Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 5

“Ini... tempat apa sih?” bisik Acha pelan, mengusap embun dari kacamatanya yang mengembun akibat udara dingin. Matanya menatap ke sekeliling: dinding putih, pencahayaan tanpa sumber, lorong-lorong tak berujung yang membentuk labirin steril.

“Kalau neraka punya wifi super cepat, mungkin beginilah bentuknya,” gumam Rere, bersedekap. Jaket hoodie abu-abunya terlihat kontras di antara dinding berkilau seperti kamar operasi.

Langkah kaki Aries menggema. Ia berdiri tegap seperti biasa, tapi ada ketegangan samar di rahangnya. “Bukan tempat main. Pasti tempat rahasia kelas berat.”

Lee Soo tidak menjawab. Ia hanya menunduk menatap lantai, telunjuknya menyapu dinding seolah mencari celah, kode, pola—apa saja. Matanya tajam, penuh kalkulasi. Tapi sesekali ia mencuri pandang ke arah Acha yang terlihat sibuk dengan ponselnya meski tak ada sinyal.

Lalu... dia muncul.

Bayangan itu datang seolah tercetak dari dinding. Seorang pria—rambut abu tipis, tubuh tegap namun tanpa kesan militer, wajah seperti lupa bagaimana caranya tersenyum.

“Selamat datang,” katanya. Suaranya tenang, nyaris terlalu tenang. “Saya tidak penting. Tapi apa yang akan kalian dengar—sangat penting.”

Rere melipat tangan. “Klasik. Misterius, dingin, tanpa nama. Nggak ada yang lebih orisinal?”

“Rere,” bisik Aries, memperingatkan.

“Dia muncul dari tembok, Re. Tembok. Kau tidak merasa itu... aneh?”

Pria itu hanya menatap mereka dengan sorot mata kosong—bukan karena tidak peduli, tapi seperti ia pernah melihat terlalu banyak hingga kehilangan kemampuan untuk terkejut.

Tanpa aba-aba, layar-layar besar menyala. Data mengalir seperti hujan meteor: rekaman dari kejadian di Zurashka, grafik, nama-nama tokoh dunia. Ada wajah presiden, CEO, jurnalis terkenal. Ada rekaman mereka—berlari di tengah kabut, menyelamatkan puluhan orang.

“Dunia... tidak seperti yang kalian pikirkan,” katanya pelan. “Apa yang kalian lihat kemarin bukan kebetulan. Itu tes. Dan kalian... lulus.”

Hening.

Lee Soo mengernyit. “Kenapa kami? Banyak yang lebih hebat.”

“Karena kalian tidak hanya pintar. Kalian bertindak. Bahkan saat sistem mati. Saat kabut turun. Kalian bergerak.”

Acha menatap layar, lalu menoleh pada yang lain. “Oke, jadi... ini semacam perekrutan rahasia?”

“Lebih dari itu,” kata si pria. “Kalian ditawari pilihan.”

Ia menjentikkan jarinya. Sebuah gambar muncul: kehidupan normal. Kelas. Teman. Ujian. Rumah. Rere tertawa pelan.

“Jadi... kembali ke kehidupan ‘biasa’, dan pura-pura semua ini nggak pernah terjadi?”

“Ya. Kami bisa membuatnya nyata. Memori kalian tentang semua ini akan dikunci. Tak ada trauma, tak ada kecurigaan. Kalian bahkan tidak akan tahu kalian pernah berada di sini.”

Lee Soo melipat tangan. “Dan opsi lainnya?”

Gambar kedua muncul. Gelap. Tapi menarik. Latihan, misi, akses ke rahasia dunia.

“Jika kalian menerima tawaran ini, hidup kalian selesai. Nama kalian akan dihapus. Identitas baru. Pelatihan. Risiko. Tapi juga kekuasaan. Pengetahuan. Pengaruh.”

“Wow,” gumam Acha. “Kayak... Hogwarts versi gelap.”

“Lebih seperti... dunia yang tidak pernah diajarkan di sekolah.”

Aries mengambil satu langkah maju. “Tapi kenapa kami harus percaya? Siapa yang menjamin ini bukan manipulasi?”

Mata pria itu menatapnya tajam. “Tidak ada jaminan. Tidak ada kepercayaan. Hanya pilihan.”

Mereka semua terdiam.

Rere menoleh pada Acha. “Kalau aku pilih hidup normal, kamu masih mau ajak aku nongkrong?”

Acha tersenyum miring. “Selama kamu masih bisa traktir kopi, ya.”

Lee Soo melirik ke layar, lalu ke pria itu. “Kalau kita tolak, kalian tetap pantau kami?”

“Tidak,” jawabnya. “Kami hapus jejak kalian. Kalian jadi tak relevan.”

Acha bergumam, “Tuh kan, kayak mantan.”

Mereka semua tertawa kecil. Tawa pendek, canggung. Tapi cukup untuk mengendurkan suasana. Lalu Aries bicara, pelan.

“Aku... selama ini merasa kosong. Seolah hidupku cuma latihan, disiplin, protokol. Tapi kemarin, untuk pertama kali, aku merasa nyata.”

Lee Soo mengangguk. “Aku juga. Seolah dunia yang kupelajari... ternyata cuma permukaannya.”

“Dan aku,” kata Acha sambil mengusap kacamata. “Baru sadar bahwa semua algoritma yang kubuat... bisa sangat kecil dibanding realitas yang dikendalikan orang-orang seperti dia.”

Rere mengangkat tangan. “Jadi? Kita ikut? Atau kabur dan buka kedai ramen bareng di Thalverin?”

“Kalau ikut,” Lee Soo menyela, “minimal kita tahu siapa yang tarik tali di balik layar.”

Aries menatap satu per satu mereka. “Kita masuk bareng, keluar bareng.”

Pria itu memandang mereka lama. Lalu mengangguk. “Kalian sudah memilih.”

Pintu di belakang mereka terbuka. Bukan pintu baja. Tapi koridor panjang dengan cahaya hangat. Bukan putih. Tapi oranye keemasan. Seperti senja.

“Latihan dimulai sekarang.”

Mereka melangkah bersama.

Sementara itu, di ruang pengawasan...

Seorang wanita dengan jas abu-abu menatap layar. “Subjek berhasil menerima penawaran. Tak satu pun ragu lebih dari tiga menit.”

Pria di belakangnya menyipitkan mata. “Terlalu cepat.”

“Tidak,” kata si wanita. “Mereka bukan anak-anak biasa. Mereka... sudah menunggu seluruh hidup mereka untuk ini.”

Di luar kompleks, badai salju mulai naik. Tapi di dalam, empat langkah bergema dengan ritme baru.

“Eh... kamar ini beneran milik manusia, kan?” Rere berdiri kaku di depan pintu logam berlabel Unit Kinetik - Subjek A40. Tidak ada gagang. Hanya sensor retina yang menyala redup, seolah berkata: masuk kalau berani.

“Kalau bukan milik manusia, semoga bukan alien yang suka nyulik atlet,” gumamnya, mencoba tertawa. Tapi suaranya menggantung di udara beku.

Dinginnya markas Zorya seperti menembus lapisan kulit. Udara tipis dan steril, hampir tidak terasa seperti tempat tinggal. Tidak ada aroma makanan, tidak ada suara langkah lain, hanya suara mesin yang berdetak seperti detak jantung artifisial.

Rere mengusap lengannya yang merinding. “Oke, Rere. Napas. Masuk.”

Pintu terbuka otomatis. Ruangannya putih polos. Satu tempat tidur minimalis, satu layar besar menyala tanpa suara, dan rak kosong. Di ujung ruangan tergantung seragam hitam ketat seperti kostum film spionase. Dan helm. Helm sialan dengan wajah Rere dicetak hologram di sisinya.

“Jadi aku semacam... superhero ilegal?”

Ia melirik ke cermin. Rambutnya yang diikat asal tampak mencuat ke mana-mana. Wajahnya sedikit pucat, tapi mata itu—mata petarung. Ia nyengir sendiri. “Keren juga. Walau... serem.”

Sementara itu, di sisi lain markas...

Acha duduk di kursi tanpa kaki—mengambang di udara. Di depannya, ribuan baris kode mengalir seperti sungai neon.

“Oke, satelit ini konek ke sistem pertahanan Arktik... tunggu, siapa yang naro minigame Tetris di tengah firewall?”

Ia menggeleng pelan. Jari-jarinya menari di udara. Tidak ada keyboard. Hanya sensor gerakan dan pikiran.

“Kayaknya otakku bakal kepanasan seminggu lagi,” gumamnya, lalu menoleh ke kanan. “Kalian yakin ini legal?”

AI pendampingnya, sebuah hologram berbentuk rubik bercahaya, menyala. “Legalitas tidak relevan dalam sistem tertutup, Subjek A39.”

Acha mendengus. “Oke, robot sarkastik.”

