Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5 : Perempuan Pertama

Melihat Tiffany menunduk dengan rambut yang menutupi wajahnya, David menyelipkan rambut perempuan itu ke belakang telinga. Kaca mata yang berembun, dan hidung yang memerah. Semua tahu perempuan itu tengah menangis. David tidak tahu apa penyebab Tiffany menangis, tapi ia tidak mau melihat Tiffany menahan air matanya. Biarkan perempuan itu menangis di depannya.

Tangan besar itu mengusap puncak kepala Tiffany, ia tidak tahu harus melakukan apa atau bertanya seperti apa? Ini kali pertamanya melihat perempuan menangis, selain Ibunya.

Sadar David mengusap rambutnya lembut, ia menatap David dengan kaca mata yang membuat bola matanya tak terlihat. David melepas kaca mata itu, lalu bertanya. "Kenapa?"

Tiffany tidak mungkin menjawab jujur bahwa dirinya menangis karena cinta pertamanya akan pergi melanjutkan pendidikan ke luar negri. Lalu ia harus menjawab apa? Kelilipan? Menangisi soal latihan ujian yang ia kerjakan hari ini?

Tidak ada yang masuk akal, yasudahlah lebih baik tidak menjawab. Ia memalingkan wajahnya dari tatapan David. Sampai akhirnya mereka saling diam sampai hujan tidak bersuara lagi dan hilang.

"Masih mau menangis? Atau pulang ke rumah?" tanya David yang membuat Tiffany mengerutkan dahinya.

Ini pertanyaan terpanjang yang terlontar dari David setelah beberapa lama mereka dekat. Itu membuat dirinya tersenyum tipis tanpa sadar.

"Tidak ingin menangis, juga tidak ingin pulang ke rumah," jawab Tiffany dengan nada suara khas seperti orang yang habis menangis.

Mendengar itu David menaikkan sebelah alisnya, "lalu?"

"Boleh aku ke rumah Kakak? Kalau aku pulang dengan mata sembab kayak gini, aku takut diintrogasi sama Kak Evan," katanya yang membuat laki-laki itu berpikir.

Ke rumahnya? Apa Tiffany tidak tahu kalau ia tidak tinggal bersama orang tuanya, alis tinggal sendiri? Apa Evan pernah cerita? Pasti Evan pernah cerita pikirnya.

"Yakin ke rumahku?" David meyakinkan Tiffany yang langsung dijawab anggukkan kepala oleh perempuan itu.

"Sebentar aja sampai kaca-kaca di mata Fany hilang," katanya yang membuat David ikut mengangguk pelan.

Baiklah, ia akan membawa Tiffany ke rumahnya. Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah David. Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah apartemen.

Tunggu, apartemen? Tiffany bingung ketika mereka kini sudah berada di lobi apartemen. Jadi, rumah David di apartemen?

Ia mengikuti langkah David yang masuk ke dalam sebuah lift, laki-laki itu memencet tombol 8, dan pintu lift tertutup. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift.

"Kak," panggilnya pelan sambil memegang ujung jaket yang dikenakan David.

Laki-laki itu menolehkan kepalanya. "Jadi rumah kakak di apartemen ini?" tanya Tiffany penasaran.

"Iya, aku gak punya rumah, punyanya apartemen," jawab David santai.

Tiffany menggaruk kepalanya sambil ber-oh-ria. Jadi selama ini David tinggal di apartemen. Tak perlu menunggu beberapa lama, mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu kamar. David mendial nomor sandi apartemennya. Dan pintu apartemen terbuka.

Mereka berdua masuk ke dalam sebuah apartemen yang tidak terlalu luas, hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. "Orang tua kakak, dimana?" tanya Tiffany tiba-tiba yang membuat David menautkan alisnya. Jadi ternyata Tiffany tidak tahu bahwa ia tinggal sendiri?

"Kenapa Kak?" tanya Tiffany bingung.

"Aku tinggal sendiri," jawab David sambil menggaruk lehernya dan mengalihkan pandangannya.

Astaga Tiffany jadi ikut mengalihkan tatapannya, ia tidak tahu kalau David tinggal sendiri. Berati sekarang ia hanya berdua dengan David di dalam apartemen? Sangat canggung. Atmosfer apartemen itu berubah menjadi sangat canggung. David menyuruh Tiffany duduk di sofa yang ada di depan televisi. Kemudian ia pergi ke dalam kamar untuk ganti pakaian. Setelah berganti pakaian, ia keluar menuju dapur untuk mengupas sebuah mangga.

"Mangga?" tanya Tiffany antusias yang membuat David hampir tekejut. Perempuan itu kini sudah berada di dapur, tepat duduk di hadapannya. Karena ia sedang mengupas mangga, ia jadi tidak tahu kapan perempuan itu datang dan duduk di hadapannya.

"Jangan bilang Kak David suka mangga?" David mengangguk pelan sambil terus mengupas mangganya.

"Astaga! Udah berapa banyak kesamaan kita?" Tiffany tersenyum lebar. Tanpa sadar sebenarnya matanya sudah tidak terlihat seperti habis menangis. Itu artinya setelah makan mangga ini, David akan mengantar perempuan itu pulang.

David membawa piring plastik berisi mangga itu ke sofa depan televisi, diekori Tiffany di belakangnya. Ia duduk sambil menyetel televisi, agar tidak terlalu canggung keadaannya. Karena ia tidak tahu harus apa saat ini. Ini pertama kalinya ia membawa seorang perempuan ke dalam apartemennya.

"Astaga! Banyak album day6! Kakak suka day6?" tanya Tiffany histeris ketika matanya melihat banyak album day6 tersusun rapih di rak samping televisi. Day6 adalah sebuah band asal Korea Selatan, yang Tiffany sukai.

"Jadi, siapa yang duluan?" David mengerutkan dahinya tidak mengerti pertanyaan Tiffany. "Kak Evan atau Kak David yang duluan suka day6? Aku suka band itu karena Kak Evan hampir tiap di rumah nyetel lagu itu mulu sampe aku hafal," ocehnya.

"Tanya Evan," jawaban singkat David yang membuat Tiffany mengerucutkan bibirnya.

Ia kembali duduk di samping David sambil mengunyah mangganya. Benar-benar keadaan semakin canggung, apalagi ketika semua mangga di piring habis dimakan oleh mereka. Tiba-tiba suara dering ponsel memecah keheningan. Itu suara ponsel David, ia segera menerima panggilan itu.

"Besok jadwal service motor jangan lupa," kata suara dibalik telpon. Sangat keras, sampai Tiffany yang berada di sampingnya dapat mendengar itu.

David menjauhkan ponsel itu dari telinganya, ia bergumam dan sambungan terputus. Apa itu? Singkat sekali, pikir Tiffany.

"Hm, besok motorku mau dibawa ke bengkel," ucap David tiba-tiba.

"Kenapa? Rusak?" tanya Tiffany khawatir. David menggelengkan kepalanya, "bukan, cuma pengecekan rutin setiap bulan."

Perempuan itu menganggukkan kepalanya pelan, "gakpapa, aku bisa bareng Kak Ev-"

"Kita bisa naik bus." Tiba-tiba David menyela ucapan Tiffany, membuat perempuan itu menautkan alisnya terkejut.

Ia berpikir sejenak, lalu tertawa pelan, "oke."

***

"Kak Evan udah berangkat dari pagi buta, katanya ada yang perlu diurus sebelum ke sekolah," kata Tiffany kepada David yang sedang menunggunya di depan pintu rumah.

Laki-laki itu mengangguk paham. "Kita berdua aja naik bus, gakpapa?" tanya Tiffany yang mendapat jawaban anggukan kepala lagi dari David.

"Oke! Let's go!" katanya semangat sambil berjalan keluar rumah dan mempercepat langkahnya menuju halte bus yang tidak jauh dari rumahnya.

Tidak perlu menunggu lama, karena bus dengan tujuan sekolah mereka kini sudah berada tepat di hadapan mereka. Setelah menempelkan kartu bus, keduanya langsung memilih kursi kosong yang kebetulan hanya tersisa dua dan tempatnya bersebelahan.

"Kak," panggil Tiffany yang melihat David mulai memasang headsetnya.

David menoleh, menatap wajah Tiffany yang pagi ini terlihat cerah. Tak lama ia segera memalingkan wajahnya dari wajah Tiffany.

"Kalo makan di rumah, Kakak pesan atau gimana?" tanya perempuan itu.

"Masak," jawab David singkat.

"Serius? Emangnya Kak David bisa masak?" tanya Tiffany penasaran dengan nada menggoda.

David menatap lurus mata Tiffany, "bisa, gak percaya?" tanyanya balik.

Tiffany mengangguk cepat. "Pulang sekolah ke apartemenku, nanti aku suguhin masakanku," kata David dengan sombong.

"Alah! Awas aja ya kalo gak enak," tawa Tiffany sambil mendorong pelan bahu laki-laki itu.

Laki-laki itu tidak menanggapi, hanya melihat lurus ke arah jendela di sebrangnya sambil sedikit mengangkat kedua ujung bibirnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel