Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 4

Langit Zurashka tetap kelabu, seperti wajah Aries saat ia membuka pintu kaca konferensi dan mencium aroma karpet mahal yang terlalu disemprot pewangi. Ia mengedarkan pandangan ke aula utama tinggi, penuh lampu gantung kristal, dan terlalu tenang.

“Apa tempat ini surga atau rumah sakit jiwa?” gumamnya pelan, menggenggam erat gagang koper sambil menarik napas tajam. Jaket militer kehijauannya kontras dengan setelan formal peserta lain. “Terlalu rapi. Pasti ada yang disembunyikan.”

Sementara itu, Acha duduk di kursi deretan tengah dengan laptop terbuka. Ia tidak peduli dengan jadwal konferensi di layar besar. Tangannya menari di atas keyboard, mencoba mengakses jaringan Wi-Fi yang katanya ‘khusus VIP’.

“Aneh,” bisiknya, menatap nama jaringan: INFINITY_GATE-01. “Siapa sih yang kasih nama kayak gitu? Kayak pintu ke neraka.”

Ia melirik sekeliling. Empat kamera CCTV tersembunyi di sudut plafon. Satu terlalu dekat dengan panggung. Yang ini bukan untuk keamanan biasa. Ia tahu.

Lalu, langkah ringan mendekat. Rere. Rambutnya dikuncir tinggi, raut wajahnya santai, tapi gerak tubuhnya seperti kucing hutan: awas, cepat, siap melompat. Ia berhenti di dekat Acha, menunduk sedikit dan mengangguk sopan.

“Kamu juga ngerasa… aneh sama tempat ini?” tanyanya.

Acha mendongak, terkejut karena suara itu datang begitu halus. “Definisi ‘aneh’ kau maksud… level hantu, jebakan, atau… kamera di celana?”

Rere terkekeh pelan. “Lebih ke… terlalu sempurna. Terlalu banyak mata.”

Acha menutup laptop perlahan. “Akhirnya! Seseorang yang waras.”

Dari jauh, Lee Soo mengamati interaksi mereka. Ia berdiri di dekat instalasi seni kaca, tangannya di saku mantel hitamnya. Wajahnya tenang, matanya tajam. Di tangannya, ia menggambar dengan pensil kecil di buku sketsanya bukan orang, tapi pola lantai ruangan.

“Empat kamera. Tiga pintu keluar. Dua orang berinteraksi. Satu bayangan aneh di belakang pilar barat,” pikirnya.

Ia mencoret pelan.

Aries melihat Lee Soo, lalu Rere dan Acha. Ia menyipitkan mata, lalu menyambar kursi di samping Acha dengan sedikit bunyi berdecit.

“Aku bisa duduk sini?” katanya, langsung tanpa basa-basi.

Acha mengangguk. “Tentu, kalau kau bukan robot ZIC.”

Aries menyeringai kaku. “Sayangnya bukan. Kalau iya, udah aku ledakin tempat ini dari tadi.”

Rere memiringkan kepala. “Kenapa kamu kelihatan kayak tahu sesuatu yang kami nggak tahu?”

Aries menatap lurus. “Karena mungkin aku emang tahu.”

Seketika, layar LED besar di depan mereka menyala. Seorang pria paruh baya, berjas biru gelap dan senyum dingin, muncul di layar.

“Selamat datang di Konferensi Internasional Remaja Berbakat,” katanya dengan nada terlalu sempurna. “Kami percaya kalian semua adalah masa depan dunia. Dan hari ini, kalian akan mengenal dunia... dari sisi lain.”

Acha mengerutkan alis. “Oke, itu udah mulai terdengar seperti film James Bond.”

Lee Soo mencoret layar pria itu dalam sketsanya. “Kalimat pembuka yang buruk. Terlalu klise.”

Lampu aula meredup. Para peserta lain mulai duduk dengan tenang, tapi keempat remaja itu saling bertukar pandang. Ada getaran yang sama dalam dada mereka: gelisah yang belum bisa didefinisikan.

Dari atas galeri, Ethan berdiri dengan setelan abu-abu dan wajah dingin mengamati mereka dari balik kaca satu arah. Ia mencatat sesuatu di tablet.

“Mereka mulai menyatu. Percikan itu ada,” gumamnya. “Dan mereka semua... menyadari sesuatu tidak beres. Lebih cepat dari perkiraan.”

Asisten di sampingnya, wanita muda berambut pendek, membisikkan, “Apa kita lanjutkan ke fase dua, Sir?”

Ethan menatap ke bawah lagi. “Belum. Biarkan mereka memilih sendiri. Kita hanya butuh... satu pemicu.”

Kembali di aula, seorang panitia berpakaian rapi mendekati mereka dengan nampan berisi kartu nama.

“Selamat datang. Mohon ambil identitas peserta dan silakan menuju ruang presentasi pertama,” katanya dengan senyum kaku.

Rere mengernyit. “Dia nggak pakai name tag?”

Aries mendekat sedikit, mencium sesuatu yang aneh dari jas pria itu. Parfum terlalu tajam, seperti ingin menutupi bau lain.

“Dia bukan panitia biasa.”

Acha mengambil kartu identitasnya, menatap chip kecil di dalamnya. “Ini bukan RFID biasa. Ini... pelacak?”

Lee Soo menyambar satu kartu, memotongnya dengan cepat menggunakan cutter mini dari sakunya.

Semua menatap.

“Aku cuma penasaran,” katanya ringan. “Dan ya... di dalamnya ada microtransmitter. ZIC style.”

Rere melipat tangan. “Oke. Jadi kita diundang ke konferensi pura-pura, diberikan ID yang bisa melacak kita, dan dijamu dengan croissant dan kopi hangat. Menyenangkan juga.”

Aries mendengus. “Dan kamu masih bisa bercanda?”

Acha berdiri. “Aku nggak tahu siapa yang undang kita. Tapi kalau ini ujian… kita udah tahu jawabannya.”

“Lawan balik?” tanya Rere.

“Belum. Amati dulu. Kita belum tahu siapa musuhnya,” jawab Aries cepat.

Sementara itu, dari atas galeri, Ethan menutup tablet dengan senyum kecil. “Mereka tahu.”

Asisten di sampingnya menelan ludah. “Apa itu... masalah?”

“Tidak.” Ethan menatap ke luar jendela, ke salju yang makin tebal. “Itu... awal dari segalanya.”

Di bawah sana, empat remaja itu berdiri berdampingan, belum sepenuhnya percaya satu sama lain. Tapi dalam satu ruangan yang penuh kebohongan, kebenaran justru mulai tumbuh.

Dan di tengah Zurashka yang beku, sejarah baru mulai ditulis oleh mereka yang bahkan belum tahu bahwa mereka sedang membentuknya.

“Zurashka selalu romantis ya… bahkan kabut pun dramatis,” gumam Acha setengah bercanda, jari-jarinya mencengkeram kuat gagang laptop saat salju berubah jadi selimut kabut pekat.

Tapi romantisme itu sekejap menguap. Kabut datang seperti tsunami udara dingin, cepat, dan menyesakkan.

“Aneh. Ini… bukan kabut biasa,” bisiknya, pupil matanya menyempit, refleks dari cahaya aula yang tiba-tiba padam. Satu per satu suara menghilang. Digantikan diam yang asing. Mati listrik?

"Jangan panik, Acha. Kalau ini simulasi... aku pasti bisa ngelacak pola..."

Acha menunduk, tangan gemetar kecil saat mengaktifkan alat kecil dari sakunya. Prototipe deteksi suhu dan tekanan. Layar menyala, menampilkan peta kasar aula.

“Gila, ada dua puluh titik panas… dan mereka semua ngumpul di sisi barat? Kenapa?” gumamnya cepat. Napasnya mulai pendek, bukan karena takut tapi terlalu banyak informasi yang harus diproses.

Sementara itu, di sisi lain aula...

“Ini jebakan,” bisik Rere pelan, nyaris tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri. Ia sudah berdiri di rel pipa vertikal, kakinya kokoh, seolah tubuhnya dilahirkan untuk memanjat.

Di bawah sana, kabut makin tebal. Tapi ingatannya bekerja cepat.

Tiga pintu keluar. Satu darurat. Dua utama. Kalau semua terkunci, satu-satunya jalur: atap.

Ia menarik napas dalam, lalu memencet tombol kecil di gelang tangannya. Peta gedung menyala samar di layar hologram mini. “Oke, jalur kanan aman. Tapi kenapa ventilasi bisa tertembus kabut secepat ini?”

“Maaf, konferensi macam apa yang nyediain atmosfer horor tanpa peringatan?” desisnya setengah geli.

Aries nyaris tidak bergerak. Ia berdiri seperti pilar di tengah kabut yang menderu masuk. Jaket militernya membungkus tubuh tegapnya, tapi matanya... itu yang bekerja paling keras. Ia melihat semuanya bayangan kabur orang-orang, gerakan liar, suara jerit pendek lalu lenyap.

