Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 10 : Perpisahan Sekolah

Perpisahan sekolah akhirnya tiba. Yayasan tempat Tiffany bersekolah sepakat untuk mengadakan perpisahan gabungan antara SD, SMP dan SMA di sebuah auditorium yang berada di lingkkungan yayasan itu. Seperti pada perpisahan sekolah lainnya. Selain ada sambutan dan nasihat-nasihat dari pimpinan sekolah, ada juga pertunjukan sebagai hiburan. Salah satu bintang tamu yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua adalah Nial Andreas, salah satu artis sosial media yang mempunyai suara merdu. Ia sering mengcover music di akun media sosialnya. Nial Andreas merupakan seorang Warga Negara Asing yang memiliki darah Indonesia. Kalau dilihat dari belakang nama laki-laki itu sudah dapat dipastikan bahwa ia merupakan saudara dari David Andreas, tapi kenapa wajah mereka tidak mirip?

Semua sorak ramai terdengar ketika Nial mulai menaiki panggung. Ia mulai memetik gitar yang dibawanya sambil menyanyikan sebuah lagu yang membuat semua penonton terpana. Dapat diakui suara laki-laki itu memang emas, selain tampangnya, suaranya juga benar-benar indah.

Suara tepukan tangan kompak terdengar, beberapa pimpinan yang duduk di depan panggung pun ada yang sampai berdiri dari duduknya hanya itu mengapresiasi musik Nial. Namun, David tidak satu kali pun ikut bertepuk tangan untuk adiknya.

"Dave." Evan menatap nanar laki-laki itu.

Tidak habis pikir dirinya pada David. Ia tidak bereaksi sedikit pun melihat adiknya tampil di atas panggung. Jangankan tepukan tangan sebagai apresiasi atau bangga, wajah senang saja tidak tercetak disana. Hanya wajah datar dan tatapan dingin yang muncul dari laki-laki yang kini tengah mengenakan tuxedo hitam itu.

Kepala yayasan, Bapak Idham naik ke atas panggung ketika MC mempersilakannya untuk membacakan nama siswa siswi terbaik dari SMA, SMP dan SD. Perwakilan 3 siswa untuk setiap jenjang yang akan maju.

"Saya sangat bangga terhadap siswa siswi yang mendapatkan beasiswa dari sekolah ataupun Universitas yang akan menjadi tempat mereka mencari ilmu selanjutnya," ujar kepala sekolah.

Tiffany sangat antusias, ia sangat berharap bahwa dirinya bisa menjadi salah satu siswi yang mendapatkan beasiswa di SMAN yang ada di dekat rumahnya. Karena itu salah satu mimpinya.

"Tif, kamu ngajuin juga?" bisik Chery yang berada tepat di sampingnya.

Tiffany mengangguk semangat, "kamu juga kan?"

Chery tersenyum lebar sambil mengangguk.

"Baik, saya langsung saja panggil 3 nama siswa siswi dari SMA Harapan yang berhasil mendapat beasiswa dari Universitas terkenal di luar negri." Kepala Yayasan membuka sebuah map hitam kemudian menyebutkan namanya.

"Beri tepuk tangan untuk Fahry Fernando yang berhasil masuk Universitas Oxford di Inggris."

Semua orang bersorak untuk Fahry. Tiffany tidak terkejut lagi, ia sudah tahu lebih dulu kalau Fahry mendapat beasiswa dan akan berkuliah di UK. Ia sudah tidak sedih lagi, kini ia dapat tersenyum menatap wajah Fahry yang sudah berdiri di atas panggung. Selamat tinggal cinta pertamanya, ia tak apa karena sudah mendapatkan cinta baru yang akhir-akhir ini ia sadari. Cinta untuk David.

"Selanjutnya, beri tepuk tangan untuk Shopia Ratu yang berhasil mendapat beasiswa di Universitas Harvard."

Tiffany benar-benar bangga dengan yayasannya. Ia berharap Kakaknya Evan dapat mendapat beasiswa di luar negri juga. Namun Evan tidak ikut mendaftar karena berat dengan dirinya. Evan benar-benar sangat menyayangi dirinya sampai mengorbankan mimpinya.

"Selanjutnya adalah siswa terbaik yang meraih juara umum 3 tahun berturut-turut. Selain otaknya yang cerdas, wajahnya pun tampan dan menjadi idaman sekolah. Dia berhasil mendapatkan beasiswa di Coloumbia University." Kepala sekolah sedikit tertawa membaca teks itu.

Semua ikut antusias dan memanggil nama Mr Ice. Tiffany langsung menyapu pandangannya ke seluruh auditorium. Jantungnya berdegup cepat. Ini tidak mungkin, ia tidak bisa menerimanya. Kenapa ia tidak diberi tahu?

"Sepertinya kalian sudah tahu ya siapa orangnya. David Andreas, beri tepuk tangan yang meriah."

Semua orang menyorakkan namanya, banyak juga yang sampai berdiri. Semua menatap bangga laki-laki yang tengah berjalan menaiki panggung itu.

Tiffany menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Bukannya perasaan bangga, ia justru sangat kecewa terhadap David. Kenapa David tidak memberitahu dia sebelumnya? Padahal ia menganggap mereka berdua sudah benar-benar berpacaran.

"Keren banget Kak David ya Tif! 3 tahun bertahan jadi juara umum itu kok bisa gitu ya? Makan apa ya dia?" Chery menatap bangga laki-laki dengan yang berwajah dingin itu. Walaupun ia sedang dipuji pun tetap tidak merubah ekspresi wajah dinginnya.

Namun itulah pesonanya menurut semua orang. Laki-laki itu menatap lurus ke depan, matanya mencari Tiffany diantara ramainya orang. Barisan murid SMP berada di tengah, tapi ada begitu banyak orang disana. Ia tidak dapat menemukan perempuan itu.

***

Sepulang dari perpisahan kemarin Tiffany tidak keluar kamarnya. Ia benar-benar sedih, selain David yang menyembunyikan hal itu, ia juga sedih karena tidak mendapat beasiswa SMAN. Lebih parahnya lagi, nilainya tidak cukup untuk bersaing bersama yang lain di SMAN.

"Mbak, bibi masuk ya." Bi Ani, asisten rumah tangga yang sudah bekerja dan mengurus Tiffany sejak Tiffany berumur dua tahun itu mengetuk pintu kamarnya pelan.

Tiffany membuka kunci pintu dan membiarkan Bi Ani masuk. Saat ini hanya Bi Ani yang ia perbolehkan masuk menemuinya.

"Mbak Fany udah dong sedihnya mbak. Ini dimakan dulu nasi ayamnya." Wanita parubaya itu menyodorkan sepiring nasi dan ayam kepada Tiffany yang tengah duduk di atas kasur sambil menatap lurus ke luar jendela kamar.

"Bi, kenapa nilai ujian Fany kurang ya? Padahal Fany rajin ikut les kok," katanya dengan nada lirih.

Bi Ani menarik Tiffany ke dalam pelukannya. "Mbak Tiffany, coba dengerin Bibi ya," jedanya. "Mbak Fany kan punya jalur buat sampe ke mimpinya Mbak Fany ya? Pasti masuk SMAN juga salah satu jalur itu kan?"

Tiffany mengangguk, lalu segera menggeleng. "Aku belum punya mimpi sejauh itu Bi, aku cuma pengen ngerasain serunya sekolah di sekolahan negri," katanya sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Bi Ani.

"Mbak percaya deh, sutradara terbaik itu Tuhan. Pasti Tuhan punya skenario yang jauh lebih baik daripada skenario yang dibuat Mbak Fany," ujar Bi Ani menasihati dan berusaha menenangkan Tiffany.

Perempuan itu menghela nafasnya dan memejamkan mata. Bi Ani memegang kedua bahu Tiffany dan langsung terkejut ketika merasakan suhu tubuh Tiffany yang sangat panas.

"Mbak, demam ya?" tanyanya.

Tiffany membuka matanya perlahan. "Hm?"

"Aduh Mbak Fany demam ini, bentar ya Bibi ambilin termometer dulu." Bi Ani segera bergegas keluar kamar dengan cepat untuk mencari termometer.

"Mas Evan, waktu itu terakhir kali termometer sama Mas Evan ya?" Bi Ani menghampiri Evan yang tengah mengobrol dengan David melalui telpon di balkon.

"Iya Bi, ada di kamar Evan. Emangnya siapa yang demam Bi?" tanya Evan sambil menoleh ke arah Bi Ani.

"Mbak Fany demam Mas," jawab Bi Ani.

Evan yang panik langsung meminta David mematikan sambungan telponnya. "Dave udah dulu ya, adek gue demam." Sambungan langsung terputus.

David yang mendengar itu langsung ikut khawatir dan segera berlari keluar apartemen menuju ke rumah Evan dengan mengendarai motornya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel