal. Kuelus wajah cantiknya yang masih pucat, dan menggenggam erat tangan, yang masih dingin. Terasa ada aliran darah yang menjalar keseluruh tubuhnya.

Perlahan Anisa sadarkan diri setelah obat bius hilang. Matanya yang indah dengan bulu lentik mengerjap, dan membuka secara perlahan. Aku tersenyum bahagia melihat kondisi Anisa yang sudah sadar.

"Nis, kamu sudah sadar?" tanyaku.

"Mba Rea, aku di mana?" tanyanya dengan penasaran. Dia memandang sekeliling dinding yang bernuansa putih berkhas aroma karbol.

Aku tersenyum menanggapi pertanyaan.

"Kamu di rumah sakit, Nisa."

"Aku kenapa, Mba? Kenapa bisa sampai di rumah sakit? siapa yang sudah membawaku ke rumah sakit?" pertanyaan Nisa bertubi-tubi diajukan kepadaku.

"Mba, yang sudah membawamu kesini, Nis. Mas Beno tadi yang sudah mendobrak pintu ruma karena tidak ada jawaban dari dalam. Jadi kami terpaksa melakukan tindakkan," ujarku menjelaskan.

Anisa kelihatan shock dan menangis, kemudian mengusap perutnya yang sedikit rata.

"Bayiku," ucapnya lirih.

"Maafkan, Mba terpaksa harus mengkuret bayimu untuk menyelamatkan nyawamu," ujarku yang mencoba menenangkannya.

Aku tau jiwanya pasti terguncang setelah apa yang dialami sekarang.

Anisa menangis, tatapannya kosong. Gairah semangat hidupnya pudar.

"Mas Reno sudah menyiksaku, Mba. Dia tidak suka kalau aku hamil dan menyuruhku menggugurkan kandungan setelah dia tahu aku hamil anaknya," lirihnya. Seraya menangis dengan pilu ke dalam pelukanku.

"Ini tidak bisa di diamkan, Nis. Reno seharusnya dilaporkan atas tindakan KDRT."

"Aku takut, Mba," ucapnya menyela kalimat ku.

"Nisa, tindakkan Rena itu sudah kriminal."

"Tolong jangan laporkan dia kepolisi, Mba! aku mohon," pintanya memelas.

"Kenapa, Nis? Kamu jangan takut, Mba pasti akan menyewa pengacara untuk menuntutnya!" Seruku dengan kesal.

"Reno, sangat licik, Mba. Dia mengancamku akan menyebarkan photoku yang tanpa busana saat di kamar jika aku berani melaporkannya ke polisi ataupun berani mengadu padamu," jawab Nisa yang sontak membuatku shock dengan penuturannya.

"Apa?!" Tanyaku tak percaya.

"Mas Reno, pasti akan memberi alibi kalau aku istri panggilan. Dia menyuruhku berdandan seperti wanita pelacur dan memakai pakaian seksi kemudian setelah kami berhubungan dia dengan sengaja merekam di ponselnya. Ini senjata yang digunakan agar aku tidak pernah berani menuntutnya."

Anisa menjelaskan panjang lebar, kenapa alasannya selama ini tidak berani menuntut Reno.

"Gila, ini benar-benar sudah tindakkan kriminal, Nis. Bagaimana bisa seorang suami memperlakukan istri tidak bermoral seperti itu," ucapku berdecak kesal.

"Dia juga menyuruhku untuk melayani teman rekan bisnisnya di kamar hotel demi mendapatkan ambisinya untuk kerja sama dengan temannya dan memenangkan tender," tukasnya lagi.

"Jadi benar kemarin lusa kita bertemu karena kamu lari dari Reno," tanyaku penasaran.

Nisa mengangguk "Iya."

"Lalu, kenapa kamu hanya diam saja Nis? Seharusnya kemarin kamu katakan pada, Mba! Pantasan saja Mas Beno menemukanmu di hotel yang sama saat menghadiri seminar dengan keadaan acak-acakkan."

Emosi begitu di ubun-ubun, ingin rasanya aku membalas perlakuan Reno yang kasar.

Aku meninggalkan Nisa di ruang perawatan, karena kondisinya yang masih lemah.

***

"Apa ini, Mas?" Tanyaku yang melihat Mas Beno menyodorkan selembar kertas.

"Tanda tangani ini karena aku akan menikah secepatnya dengan adikmu, Anisa," ucapnya dengan menatapku dingin.

Ekspresi wajahku memerah tapi bukan kerana malu, namun sebaliknya meluapkan kemarahan dan menggebrak meja. Seketika aku bangkit dari tempat duduk, dan menatap wajah suami yang kini kubenci.

"Di mana nalurimu, Mas? Bahkan binatang pun punya hati, tapi kamu yang sudah bertahun-tahun ku kenal tega meminta menandatangani izin untuk berpoligami dengan adik kandungku."

