Chapter 7 : Pengakuan
Bel pulang sekolah berbunyi, detak jantungnya tidak beraturan. Ia terus melihat keluar kelas, kira-kira apa yang akan dibahas Fahry nanti ya? Kemudian ia mencari Lucky, adik Fahry yang sekelas dengannya.
"Luk, langsung pulang?" tanyanya.
Kelas yang tadinya ramai dengan suara gerakan siswa yang bersiap-siap pulang kini hening. Semua mata menatap Tiffany, menunggu jawaban Lucky.
"Lucky." Alih-alih menjawab, ia justru membenarkan namanya yang tadi diucapkan Tiffany. Ia sangat sebal kalau Tiffany sudah memanggilnya 'Luk'.
"Lucky." Tiffany mengulanginya dengan wajah datar.
"Fany, kamu mau ngajak jalan Lucky?" Richard, ketua kelas absurd melontarkan pertanyaan yang membuat seisi kelas dengan kompak menggoda dia dan Lucky.
"Cieee."
"Iya langsung pulang, kalo mau ajak jalan nanti aja ya selesai Ujian Nasional," kata Lucky yang langsung mendapat tawaan dari teman sekelasnya.
Tiffany memutar bola matanya malas. Menyesal ia bertanya seperti itu di depan banyak orang. Padahal ia hanya ingin memastikan apa Fahry mengajak Lucky atau tidak. Secara mereka selalu pulang sekolah bersama.
Chery ikut tertawa sambil memukul bahu Tiffany. "Cher, ngajak berantem ya?"
"Hahaha udah sana, take care ya!" katanya sambil mendorong Tiffany pelan keluar kelas.
Sambil melambaikan tangannya, Tiffany berjalan menuju pos satpam. "Kalo ada apa-apa kabarin ya beb!" teriak Chery.
Tak lama Tiffany sampai di depan pos satpam yang ada di dekat gerbang utama. Matanya menyapu ke sekitar, terlalu ramai, ia tidak dapat menemukan Fahry. Lebih baik ia tunggu saja, biar Fahry yang menghampirinya.
"Lama ya? Tadi aku piket dulu." Tiba-tiba Fahry sudah berdiri di hadapannya dengan nafas yang terengah-engah. Apa dia berlari sampai sini?
"Ayo keburu panas," kata laki-laki itu sambil tersenyum.
Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju halte bus. Tidak perlu menunggu lama, bus datang dan mereka langsung menaikinya. Arah rumah mereka berbeda, jadi ini pertama kalinya untuk mereka pulang sekolah bersama.
Bus sangat ramai, mereka tidak kebagian tempat duduk. Terpaksa mereka berdiri berdesak-desakan dengan penumpang yang lain karena ini memang jamnya pulang sekolah, dan semua angkutan umum ramai.
Saking ramainya penumpang bus itu sampai membuat mereka tidak sadar kalau seseorang mengikuti mereka sejak mereka berada di pos satpam.
"Udah lama ya?"
Tiffany tidak mengerti maksud dari pertanyaan Fahry. Ia mengerutkan dahinya.
"Kita kenal udah lama," lanjut Fahry.
Dengan senyum canggung Tiffany menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"I-iya Kak."
Suasana canggung saat ini benar-benar membuat Tiffany bingung, selama ini ketika ia bersama dengan Fahry perasaan canggung tidak pernah muncul walaupun ia menyukai laki-laki itu selama laki-laki itu tidak terang-terangan merespon perasaannya.
Bus berhenti di halte yang mereka tuju. Dengan cepat mereka keluar dari bus itu dan berjalan menuju sebuah cafe yang ada di sebrang halte.
"Udah lama deh kita gak ke cafe ini, kamu masih suka jus mangga?" tanya Fahry.
Tiffany mengangguk pelan, "sampai kapanpun aku bakal tetep suka jus mangga, Kak," kata Tiffany menjawab.
Fahry tersenyum lebar, jawaban Tiffany seperti ada maksud berbeda.
"Kak, aku mau ramen satu ya, jangan terlalu pedas," pesannya dan langsung pergi mencari tempat duduk yang berada di dekat jendela menghadap ke jalan. Itu pilihan popularnya ketika datang ke cafe itu, karena dari jendela itu ia bisa melihat lalu lalang kendaraan dan orang-orang dengan berbagai ekspresi wajah turun dari bus kota.
Beberapa menit kemudian Fahry datang dan duduk di hadapannya sambil membawa satu jus mangga dan es lemon. "Ramennya kemungkinan lama, soalnya ngantri," katanya sambil menyodorkan jus mangga kepada Tiffany.
Perempuan itu menganggukkan kepalanya, "Kakak mau ngomong apa?"
Fahry menggaruk kepalanya salah tingkah, "to the point banget ya, hahaha." Ia tertawa.
"Eh? Bukan gitu Kak, aku penasaran soalnya. Kayaknya penting banget hehe, kalo gak terlalu penting pasti di sekolah juga bisa," kata Tiffany.
Laki-laki itu menganggukkan kepala, menatap perempuan di hadapannya dengan senyuman lebar. Fahry memang sangat manis, lesung pipinya terlihat sangat jelas, hidung mancung dan mata hitam pekatnya sangat mempesona.
Ia mengibaskan tangannya ke wajah Tiffany, karena perempuan itu menatapnya kosong tanpa berkedip sedikitpun.
"Are you okay?" tanyanya.
Dengan cepat Tiffany mengangguk, "sure."
"Hm, kayaknya ini pertemuan terakhir kita." Tiba-tiba ekspresi wajah laki-laki itu terlihat serius.
Jantungnya tidak lagi berdegup cepat, kini justru terasa seperti perih. Seperti perasaan kehilangan.
"Kamu akhir-akhir ini lagi deket banget ya sama David?" Pertanyaan yang membuat Tiffany membulatkan matanya. Apa Fahry selama ini memperhatikan dia?
"Soalnya aku gak pernah liat kamu pergi sama dia berdua doang selama ini walaupun dia temen Evan."
Tadi pagi ketika ia sedang berjalan menuju gerbang utama, ia melihat di depannya ada laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu dan perempuan mengenakan seragam putih biru sedang bercanda saling menginjak sepatu satu sama lain. Ia terkejut ketika sadar perempuan yang mengenakan seragam putih biru itu adalah Tiffany dan laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu itu adalah David.
Ia terkejut melihat pemandangan itu. Apalagi ketika melihat tawa kecil di wajah David. 3 tahun ia mengenal laki-laki itu, walaupun mereka hanya teman sekelas di tempat les, tidak sekelas di sekolah dan tidak begitu dekat tapi ia tahu pasti kalau David dijuluki Mr Ice di sekolahnya, karena wajahnya yang tanpa ekspresi selain tatapan dingin. Acara pentas seni bahkan malam keakraban yang diadakan di sekolahnya yang mereka ikuti tidak pernah berhasil melukis tawa sekecil itu di wajah David. Satu hal lagi yang sudah menjadi rahasia umum, David sangat menjauhi perempuan.
"Ah iya Kak, soalnya Kak Evan akhir-akhir ini kan lagi sibuk banget," jawab Tiffany.
"Kenapa gak pulang bareng Chery?"
Tiffany mengerutkan dahinya. Sepertinya Fahry memang memperhatikan dia selama ini, tapi kenapa Fahry seolah-olah tak mengetahui perasaannya?
"Aku gak enak Kak, dia kalo pulang sama aku gak punya waktu buat quality time sama pacarnya, Chery kan punya pacar." Perempuan itu tersenyum.
Fahry menganggukan kepala, "aku kira kalian ada hubungan spesial." Ia tersenyum menatap dalam mata Tiffany.
Perempuan itu mengalihkan pandangannya, kenapa ia jadi seperti ini? Kenapa setiap orang yang menyinggung nama David akhir-akhir ini membuatnya salah tingkah.
"Ramennya Kak." Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka sambil meletakkan dua mangkok ramen di atas meja.
Fahry memindahkan ramen yang tanpa daun bawang ke depan Tiffany. Laki-laki itu adalah seorang pengingat yang baik. Ia ingat apa yang disuka dan tidak disuka Tiffany, membuat perempuan itu tersenyum menatap ramennya.
"Karena ini pertemuan terakhir kita, aku pikir gak masalah kalo aku jujur semuanya. Apalagi minggu depan SMA udah Ujian Nasional," kata Fahry.
Jantung Tiffany kembali berdetak cepat mendegar perkataan Fahry. Apa yang sebenarnya ingin sampaikan laki-laki itu? Ia menatap wajah Fahry serius.
"Sebenernya udah lama aku suka sama kamu, cuma aku takut ganggu fokus kamu sama ujian. Udah gitu aku mau kuliah di UK, aku takut, takut aku malah nyakitin kamu." Seperti ada bom yang meledak di hatinya. Ia benar-benar tidak menduga Fahry akan membahas soal perasaannya.
Seolah mengerti dengan keterkejutan perempuan itu, Fahry terkekeh lalu berkata, "kamu tinggal dengerin aja ya, gak perlu respon gakpapa. Aku tau kamu bingung harus ngomong apa. Ini emang terlalu mendadak, tapi disini aku gak menawarkan sesuatu atau maksa kamu, I just confessed my feelings."
Tiffany mendadak menahan nafasnya sebentar, lalu menghelanya dengan pelan. Ia menatap keluar jendela ketika Fahry terus berbicara.
"Ternyata kamu begitu populer, emang yang populer cocoknya sama yang populer."
Perkataan itu membuat Tiffany mengerutkan dahinya, ia menatap Fahry nanar. Laki-laki itu tertawa kemudian menggelengkan kepalanya, membuat Tiffany semakin tidak mengerti. "Kamu tau gak aku pernah berantem sama Lucky gara-gara dia pikir aku ngegantungin kamu. Cause he is love you."
Tiffany yang sedang menyeruput jus mangganya itu tersedak, dengan cepat Fahry memanggil pelayan untuk membawakannya air mineral.
"Are you okay?" tanya Fahry khawatir.
Perempuan itu mengangguk cepat, "it's okay."
Ia benar-benar tidak mengetahui kalau Lucky menyukainya. Ia dan Lucky tidak begitu dekat, justru mereka lebih sering bertengkar karena Lucky sering mengomel ketika Tiffany salah melafalkan namanya. Ah! Bagaimana besok? Ia tahu Lucky menyukainya, apa itu akan membuatnya canggung?
"Ini, minum air putih dulu." Fahry menyodorkan segelas air mineral. Tiffany meneguknya. "Thanks Kak."
"Aku gak tau sama sekali kalo Lucky suka sama aku," kata Tiffany sambil menunduk malu, ia menutup wajahnya. Membuat Fahry gemas, ingin menariknya ke dalam pelukan. Astaga.
"Dia emang pintar nyembunyiin perasaan." Betul, persis seperti Kakaknya. "Sebenernya itu juga alesan aku nahan buat gak ngajak kamu pacaran, karena-" Ia meringis, "kita menyukai orang yang sama, walaupun dia desak aku buat ngajak kamu pacaran karena gak mau liat kamu digantung, aku tetep gak bisa."
"Lalu akhir-akhir ini aku liat kamu deket sama David. Aku liat kamu berhasil runtuhin es dan dinding itu."
"Es apa? Aku gak pernah runtuhin dinding siapa-siapa kak," ucapnya dengan serius.
Fahry tidak bisa menahan tawanya, astaga benar-benar gemas sekali tidak tahan lagi melihat kelemotan Tiffany. Ia mengacak rambut Tiffany yang membuat perempuan itu terdiam sambil membuka mulutnya.
"Astaga, aku pikir kalian cocok. Mungkin kalo orang itu dia aku gak masalah, karena dia bisa selalu 24/7 sama kamu." Fahry menghela nafasnya pelan, ia meneguk es lemonnya yang sudah mulai tidak dingin.
"Ramennya sambil dimakan Fan." Ia melihat ramen milik Tiffany yang sudah mulai mengembang.
Menyadari hal itu Tiffany tertawa walaupun ia sebenarnya masih bingung dengan perkataan Fahry. Sedangkan Fahry ikut menyantap ramennya, tidak melanjutkan pembicaraannya.
Kini pikiran Tiffany yang mulai mengandai-andai. Andai waktu itu ketika ia benar-benar menyatakan perasaannya dalam permainan truth or dare kepada Fahry. Apakah akan jadi seperti ini? Ia menghela nafasnya kasar. Tapi ini bukan perasaan menyesal, ini perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan dan tidak bisa ia jelaskan kepada siapapun.
Tak lama ramen mereka habis, dan hari pun mulai memasuki sore.
Fahry meneguk minuman terakhirnya. "Aku cuma mau confess itu, gak minta kamu jawab iya atau tidak. Biar aku tenang aja nanti pas pergi ke UK. Selama ini cinta kamu gak bertepuk sebelah tangan kok, akunya aja yang terlalu banyak menunda sampai akhirnya terlambat." Ia meringis ketika kembali mengingat Tiffany satu-satunya orang yang ia tahu bisa memunculkan tawa di wajah David.
Laki-laki itu mengusap puncak kepala Tiffany lembut. Matanya benar-benar terpancarkan ketulusan. Ia benar-benar hebat selama ini bisa menyembunyikan perasaan itu.
"Tiffany?" Tiba-tiba seseorang menyapa Tiffany di dekat mejanya.
Ia dan Fahry mendongak melihat siapa yang datang menyapa.
"Loh? Richard?" Tiffany terkejut melihat ketua kelasnya itu muncul tiba-tiba.
"Rumahku deket sini," katanya. "Loh? Inikan Kakaknya Lucky? Aku pikir kamu sama Kak Ice."
Ice? Fahry langsung menyapu pandangannya ke sekitar cafe, sampai melihat keluar jendela. Ia tahu siapa yang dimaksud Richard. Ia juga tahu kalau Richard ketua kelas juga anak basket di SMP nya, pasti ia mengenal David dengan jelas karena David juga ketua kelas dan ketua basket di SMA nya. Semua ketua kelas di yayasan itu sering dikumpulkan bersama ketika yayasan akan melakukan suatu kegiatan bersama.
"Kak Ice? Who?" tanya Tiffany bingung.
Richard mengerutkan dahinya, ia heran kenapa Tiffany tidak tahu julukan yang semua siswa di yayasan itu ketahui. "Tadi aku ketemu sama Kak Ice di toilet, aku pikir dia sama kamu."
Fahry membulatkan matanya. Sedangkan Tiffany semakin mempertebal kerutan alisnya.
"Richard, your order!" seru temannya yang tengah berdiri di depan kasir.
"Ah, aku duluan ya," ujar Richard yang kemudian melengos pergi.
"Siapa lagi Kak Ice? Richard absurd banget dimana-mana," gumam Tiffany.