“Tenang. Jangan dorong! Kalian lewat sini. SATU per SATU!” teriaknya sambil membentangkan kedua lengannya, menahan tubuh-tubuh panik yang nyaris jatuh.

Seorang gadis menangis sambil menarik-narik jaketnya. “Kita akan mati, kan? Ini serangan teroris, ya?!”

“Kalau iya, kamu harus hidup biar bisa ceritain ke cucumu nanti. Jalan. Sekarang!” jawabnya tegas, tapi matanya hangat.

Sementara itu, dari balik kabut, bayangan tipis bergerak nyaris tak kasatmata.

Lee Soo.

Tak ada suara dari langkahnya. Ia seperti kabut itu sendiri. Tapi otaknya berpikir lebih cepat dari siapa pun.

"Loop visual? Jadi... kita direkam... tapi ditipu?" pikirnya saat menyusup ke ruang kendali.

Tangannya langsung bekerja. Keyboard tua. Layar rusak sebagian. Tapi cukup. Ia menyalakan ulang sistem manual. Lampu darurat menyala satu per satu, berkedip merah.

"Bagus. Sekarang buka semua pintu darurat. Lock override, bypass kode utama... dan..."

Click.

Lampu ruang kendali padam.

“Ups,” bisiknya datar. “Kayaknya mereka tahu aku di sini.”

Pintu belakang ruang kendali berderit. Lee Soo menyelinap ke ventilasi sempit, menghilang tanpa jejak, membawa serta peta digital dalam ingatannya.

Di aula utama, perlahan kabut menyusut. Tapi bukan karena sistem pemanas. Bukan pula karena ventilasi bekerja. Kabut… menarik diri.

Dan saat itulah mereka. Acha, Rere, Aries, dan Lee Soo tanpa kesepakatan, tanpa sinyal, mulai bergerak ke tengah ruangan yang sama.

Mata mereka saling bertemu. Sekilas. Tak ada kata. Tapi ada pengakuan tak terucap: kita berbeda.

Acha mengedipkan mata. “Kita kayak girlband multi-nasional yang kebetulan nyasar ke film thriller.”

Rere terkekeh. “Sayangnya tanpa leader. Dan lighting yang buruk.”

“Pakaianku basah gara-gara sprinkler. Harusnya konferensi ini sedia handuk. Ini Zorya, bukan spa,” tambah Aries sambil memeras lengan jaket.

Lee Soo hanya mengangkat alis. “Kalian banyak ngomong.”

“Tunggu. Kalian semua... juga ‘merasa aneh’ dari awal, kan?” tanya Acha serius, suaranya menurun.

“Ya. Undangan ini terlalu... bersih,” jawab Rere. “Dan orang-orang itu terlalu ramah.”

Aries menatap mereka satu per satu. “Kalian diseleksi juga? Ujian itu... soal kode, sandi, sistem alarm... semua ternyata bukan ‘permainan pelatihan’ biasa, ya?”

Lee Soo menyelipkan tangan ke saku. “Bukan. Ini rekrutmen.”

Mereka semua terdiam.

“Pertanyaannya…” Acha memutar laptopnya. “Siapa yang rekrut kita? Dan buat apa?”

Di tempat lain.. markas ZIC, Velograd.

“Subjek A37, A38, A39, dan A40… berhasil mengatasi simulasi level 5 tanpa perintah langsung.”

Pria bersetelan hitam berdiri di balik layar monitor besar. “Reaksi mereka... jauh di atas ekspektasi. Tidak ada kepanikan. Hanya respons instingtif yang terlatih.”

“Siap naik ke tahap selanjutnya?”

Pria itu tidak menjawab. Ia menatap layar. Empat wajah remaja terpampang: fokus, cerdas, tangguh.

Kemudian ia tersenyum tipis. “Kita tidak rekrut mereka. Kita bangkitkan mereka."

Di aula Zurashka, suara sirene mulai terdengar di kejauhan. Ambulans. Polisi. Tapi bagi empat anak muda itu, suara itu hanya latar belakang.

“Kalian tahu kan... hidup kita bakal aneh setelah ini?” kata Acha.

“Sudah aneh dari awal,” jawab Rere.

Lee Soo mengangkat bahu. “Aku gak keberatan.”

Aries menarik napas panjang. “Kalau memang ini permainannya… mari kita mainkan.”

Mereka berdiri berjejer, mata menghadap ke pintu keluar yang kini terbuka lebar.

Dan dari luar, kabut yang tadinya padat… seolah menatap balik ke mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel