Chapter 9 : Perkumpulan Menyebalkan
Besok adalah jadwal Ujian Nasional untuk SMA se-Indonesia. Dan 3 minggu setelahnya adalah jadwal Ujian Nasional untuk SMP. Oleh karena itu hari ini David mengajak Tiffany untuk pergi lari pagi mengelilingi taman dekat apartemennya. Setelah itu ia tidak akan bertemu dengan Tiffany selama tiga minggu. Biarkan perempuan itu fokus pada ujiannya.
"Kak," panggil Tiffany sambil melambaikan tangannya dari kejauhan.
Perempuan itu berlari menuju David.
"Jangan lari!" teriak David. Tepat setelah itu Tiffany tersandung seutas benang yang tak terlihat dari kejauhan. David segera berlari menghampirinya.
"Kamu kenapa ceroboh banget sih?" tanya David khawatir yang membuat Tiffany membuka mulutnya tak percaya.
Laki-laki itu membantu Tiffany untuk berdiri dan membawanya ke kursi yang ada di tepi taman. Memeriksa apakah ada luka di kaki perempuan itu. Ternyata memang ada goresan karena benang kasar itu.
"Gakpapa Kak, ini cuma lecet. Aku masih bisa lari kok," katanya kemudian bangkit dan berlari di tempat.
Terlihat baik-baik saja membuat David mengangguk setuju untuk melanjutkan lari paginya. Mereka berlari kecil mengelilingi taman tanpa ada percakapan di dalamnya. Tiba-tiba kaki Tiffany terkilir dan perempuan itu menghentikan langkahnya.
Sadar bahwa Tiffany tidak lagi berada di samping atau belakangnya David menoleh dan mendapati perempuan itu tengah duduk di tengah jalan sambil memijat kakinya sendiri. Dengan cepat ia berlari menghampiri.
"Kenapa?"
Tiffany menggelengkan kepalanya dan terkekeh, "kram hehe."
"Kamu gak pemanasan dulu sih," omel laki-laki itu.
Ia mengulurkan tangannya untuk membantu perempuan itu berdiri. Namun ketika sudah meraih tangan David, Tiffany tetap tidak kuat untuk berdiri tegap karena kakinya benar-benar kram. Sampai akhirnya David berjongkok membelakangi perempuan itu.
"Naik."
"Hah?" Tiffany tampak bingung sambil menatap punggung lebar laki-laki itu.
"Naik, ayo ke apart aku," katanya yang membuat Tiffany membulatkan mata.
"Naik sekarang!" paksa David sambil menatap kesal Tiffany.
Dengan terpaksa Tiffany menuruti itu, ia mengalungkan lengannya pada leher David.
"Maaf ya Kak, aku ngerepotin. Lari paginya jadi berantakan gara-gara aku," katanya dengan nada menyesal.
David tidak menggubrisnya, ia terus menggendong Tiffany sampai tiba di dalam apartemennya yang tidak jauh dari taman itu.
"Lurusin kaki." Laki-laki itu pergi ke dapur untuk menuangkan segelas air mineral. Kemudian ia berikan kepada Tiffany yang tengah meluruskan kaki di atas sofa miliknya.
"Makasih Kak," ucap Tiffany sambil menatap laki-laki itu malu.
Tidak ada percakapan setelah itu, hanya ada suara televisi dan suara pendingin ruangan. Tiffany yang merasakan kecanggungan luar biasa itu langsung memecah keheningan dengan menyemangati David yang besok akan menempuh Ujian Nasional.
"Semangat ya Kak buat besok!" Tiffany mengepal tangannya ke udara sambil tersenyum lebar.
David hanya menatapnya tanpa perubahan ekspresi. "Selama tiga minggu aku gak akan ngehubungin kamu, jadi kamu fokus ke belajar buat ujian," katanya yang langsung membuat Tiffany merasakan hal aneh.
Ia merasa seperti akan ditinggalkan.
"Kak, Kakak mau lanjut kuliah dimana? Apa mau bareng Kak Evan lagi di Bandung?" tanya perempuan itu.
Laki-laki itu menatap kosong mata Tiffany. Ia bingung harus menjawab apa. Sebenarnya ia juga tidak tahu persis kemana pilihannya pergi. Dulu ia sangat bersemangat untuk pergi kuliah ke luar negri sampai ikut program beasiswa di Coloumbia. Tapi setelah berhasil mendapatkannya ia justru merasakan perasaan aneh seperti hampa.