Di pojok ruangan, dia melihat tumpukan foto—siluet orang-orang penting dunia. Beberapa wajah dikenalnya. Beberapa tidak. Tapi satu menarik perhatiannya: wajahnya sendiri, dengan label “aktif”.

“Hah?” Ia menatap tajam. “Kenapa mukaku ada di briefing intelijen?”

'Apa mereka sudah atur ini jauh sebelum aku sadar? Sejak kapan aku jadi bagian dari rencana besar?'

Ia menggigit bibir bawah. Napasnya berat. Tapi alih-alih panik, ia... penasaran.

“Aku pengin tahu seberapa dalam kelinci ini lari.”

Sementara itu, Aries berdiri di tengah medan latihan. Langit-langit tinggi seperti stadion, tapi tertutup lapisan logam. Udara pengap. Tidak ada penonton, hanya kamera.

Lawan latihannya? Robot tempur humanoid—berat, cepat, tanpa ampun.

“Mulai simulasi,” katanya datar.

Robot pertama menyerbu. Aries menunduk, memutar tubuh, menyentuh tanah lalu melompat ke belakang musuh. Tinju keras menghantam leher robot, memutus kabel.

“Lemah,” gerutunya. “Tingkatkan level.”

Lima robot muncul bersamaan. Aries tersenyum miring. Matanya menyala. Tapi bukan karena ego. Ada kemarahan lama yang tak selesai.

"Kalau aku bisa hancurkan ini, aku bisa hancurkan siapa pun yang coba mainkan hidupku lagi."

Satu pukulan. Satu lemparan. Tubuh robot berguguran.

Instruktur yang mengawasi dari bilik kaca mengangguk. “Tingkat refleksnya naik 12 persen.”

“Emosinya?” tanya analis di sebelahnya.

“Stabil. Tapi... ia simpan dendam.”

Lee Soo duduk di ruangan kosong dengan cermin dua arah. Tak ada furnitur. Hanya satu kotak pakaian dan rias wajah, satu naskah skenario, dan satu kamera.

“Perintah?” tanyanya.

Speaker bersuara. “Peran hari ini: Jurnalis Thalverin. Nama: Theo Von Nocturnal. Akses ke istana. Tujuan: mendapatkan peta jaringan kabel komunikasi.”

Lee Soo mengangguk.

Ia berdiri, mengubah postur tubuhnya. Bahunya dinaikkan sedikit. Langkah kaki jadi ringan. Ia tersenyum—senyum malu-malu yang ramah.

Lalu ia bicara dengan aksen Thalverin sempurna, “Bonsoir, saya dari Veyrmund, saya dijadwalkan bertemu Kepala Komunikasi?”

Hanya dari raut wajah, siapa pun yang melihatnya percaya dia bukan Lee Soo.

Tapi dalam hatinya, ia berpikir "Apakah aku masih tahu siapa diriku sendiri?"

Malam tidak pernah datang di Zorya. Tapi jam biologis tetap memaksa tubuh lelah.

Di ruang makan berbentuk lingkaran, mereka akhirnya bertemu. Duduk saling berjauhan di meja metal panjang. Masing-masing dengan makanan instan berwarna abu-abu di nampan.

Rere menyeruput sup. “Ini rasanya kayak... bubur bekas printer.”

Acha terkekeh. “Atau lem tembok dengan bumbu MSG.”

Aries mengangkat alis. “Setidaknya kalian masih punya selera humor.”

Lee Soo hanya menatap sendoknya. “Makanan ini lebih jujur daripada kebanyakan manusia.”

Mereka semua diam.

Lalu, tawa kecil keluar dari mulut Rere. “Kita ini ya... gabungan hacker introvert, seniman misterius, pejuang militer, dan tukang lari di atap rumah.”

Acha menambahkan, “Bisa jadi sinetron judulnya Empat Orang di Ujung Dunia.”

Aries nyengir, akhirnya. “Atau Pasukan Gabut Elite.”

Lee Soo mendongak, lalu berkata pelan, “Tapi... mungkin kita memang dipilih karena kita aneh.”

Rere mengangkat gelas plastiknya. “Untuk keanehan!”

“Dan masa depan yang kita belum ngerti,” tambah Acha.

Keempatnya bersulang dengan gelas kosong.

Di balik kamera pengintai, seorang pengamat tersenyum tipis. “Mereka mulai terhubung. Progres emosional sesuai prediksi.”

Dan di layar lain, kata-kata muncul:

Phase Dua: Aktif. Target pertama: Kovenska

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel