Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 12 : I'm So Afraid

"Udah sarapan?" tanya Evan untuk kedua kalinya pada Tiffany.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, "belum."

Evan langsung berjalan menuju dapur, ia melihat David yang sedang berbicara di telpon. Laki-laki itu menyadari kehadiran Evan dan langsung menghampirinya.

Ia menepuk punggung Evan. "Gue disuruh pulang ke rumah, nanti kalau Tiffany demam lagi kabarin ya," katanya yang langsung bergegas pergi dengan motornya.

Evan yang tak sempat bertanya itu hanya menatap nanar kepergian laki-laki itu. Ia membawa semangkok bubur yang sudah disiapkan David di meja makan untuk Tiffany.

"Kak Davidnya mana? Katanya dia yang mau ambilin aku sarapan." Tiffany bertanya ketika melihat Evan berjalan memasuki kamarnya sambil membawa mangkok.

Laki-laki itu meletakkan mangkok itu di atas nakas samping tempat tidur Tiffany.

"David pulang, dia ada keperluan."

"Kok dia bisa ada disini sepagi ini sih Kak?"

Evan duduk di tepi kasur. Ia menatap Tiffany sambil tersenyum. "Dia nginep disini."

Tiffany melebarkan matanya tak percaya. "Ngapain?"

"Katanya jagain pacarnya yang sakit."

Ucapan itu membuat Tiffany mengedipkan matanya beberapa kali kemudian menutup wajahnya dengan telapak tangan, ia tak habis pikir kenapa David bisa berkata seperti itu kepada Evan. Jadi Evan sudah tahu bahwa mereka berpacaran?

***

David berjalan menghampiri meja makan yang sudah diisi oleh orang tua dan adiknya. Ia menduduki kursi yang berhadapan dengan Ayahnya.

"Kamu kalo gak di telpon gak mungkin pulang ke rumah kan? Kamu tau kita pulang ke Indonesia tapi kamu sama sekali gak nanya kabar, bahkan gak mampir kesini. Ayah sengaja gak ngehubungi kamu biar kamu sadar diri. Ternyata beneran gak datang," ucap Ayah memulai pembicaraan.

"Aku ada hal yang lebih penting semalam," jawab David.

Ayah menyeringai, "hal penting apa itu dibanding keluarga?"

David memutar bola matanya malas. Pertanyaan itu yang seharusnya keluar dari mulutnya beberapa tahun yang lalu ketika Ayahnya tega meninggalkan dia berdua dengan almarhum adiknya di rumah.

"Kita mutusin buat menetap di Indonesia lagi, karena proyek di Prancis sudah selesai. Adikmu juga nanti akan sekolah di SMA kamu."

Ia tidak tertarik dengan topik pembahasan tentang keluarganya. Ia hanya akan makan bersama kemudian pulang ke apartemen.

"Kamu harus cepat berkemas, biar Ayah bisa cepat carikan apartemen di New York yang dekat kampus."

David menggelengkan kepalanya. "Aku gak mau."

Pria parubaya itu membulatkan matanya, "gak mau apa maksudmu?"

"Gak mau kuliah di New York," katanya dengan tegas.

Semua menatapnya dengan kerutan di dahi.

"Kenapa gak mau Dave?" tanya Ibu dengan lembut.

"Aku mau kuliah di Indonesia aja," jawab laki-laki itu.

Ayah meletakkan sendok di atas meja makan dengan kencang. "Apa maksudmu mau kuliah di Indonesia aja? Beasiswanya gak diambil gitu? Memang kamu pikir semua bisa seenaknya saja, hah?" Ayah membentaknya.

David menghela nafasnya, ia menunduk. Tidak tahu harus memberikan alasan apa kepada orang tuanya. Tapi ia benar-benar tidak mau kuliah di sana. Ia ingin tinggal disini bersama Tiffany.

"Pokoknya apapun alasannya, Ayah gak setuju kamu gak ambil beasiswa di New York!" Ayah pergi meninggalkan meja makan menaiki lantai atas rumahnya.

David diam tak bersuara. Pikirannya saat ini benar-benar tidak karuan.

"Brother, you can tell me anything." Nial mengusap lengan Kakaknya itu.

David memijat dahinya. Ia benar-benar pusing.

"I don't wanna go there," ucap David sambil memejamkan matanya.

Ibu menghela nafasnya dan pergi menyusul Ayah.

"Why? Do you know how many people are competing for the scholarship with you? Bukan belasan atau puluhan orang, tapi ratusan orang, Kak. Dari berbagai sekolah." Nial menopang dagunya menatap David.

David menatap kosong makanan yang ada di piringnya.

"Dari ratusan orang, cuma you satu-satunya yang terpilih. That's mean, you're the best. Bayangin berapa orang yang kecewa waktu tau dia gak seberuntung itu buat masuk CU? Bahkan bisa jadi ada yang sampai sakit karena keinginannya tidak terpenuhi?"

Tiba-tiba terlintas wajah Tiffany yang sampai demam karena memikirkan dirinya yang tidak dapat masuk ke dalam sekolah unggulan.

"So, for a while whatever your reason. Please don't waste this opportunity."

Nial menepuk punggung kakaknya itu, lalu membawa piringnya yang sudah kosong ke wastafel.

***

"Gimana?" tanya Evan sambil memberinya sekaleng soda.

David menggelengkan kepalanya. Lalu menyeringai, "lo sih gila, mana ada orang tua yang ngasih izin?"

"Apa sebegitu susahnya mau dapet beasiswa di CU?" David bertanya menatap Evan yang langsung mendapat tatapan horror dari laki-laki itu.

"Lol! Lo terlahir pinter sih, belum pernah ngerasain jadi orang yang kesusahan waktu jawab soal tes ya?" Evan membuka kaleng sodanya. "Jadi, jangan buat kesempatan emas karena Tiffany."

Evan menatap serius sahabatnya itu. "Gimana kecewanya adek gue kalau tau lo batalin beasiswa cuma karena pengen jagain dia?"

"Dia juga lagi marah sama gue karena gue gak bilang sama dia kalo mau kuliah di New York."

Evan menghela nafasnya, "Mending sekarang lo ajak adek gue keluar buat ngomong berdua. Gue yakin kok adek gue pasti bisa nerima itu," bisiknya, "she's so strong woman."

Benar, itu ide yang bagus. Ia akan melakukan itu. Meminta Tiffany untuk mengikutinya menuju taman dekat apartemennya yang terdapat ayunan disana.

Awalnya mereka saling diam, karena sepertinya Tiffany tahu apa yang akan dibicarakan David. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

"Fany," panggil David.

"Hm?" Tiffany menoleh dengan senyuman di wajahnya. Berusaha terlihat senang padahal hatinya sangat teriris.

"I'm so afraid," ucap David pelan.

Tiffany membelalakkan matanya, jantungnya berdegup cepat. Kenapa kalimat pertama yang diucapkan David adalah kalimat itu?

"Why?" tanya Tiffany menatap ke dalam mata laki-laki itu.

"Cause." Ia memasangankan sebelah headset bluetooth ke telinga Tiffany, dan sebelahnya lagi ke telinganya.

Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, dan memutar sebuah lagu. Namun lagu itu tidak dimulai dari awal.

nareul bomyeo useneun i sunganjocha

nareul algi jeonui ne siganboda

haengbokhage haejuji moshal geot gataseo

I'm so afraid

I'm so afraid

nacheoreom dwae beorilkka

noheul sudo jabeul sudo eopseo

Ini lagu day6 judulnya Afraid, Tiffany tahu itu. Tapi ia tidak tahu persis arti liriknya.

David menghentikan lagunya. Tiffany menunggu laki-laki itu melanjutkan perkataannya, namun David tidak kunjung bicara. Akhirnya ia membuka ponselnya sendiri dan mencari tahu arti dari lirik itu.

bahkan saat kau tersenyum padaku

rasanya seperti aku tak akan bisa membuatmu

lebih bahagia dari sebelum kau mengenalku

aku sangat takut

aku sangat takut

kau akan menjadi seperti aku

aku tidak bisa melepasmu atau menangkapmu

Tiffany langsung berdiri dan mendekap David ke dalam pelukannya.

"Don't be afraid," katanya memeluk erat David.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel