Are Vampires Humans???, 2
Komen!
Atya Lutfi Riki
Teman dekat Ven dari SD dan mengetahui segala tentangnya, bahkan hal sekecil pun. Emosian dan sedikit tidak pintar di kelas. Candy adalah kesukaannya. Bahkan dia bisa di bujuk hanya dengan satu permen.
Leon Yunanda
Teman Ven dari SMA. Belum mengetahui banyak tentang kehidupan Ven. Lebih pintar dari Riki dan tidak bisa diam walaupun sedetik. Banyak tingkah tapi peduli dengan orang lain.
~~~~~~~
Suasana di kelas XI IPA 1
"Temen gue mana coba jam segini belum datang?" sambil sesekali melihat jam tangan baru pemberian ulang tahun ayahnya.
"Keburu guru datang, di tungguin gak nongol-nongol, " kesalnya sambil menatap pintu kelas dan tidak menemukan apa yang di cari.
"Sabar kali nanti juga datang. Dua menit lagi Ven pasti datang, " tebak Loon yang duduk di bangku samping.
"Dari mana lo tahu dua menit lagi dia datang. Emang lo dukun apa?" tanya Riki.
"Enak aja manggil gw dukun. Gue bukan dukun tahu, gue Leon anak dari bapak Yunanda yang ganteng, pintar, tajir dan tentunya tidak sombong pula, " ucapnya dengan penuh percaya diri sambil memainkan rambut ke belakang dan mengedipkan sebelah matanya.
"Iya gue tahu bapak lo emang ganteng, tajir, pintar dan tidak sombong, " ucap Riki menye-menye.
"Kok bapak gue, engga gue nya?" Leon menunjuk diri sendiri.
Dan akhirnya mereka saling adu mulut satu sama lain. Tanpa di sadari sosok yang mereka tunggu-tunggu telah datang dan langsung ada yang menghampirinya untuk meminta sesuatu.
"Singa betina, pindah ke bangku kamu!" pinta Ven sopan sambil meletakkan tas miliknya di atas meja.
Leon dan Riki langsung menoleh ke arah suara tersebut dan mendapati Ven yang sedang berdiri di hadapannya sambil berkaca pinggang.
Seketika Ven langsung mendapat tatapan dari kedua temannya. Mereka pun melupakan perdebatan yang sedang di lakukan beberapa detik yang lalu.
"Sejak kapan lo dateng?" tanya Leon penasaran.
"Ahh itu gak penting mana buku matematika lo?" tanya Riki tanpa berbasa-basi sambil mengulurkan tangan di depan Ven.
"Buku? Udah di minta Nizar sama temannya, tuh,,!" Ven menunjuk ke arah Nizar dan teman-temannya yang sedang berkumpul menyalin tugas rumah.
"Kok lo kasih ke dia, temen lo tuh gue sama Leon bukan Nizar and the geng gimana sih lo. Gue udah nungguin lo dari tadi sampai sekarang, " kesal Riki karena bukunya sudah di ambil orang lain.
"Woiiii Ki gantian sama kita ya!, Tadi lo sibuk kan, kalo mau nyontek sini bareng kita. Biar tambah rame, mau gak?" ucap salah satu teman yang lagi nyontek buku milik Ven.
Riki tambah kesal. Ven hanya memasang muka datar saat Riki menatapnya tajam.
∆∆∆
"Bagi yang belum selesai mengerjakan dijadikan PR saja!" ucap Lidya (guru IPA berumur 24 tahun, ideal, single dan berparas cantik) kepada muridnya saat bel istirahat berbunyi.
"Siap bu!" serempak murid XI IPA 1 dengan gembira.
"Ven kamu pasti sudah selesai kan? Ayo di kumpulkan!" pinta bu Lidya melihat bangku milik Ven.
"Iy,,, ahhh, " teriak Ven ketika kakinya sengaja di injak oleh Riki.
"Belum bu, Ven belum selesai!" Riki menjawab spontan pertanyaan Bu Lidya dengan senyuman tanpa merasa bersalah sudah melukai kaki teman di sebelahnya.
Ven hanya bisa pasrah merasakan kaki miliknya yang terasa perih.
"Kamu kenapa Ven, kok teriak?" tanya bu Lidya khawatir ketika mendengar teriakan Ven.
"Gak pa pa kok bu, Ven ikhlas. Lagian juga sudah terbiasa kok, " ucap Ven muka melas di ikuti tatapan tajam ke arah Riki.
Riki yang melihat itu pura-pura tidak tahu dengan mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Bahkan siswa lain hanya bisa menahan tawa tanpa berkomentar sedikit pun. Beberapa murid mengamati Bu Lidya yang berjalan ke bangku Ven.
Menatap Ven sejenak "Buku IPA milik kamu ibu bawa, mau saya koreksi. Dan yang lain jika ada yang sudah selesai mengerjakan serahkan ke ibu sini! Masa cuma milik Ven doang!" Bu Lidya melihat seluruh siswa secara bergantian.
Beberapa murid mulai mengumpulkan buku tugasnya termasuk juga Leon.
"Nah, kamu sudah selesai Riki?" tanya bu Lidya dengan ramah.
"Belum bu!" jawab Riki jujur.
"Kebiasaan kamu Leon aja sudah ngumpulin masa kamu belum?" sindir bu Lidya yang hanya di balas senyum kecut dari Riki.
Saat bu Lidya meninggalkan kelas para murid langsung berhamburan keluar menuju kantin dan sebagainya.
"Cantik sih tapi sorry bukan selera gue. Lagian tuh guru punya dendam kesumat apa coba sama gue, sirik amat, " ujar Riki sensi.
"Emang selera lo kayak apa, sejenis manusia kan, " ujar Leon asal sambil menggerakkan badan ke belakang agar lebih mudah mengobrol.
Leon duduk di bangku depan membelakangi Riki dan Ven yang duduk bersebelahan.
"Bukan! Sejenis vampir, " Riki langsung bergegas keluar kelas menuju kantin tanpa memberitahu kedua temannya. Ven melongo.
"Kalau Riki nikah sama Vampir trus di gigit gimana?" Ven mulai membayangkan jika Riki menikah dengan Vampir, " Aahhh jangan, jangan gak boleh. Leon jangan biarin Riki nikah sama vampir ya, seram hiii. Lagian Leon emang vampir itu manusia ya?" Ven berbicara dengan polos sambil menatap Leon yang bengong.
"Lo gak demam kan?" Leon memegang dahi Ven, "Ven gue mau nyusul Riki!" Leon langsung pergi meninggalkan Ven yang sedang memegang keningnya sendiri.
"Aku gak demam tapi tadi Leon bilang aku demam, tapi aku serious. Vampir itu emangnya manusia trus kalo Riki nikah sama Vampir anaknya seperti apa ya?" Ven mulai hanyut dalam imajinasinya.
∆∆∆
Di koridor sekolah nampak Riki dan Leon yang sedang mengemut permen, terkadang beberapa pasang mata memperhatikannya ketika mereka berjalan beriringan.
"Gak pernah liat orang ganteng apa?" Leon dengan gaya cool mulai mengibaskan rambut ke belakang ketika mengetahui sedang di lihatin para kaum hawa di pinggir koridor.
"Yang ganteng itu bukan lo tapi bapak lo!" ujar Riki santai.
"Udahlah bilang aja kalo gue ganteng Ki, gausah malu-malu gitu,, "
Mendengar perkataan Leon, Riki menghentikan langkah kaki dan bertanya kepada ketiga cewek yang sedang duduk di bangku koridor sekolah.
"Menurut lo Leon ganteng?" tanya Riki kepada ketiga cewek tersebut sambil di tatap bergiliran.
"Hai Riki, habis dari mana? Dari kantin ya ketahuan beli permen. Loli gak di kasih nihh, " bukannya pertanyaan Riki yang di jawab melainkan hal lain yang dilontarkan.
Bahkan Loli sengaja menggodanya karena naksir Riki dari kelas VII tapi selalu di anggap teman bukan lebih. Tapi Loli berusaha agar keinginan menjadi pacarnya bisa tercapai dan tidak ada kamus menyerah sebelum berjuang, prinsip moto hidup Loli.
Fatan Loli Imelda
Cantik, suka bicara dan pendek. Masih berjuang membuat satu cowok jatuh cinta padanya. Memiliki pendirian teguh.
"Gue nanya apa lo jawabnya apa, hadehh capek dehh, " Riki menempelkan tangan di dahi ala-ala kecapekan habis melakukan sesuatu.
Tiba-tiba seorang cewek dengan bekal di tangan datang menemui Leon yang sedang berdiri di samping Riki sambil bermain permen di mulut.
"Tolong di berikan ya seperti biasa!" pinta cewek tersebut.
"Lagi?"Leon melihat jam tangan dan menunjukkan kepada cewek tersebut.
"Tadi gue harus pergi ke perpustakaan dulu mengembalikan kamus sekolah. Hari ini jadwal piket gue Leon Tolonglah ya, nih kan juga bisa di makan nanti jam istirahat ke-dua, " ujarnya panjang lebar tidak putus asa.
"Terima Leon, hargai pemberian cewek. Udah bagus di kasih bekal nanti kalau kehilangan baru tahu rasa lo!" Loli berucap sambil melirik Riki berusaha menyindirnya.
"Lo ngomong ke Leon ngapain lihat gue,?" Riki tahu jika Loli meliriknya dan di balas dengan mengangkat kedua bahu ke atas.
"Okay gue terima, tapi ini terakhir kalinya lo ngasih ke gue. Emang lo pikir gue pengantar barang makanan apa?" Leon kesal yang hanya di balas anggukkan lalu cewek itu pergi di susul Leon.
"Maksud perkataan Leon apaan, kenapa dia ngomong gitu?" tanya Loli kepada Riki yang masih berdiri di sampingnya.
"Lo mau tahu?"
"Iyaa, " tanya Loli penasaran.
"Itu karena, lo kepo, " ujar Riki di akhir kalimat sedikit berteriak.
∆∆∆
Srett, suara penggaris yang di gesekan di meja membuat aktivitas membaca Ven terhenti.
"Lo kalo gausah caper bisa gak!" ucapnya penuh penekanan di setiap kata.
"Maksud kamu apa?" Ven dengan sikapnya yang santai.
"Lo masih nanya maksud gue apaan, cupu lo!" dengan paksa dia mengambil buku yang sedang di baca oleh Ven.
"Kembalikan bukuku! Kalau kamu kesal sama aku jangan lampiaskan ke buku. Dia gak salah!" ujar Ven.
Cowok itu seketika bengong karena perkataan Ven yang aneh. Tanpa di sadari buku tersebut sudah di rebut dari tangannya dan membuatnya tersadar dari pikirannya.
"Gue ingetin lo sekali lagi. Kalau lo coba-coba untuk ngerebut posisi gue dari Olimpiade gue gak akan segan buat nyakitin lo! Paham?" penuh penekanan di setiap kata dan membentak di akhir kalimat dengan memegang kerah seragam abu-abu Ven. Sorotan tajam matanya tidak membuat Ven takut maupun goyah sedikit pun.
Dengan santai Ven melepaskan tangan Hanif dan berkata, "Aku gak takut sama kamu. Soal Olimpiade sudah di atur sama pihak sekolah. Apa aku harus nolak dan bilang jika kamu yang memaksaku agar tidak ikut dalam Olimpiade,?" ujar Ven tanpa rasa takut.
Keduanya hanyut dalam pandangan yang sama, bahkan tatapan itu seperti sedang memburu mangsanya.
Bel masuk berbunyi menghentikan aktivitas sengit mereka. Hanif akhirnya pergi setelah menyadari semua siswa sudah masuk ke dalam kelas dan tak lupa melayangkan tatapan elang ke arah Ven sebagai tanda kebencian.
Hanif, cowok XII IPA 1 juara Olimpiade sekolah yang posisinya sedikit di geser oleh Ven. Hanif hanya mau jika dirinya lah satu-satunya juara Olimpiade dan tidak ada yang boleh merebut posisinya selama masih bersekolah di sini. Maupun itu Ven sedikit pun.
Hanif Enggal Pratama
Kakak kelas Ven. Pintar, pemarah dan juga emosian. Primadona sekolah, jago main basket.
∆∆∆
10.30 a. m
"Pak hari ini kita ada meeting dengan klien sepuluh menit lagi!" ujar asisten pribadi kepada atasannya dengan tegas, mengingatkan jika ada meeting penting siang ini.
Seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi dan dasi di kerah menambahkan aura kewibawaannya lalu segera memberi arahan dengan memegang bolpoin di tangan.
"Siapkan meeting! Saya kesana sebentar lagi!" ujarnya tegas dan tepat.
See you