Ia memang tidak pernah berpisah sekolah dengan Evan sejak mereka Sekolah Dasar. Hanya setahun ketika ia harus pindah ke Prancis bersama orang tuanya dan setelah itu ia kembali ke Sekolah Dasar lamanya di Indonesia. Apa ia merasakan hampa karena akan berpisah dengan sahabatnya, Evan?
Evan dengan tegas tidak mau mendaftar kuliah di luar negri karena tidak ingin meninggalkan jauh Tiffany. Baginya berbeda kota saja sudah termasuk jauh, tapi kalau masih di satu pulau Evan pasti masih bisa mengawasi adiknya beberapa kali.
Lagipula Tiffany semakin beranjak dewasa. Ditinggal Evan merantau juga tidak akan membuat perempuan itu kesulitan. Hanya 3 tahun sampai ia lulus SMA dan ia akan menyusul Evan ke Bandung.
"Kak," panggil Tiffany sambil mengibaskan tangannya di depan wajah David.
"Hm?"
"Apa Kak David masih belum tau mau kuliah dimana sampe sekarang?" tebak perempuan itu.
Davi menghela nafasnya kemudian menaikkan kedua bahunya.
***
Hari Ujian Nasional SMA sudah selesai. Malam ini seluruh pengurus organisasi di sekolahnya berkumpul untuk mengadakan makan malam bersama di sebuah restoran dekat sekolah. Sebenarnya David sangat tidak tertarik dengan acara seperti ini. Namun ia harus tetap datang untuk terakhir kalinya karena ia ketua basket. Tak apa, ini kali terakhir, toh selama ini setiap ada acara makan-makan bersama ia tidak pernah hadir.
Semua ketua dari ekstrakulikuler sekolahnya menduduki kursi dengan satu meja panjang yang ada di dalam restoran itu. Dan sangat kebetulan ia duduk berhadapan dengan Fahry, ketua futsal di sekolahnya.
"Udah mau lulus, tapi kita belom pernah liat Dave kencan loh, Dave lo straight kan?" tanya salah satu temannya tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat David kesal, namun ia malas meladeninya. Ia lebih memilih untuk meneguk sekaleng cola di hadapannya.
"Padahal disini yang paling populer banyak dikejar-kejar cewek ya Dave. Tapi gak ada satupun yang menarik perhatian lo ya?" Hendrick, ketua tim voli putra bertanya dengan nada menggoda.
Ini salah satu alasan David tidak mau pergi ke perkumpulan, karena ia pasti selalu menjadi topik pembahasan teman-temannya.
David mengehela nafasnya lalu bergumam.
"Emang tipe lo kayak gimana Dave?" Fahry tiba-tiba melontarkan pertanyaan sambil menyengir.
David menatap datar laki-laki itu. Sangat tidak terduga, Fahry akan bertanya hal itu.
"Kenapa penasaran?" David balik bertanya membuat semua orang terkejut.
"Weh, Fahry katanya udah nembak adik kelas yang dia taksir ya?" Seseorang mengalihkan topik pembicaraan membuat David menautkan alisnya.
Semua jadi tertarik dengan topik tentang Fahry, karena laki-laki itu selalu merespon tiap seseorang bertanya tentang dirinya.
"Jadi putus dari Gaby lo malah nembak anak SMP?"
Fahry tertawa sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Kenapa berita itu dengan cepat tersebar ke telinga temannya?
"Tapi bukannya adik kelas itu emang suka sama lo ya Ry? Gue liat dia selalu inisiatif deketin lo," kata yang lain.
Pembicaraan ini benar-benar membuat David muak. Ia harus pergi dari perkumpulan ini.
"Dave, temenin ngerokok yuk." Waktu yang sangat tepat, Evan datang sambil mengajaknya keluar.
Ia segera mengekori laki-laki itu keluar restoran.
"Itu yang lagi dibahas mereka pasti Fany," ucap Evan sambil menyalakan rokoknya.
David menatap wajah kesal Evan. Ia tidak tahu mengapa Evan sangat tidak menyukai Fahry.
"Jadi dia udah nembak adek gue. Jangan-jangan mereka udah jadian?" Evan membelalakkan matanya menatap David.
"Enggak!" kata David dengan wajah yakin.
Evan menyernyitkan dahinya, "Dave, adek gue tuh budak cinta banget sama Fahry. Lo gak tau ya dia banyak nyimpen foto Fahry di hp nya tau. Bayangin aja masa ditembak sama orang yang selama ini dia idam-idamin malah ditolak?"
Evan benar, Tiffany memang sangat menyukai Fahry. Kemungkinan perempuan itu akan menolak Fahry adalah sangat kecil. Tapi bukannya ia dan Tiffany sudah lebih dulu berkencan? Walaupun itu memang sepihak.