Kurobek surat yang berisikan surat izin untuk berpoligami, dan menghempaskannya ke wajah Mas Beno. Menjadi serpihan kecil-kecil.

"Aku tetap akan menikahi, Anisa walaupun kamu tidak memberi ijin," ucapnya dengan percaya diri.

"Silahkan, kamu nikahi dia jika itu keputusanmu," jawabku dengan setengah berteriak.

"Ini!" Mas beno menyerahkan amplop berwarna coklat.

"Apa lagi yang kamu inginkan dariku, Mas? Belum cukupkah kamu hancurkan rumah tangga ini dengan menikahi adik kandungku," celetuk ku dengan kasar.

"Aku sudah mendaftarkan perceraian kita di pengadilan dan kamu aku jatuhkan talak satu," ucapnya dengan keras.

Aku terduduk lemas ketika kudengar kata talak dari Mas Beno. Sendi-sendiku terasa sakit, tangan ini gemetar membuka amplop coklat yang dia berikan.

"Aku terima talakmu, Mas," ucapku dengan lirih. Dengan sisa tenaga menguatkan hati, agar tidak menangis di hadapannya.

Mas Beno berlalu dari ruanganku dengan senyuman miring dari sudut bibir. Seakan belum puas dia menyakitiku dengan perselingkuhan yang dilakukan. Kini dia kembali menyayat dengan sembilu. Ucapan talaknya telah menjatuhkan harga diri ini. Aku menangis membenamkan wajah di atas meja tanpa suara, dan tidak ada seorang pun yang tahu.

Tok tok tok.

Suara pintu diketuk dari arah luar ruangan. Kuhapus air mata yang tersisa membasahi pipi. Aku berusaha tegar dengan tersenyum, saat mempersilahkan tamu yang berada diluar masuk.

"Masuklah!"

Dokter Maya masuk ke dalam ruanganku. Dia tersenyum menyapa.

"Rea, aku tau apa yang kamu alami sekarang. Jadi gak usah pura-pura tegar di hadapanku," ucapnya.

"Aku baik-baik saja, Maya," tukasku dengan senyum.

Sebisa mungkin kubuat alami di depan dokter Maya. Dokter Maya adalah sahabat yang sekaligus merawat selama aku hamil. Kami bertugas di tempat yang sama.

"Alibi gak cocok untuk wajahmu yang polos, Rea," celetuknya dengan candaan menggoda.

Aku segera menghambur dalam pelukannya. Menumpahkan keluh kesah yang selama ini aku rasakan getir.

"Aku gak sanggup, Maya," lirihku dengan isak tangis.

"Aku tau, Rea! Sedari tadi aku mendengar percakapanmu dengan Beno di luar saat hendak mengantarkan hasil USG janin," ujarnya menjelaskan dengan detail.

"Jadi, kamu mendengar semua yang kami bicarakan tadi?" Aku balik bertanya.

"Iya, Rea. Seharusnya kamu katakan sebenarnya kalau kamu hamil. Jadi Beno bisa membatalkan pernikahannya dengan adikmu."

"Itu tidak mungkin, Maya."

"Kenapa tidak mungkin, Rea?" Tanyanya penasaran.

Aku menjawab dengan ekspresi tatapan kosong.

"Anisa, hamil."

Mata Maya membulat seakan mau keluar. Tidak percaya mendengar penuturan.

"Apa?"

"Iya, Maya. Tanpa sepengetahuanku selama ini, mereka berselingkuh di belakangku dan menyimpannya begitu rapi hingga aku tidak tahu hubungan mereka sudah terlalu jauh dan menyebabkan dia hamil di luar nikah dan itu anak Beno," kataku menjelaskan.

"Aku tidak menyangka kalau dokter Beno akan melakukan hal serendah itu. Di mata masyarakat dia terkenal santun dan mempunyai jiwa penolong tapi kenyataannya jauh dari kata baik!" Seru Maya kesal.

"Aku belum memberitahukan pada Beno kalau aku juga hamil, Maya. Jika dia tau aku hamil pasti Anisa tidak jadi menikahinya. Aku tidak mau kalau anak yang dikandung tidak punya status, jadi biar aku saja yang mengalah."

Akhirnya tangisku pun pecah, tak mampu kubendung lagi yang sedari tadi sudah ditahan hingga membuat terasa perih.

"Sabar, Rea! Kamu pasti bisa melalui semua ini dengan tabah." Maya kembali merengkuhku dalam pelukannya memberikan kekuatan.

"Makasih, Maya. Kamu adalah sahabat terbaikku," jawabku dengan mengulas senyum.

Jarum jam sudah menunjukkan angka lima sore. Aku pun bersiap-siap hendak melangkah keluar dan pulang kerumah. Udara rumah sakit yang berbau alkohol sedikit membuatku mual. Mungkin ini adalah bawaan ibu hamil saat lagi ngidam. Biasanya aroma terapi yang aku sukai mampu membuat perasaan tenang, tetapi kali ini membuat kepala semakin pusing.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel