Chapter 11 : Izinkan Aku Menjaganya
Dengan kecepatan tinggi David mengendarai motornya membelah jalanan malam Ibukota. Ia benar-benar cemas mendengar Tiffany demam. Ia tahu Tiffany marah padanya, tapi perempuan itu tidak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan semua.
Beberapa lama kemudian ia sampai di rumah Evan. Dengan cepat ia mengetuk pintu rumah itu.
"Mas David?" Bi Ani terkejut melihat David yang datang tengah malam dengan wajah gusar.
"Tiffany dimana Bi?" tanyanya.
"Ada di kamarnya Mas," jawab Bi Ani.
David mengangguk dan segera berlari menuju kamar Tiffany. Pintu kamarnya terbuka. Ia melihat ada Evan yang sedang mengompres dahi Tiffany yang sedang memejamkan matanya. Tanpa ragu ia mengetuk pintu kamar dan melangkah masuk.
"Dave? Ngapain lo disini?" tanya Evan bingung, ia melihat jam yang menempel pada dinding kamar Tiffany. Pukul setengah 12 malam.
David menatap sendu Tiffany dengan nafas yang terengah-engah.
Evan mengikuti arah tatapan David. Ia bingung kenapa David datang ke rumahnya sekarang, dan juga bingung kenapa David menatap Tiffany dengan tatapan sekhawatir itu. Evan berdiri dan memegang bahu David yang masih naik turun mengatur nafasnya.
"Ada apa?" tanya Evan.
David menarik lengan Evan menuju balkon kamar Tiffany.
"Berapa suhunya?" tanya David dengan wajah serius.
"39," jawab Evan.
"Kenapa gak dibawa ke rumah sakit?" tanya David sambil mengerutkan dahi, ia juga menggigit bibir bawahnya.
Untuk pertama kalinya Evan melihat David bersikap seperti ini.
"Dia gak mau. Dia udah minum obat, sekarang biarin istirahat dulu. Kalo besok pagi masih panas baru dibawa ke rumah sakit," kata Evan dengan tenang.
David meremas kedua bahu Evan sambil menatapnya serius. "Kalau nanti tengah malam dia semakin panas gimana?" tanyanya.
Evan menyernyit bingung. "Lo kenapa sih? Dia adik gue, ini bukan pertama kalinya dia demam. Kenapa lo sekhawatir ini?" tanya Evan menyelidik.
David melepaskan tangannya dari bahu Evan. Ia menghela nafas berkali-kali, lalu menatap lurus langit yang tidak ada bintang. Ia memijat dahinya. Kejadian masa lalu benar-benar membuatnya sangat takut, sampai-sampai ia memilih untuk tinggal sendiri.
Ketika ia tinggal di Prancis, ia memiliki seorang adik perempuan kecil yang berusia dua tahun. Adik kandung yang dilahirkan Ibunya sebelum meninggal. Suatu hari ketika ia sedang menjaga adiknya, adiknya terserang step, kejang dan demam tinggi.
Saat itu di rumah hanya ada dia dan adiknya. Ayahnya tengah bersama calon Ibu barunya dan belum pulang. Ia benar-benar bingung harus melakukan apa. Akhirnya ia membawa adiknya ke sebuah klinik yang paling dekat dengan rumahnya. Namun takdir sudah digariskan, adiknya meninggal tepat ketika ia sampai di klinik.
Sejak saat itu ia sangat ketakutan. Ia takut kehilangan wanita yang dicintainya lagi, karena sudah dua wanita yang dicintainya meninggalkan dia. Ia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri. Karena dulu Ibunya meninggal setelah berhasil melahirkan adiknya, ia sangat menginginkan adik. Lalu adiknya meninggal karena ia tidak menjaganya dengan baik, dan juga tidak cekatan.
"Van," panggil David pelan.
Evan bergumam sambil menatapnya nanar.
"Izinin gue jaga Fany." Laki-laki itu menatap serius wajah Evan.
Evan mengerutkan dahinya. "Maksud lo?"
"I want to take care of her, and stay with her," ucap David yang langsung membuat Evan menyeringai.
"Alasannya?"
"Cause, I love your sister."
Evan membulatkan matanya, ia benar-benar terkejut rasanya sampai ingin teriak kencang. "What?"
David menatap serius laki-laki itu. "I'm promise."
Evan memijat dahinya lalu melipat kedua lengannya di depan dada. "Sejak kapan Dave?"
"Entah." David memegang kepalanya.
Ia tidak mengerti kenapa ia bisa berkata seperti itu kepada Evan. Pasti Evan menganggapnya lelucon.
"Stay with her gimana? Orang lo aja mau ke Coloumbia."
David menggelengkan kepalanya cepat. Ia sudah memikirkannya berkali-kali hari ini. Ia yakin keputusannya sangat tepat, "gue gak ambil beasiswanya."
"HAH? GILA LO?" Evan mengguncangkan bahu David.
12 tahun ia mengenal David, tapi masih saja tidak tahu jalan pikiran laki-laki itu.
"Makanya izinin gue buat jaga Fany biar pengorbanan gue buang itu beasiswa gak sia-sia."
"Lo gila sih Dave, lo tau gak berapa banyak orang yang pengen ikut beasiswa itu? Terus selain itu lo mikir gak gimana orang tua lo? Orang-orang taunya lo dapet beasiswa di Coloumbia."
David menghela nafasnya, "ngapain peduli sama orang-orang? It's my life. Masalah orang tua nanti gue jelasin ke mereka."
"Lo ngelepas beasiswa karena adek gue? Terus lo mau kuliah dimana Dave?" tanya Evan khawatir.
"Gue bisa ikut tes mandiri di Universitas negri lain di Jabodetabek."
Evan menggelengkan kepalanya tak percaya, entah sudah berapa kali ia menggelengkan kepalanya malam ini. Benar-benar laki-laki yang penuh kejutan dan keajaiban. Sepertinya otaknya David memang berbeda dengan kebanyakan manusia.
Semua benar-benar tidak terduga, seorang laki-laki yang juga sahabatnya sejak kecil menyatakan perasaan suka terhadap adiknya kepadanya. Melepas kesempatan emas yang didambakan semua orang. Pantas saja menjelang kelulusan David telihat dekat dengan Tiffany. Ia baru menyadari hal itu.
***
Suara ketukan pintu membangunkannya dari tidur. Ia membuka mata dan memegang dahinya. Semalam ia ingat tubuhnya demam dan Evan memberinya kompres.
"Masuk aja Bi," kata Tiffany dengan suara yang masih lemas.
Pintu terbuka, tapi bukan Bi Ani yang masuk, melainkan David. Laki-laki yang sedang ia hindari.
"Kak Dave?"
Ia mengucek matanya, lalu menatap nanar David.
"Astaga baru demam semalam aja udah haluin Kak David," katanya sambil mengembungkan pipi.
David berjalan menghampiri Tiffany yang masih terbaring di kasur sambil membawakan air mineral.
"Pagi," sapa laki-laki itu.
Benar-benar mimpi pikirnya, ia melirik jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul 6. Masih pagi udah disapa David, hanya di dalam mimpi David menyapanya.
David memegangi gelas berisi air mineral untuk diminum Tiffany. Tiffany mengangkat tubuhnya kemudian meneguk air itu. David meletakkan gelas itu di atas nakas, lalu meletakkan telapak tangannya pada dahi Tiffany.
"Masih demam?" tanya laki-laki itu kepada Tiffany yang tengah mematung dengan wajah memerah. Ia masih mencerna kejadian barusan.
Mimpi ini terlalu indah untuk disadarkan.
"Ng-enggak kok, udah mendingan." Tiffany merapihkan rambutnya dan memegang pipinya.
"Tapi mukamu merah."
Perempuan itu membulatkan matanya, "ini bukan demam," katanya sambil menarik selimut sampai menutupi wajahnya.
"Kamu istirahat aja hari ini, jangan mandi dulu takutnya demamnya muncul lagi. Aku keluar dulu ambil sarapan buat kamu," ucap David, kemudian ia mengusap puncak kepala Tiffany yang sedang mengumpat di balik selimut.
Tiffany berkali-kali mencubiti dirinya sendiri, bahkan sampai menampar kecil pipinya. Kalau ini benar-benar mimpi, kenapa ia memimpikan David yang bersikap manis? Apa karena David akan pergi meninggalkannya?
Ia memejamkan matanya.
"Dek, kamu udah sarapan?" Evan tiba-tiba masuk ke dalam kamar Tiffany membuat perempuan itu melonjak kaget.
"Hm? Kak Evan emang ada Kak David?" Bukannya menjawab ia justru menanyakan hal lain.
"Iya."
Tiffany menyingkirkan selimut dari wajahnya, "serius? Astaga!!!" Ini bukan mimpinya.
