PART 2
“Maduuu... Shafff... Kalian di mana, Sayang?”
Anjeli mencari kedua anaknya ke seluruh bagian rumah yang tak bersekat sama sekali itu dan ia sama sekali tak menemukan Madu dan Shaf di sana.
Sejauh mata memandang, seluruh isi rumahnya bahkan sudah sangat berantakan. Seperti sedang terjadi sebuah perampokan karena seluruh kasur, piring, gelas hingga beberapa kendi yang terbuat dari tembikar—tempat yang biasa Anjeli pakai mengambil air dari sumur—pun pecah berhamburan ke lantai tanah rumahnya.
“Maduuu...! Shafff...!” teriak Anjeli ketakutan.
Tentu saja tubuh ibu dua anak itu seketika roboh dan terduduk ke lantai tanah, sebab kepanikan tengah melanda dirinya saat ini. Ia menangis tergugu dengan kepala merunduk, sembari terus saja histeris memanggil anaknya seperti orang tak waras.
“Anjeli!” hingga tak sadar jika seseorang sudah masuk ke dalam rumah dan menyentuh pundaknya.
“Bibi Mithu! Madu, Bi! Ma..madu dan Shaf tidak ada di sini. Hiks... Pasti—”
“Kau harus kuat, Anjeli. Maafkan Bibi yang tidak bisa menahan mereka berdua dari ulah jahat Tuan Manoj Pratab Singh. Ia membawa Madu dan Shaf karena katanya kau sudah sangat banyak berhutang dan ia juga sudah tak biasa memberimu waktu untuk melunasinya,” terang Bibi Mithu mengeluarkan air mata, karena memang selama ini ia sangat tahu bagaimana kehidupan pasangan Rajesh dan Anjeli di Mumbai.
Akan tetapi Anjeli tak bisa berhenti menangis, “Apa yang harus aku lakukan, Bibi? Aku tak punya sesuatu lagi sekarang ini, hiks,” karena memang ia sangat tak berdaya untuk melawan seorang Manoj Pratab Singh.
“Lakukan sesuatu, Anjeli. Lakukan sesuatu agar mereka dapat kembali kemari. Ini ambil gelangku, Anjeli. Ambil dan cicil utangmu dulu, jika si lintah darat itu memberimu kesempatan. Mintalah waktu padanya dan aku janji akan membantu untuk melunasi semua hutangmu,” ucap Bibi Mithu, dan kedua wanita itu menangis sesenggukan sembari berpelukan erat.
Selama ini, Mithu sudah menganggap Anjeli adalah anaknya, sebab ia sama sekali tidak memiliki keturunan dan begitu pula sebaliknya. Anjeli dan Rajesh juga sudah menganggap Bibi Mithu sebagai pengganti kedua orang tua mereka yang telah lama tiada, bahkan jika mereka merasa sudah sangat berhutang budi pada wanita paruh baya itu.
Anjeli masih berpelukan dengan sang Bibi, namun seseorang tiba-tiba saja datang dan membuat mereka terkejut.
“Bibi Anjeliii... Bibi Anjeliii...! Kau harus segera ke Rumah Sakit sekarang, Bibi Anjeli! Dokter Kanna mencarimu di depan gang sana! Katanya Paman Rajesh sudah sadar dan butuh persetujuanmu untuk di bawa ke New Delhi, Bi!” teriak Badran, anak tetangga yang orang tuanya sering mengajak Anjeli membantu mereka memerah susu sapi.
Ia berlari kencang ke rumah kecil Anjeli dan dengan sedikit terengah, berita buruk tentang Rajesh Kapoor pun disampaikan langsung pada Anjeli.
“Badran! Benarkah itu?” tanya Anjeli melepas pelukannya.
Badran yang masih terengah pun menjawab pertanyaan Anjeli, dan sekali lagi ia mengatakan bahwa dokter wanita yang selama ini menjadi satu-satu dokter spesialis penyakit kanker yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Mumbai—Kanna Maholtra—sudah menjemputnya di ujung gang.
“Bibi bekerja membantu istri keenam Tuan Manoj, bukan? Tolong sampai pada Nyonya Sheva untuk melihat bagaimana kondisi Madu dan Shaf ya, Bi?” mohon Anjeli memegang erat kedua tangan Bibi Mithu, “Dia sahabatku sama seperti Dokter Kanna Maholtra. Jadi katakan saja sejujurnya pada Nyonya Sheva tentang apa yang aku alami. Karena aku yakin, meskipun ia tak dapat menolong untuk membebaskan Madu dan Shaf, tapi paling tidak kita tahu bagaimana kondisi mereka saat ini. Aku pergi dulu, Bi. Terima kasih atas gelangmu ini. Aku tak tahu harus berkata apalagi karena selalu menyusahkan Bibi,” lanjut Anjeli dengan derai air matanya.
“Pergilah, Anjeli. Lihat kondisi Raj saat ini seperti apa. Ingatlah! Dewa Brahma tidak akan tinggal diam, Nak. Kau hanya perlu berusaha sebisa mungkin dan jangan lakukan sesuatu yang menodai statusmu sebagai seorang Isteri, meski Rajesh tak bisa memberi kau sebuah kemewahan.”
“Aku janji, Bi. Aku tak pernah lupa akan hal itu.”
