Episode 6
Langit Zorya menggantung rendah, abu-abu dan berat, seperti langit sendiri sedang menahan napas. Kabut melayang tebal di antara bangunan-bangunan tua yang retak dan dingin, membuat setiap sudut kota tampak seperti bagian dari lukisan mimpi buruk yang tak selesai.
Rere menggosok lengannya. “Kenapa kota ini kayak... dikutuk, ya?”
Acha, yang berdiri di sebelahnya dengan hoodie biru kelam menutupi sebagian wajahnya, menjawab pelan, “Mungkin emang dikutuk.”
Aries mendengus. “Kau percaya hal-hal mistis sekarang? Yang benar aja. Ini cuma kota penuh rahasia.”
“Dan trauma,” Lee Soo menambahkan datar, wajahnya nyaris tak terlihat di balik kabut. Suaranya terdengar seperti gumaman yang tersesat.
Kendaraan lapis baja yang mereka tumpangi berhenti tanpa suara. Tak ada sirene. Tak ada sambutan. Hanya suara desah rem dan desakan kabut dingin yang langsung menyusup masuk ke tulang ketika pintu terbuka.
Mereka turun satu per satu, sepatu mereka menjejak jalan batu yang basah dan licin. Tak ada yang bicara. Bahkan udara terasa menolak suara.
Wajah-wajah asing melintas cepat di kejauhan—penduduk kota yang berjalan terburu-buru dengan kepala tertunduk dan langkah penuh kecemasan. Satu ibu menarik tangan anaknya menjauh saat melihat mereka.
Aries mengangkat alis. “Mereka takut sama kita?”
“Bukan kita,” gumam Acha sambil memeriksa sekeliling. “Tempat ini.”
Pemandu mereka—pria berseragam sipil tanpa nama—tak bicara sepatah kata pun. Hanya memberi isyarat tangan agar mereka mengikuti. Gerakannya halus tapi tegas, seperti ia sudah terlalu sering memandu ke tempat yang tak ingin ia datangi lagi.
Tujuan mereka berdiri sunyi di tengah kabut: sebuah perpustakaan tua yang tampak seperti baru saja bangkit dari reruntuhan. Catnya mengelupas, jendela tertutup debu, dan pintu kayunya menggantung berat seperti akan roboh.
“Serius? Kita masuk ke situ?” Rere memiringkan kepala.
“Biasanya perpustakaan itu tempat yang... mengundang, gitu,” ujar Lee Soo, suaranya seperti menyentuh nada sarkasme pertama kalinya sejak mereka tiba.
“Zorya,” bisik Aries, “tidak pernah sesuai ekspektasi.”
Begitu mereka masuk, suhu langsung berubah. Hangat. Tapi tidak nyaman. Lebih seperti... ruangan yang tahu ia sedang diawasi.
Langkah mereka berderak pelan di atas lantai kayu yang ternyata mengandung sensor tekanan. Kamera mikro tersembunyi di antara ukiran buku tua di rak. Rere menyipitkan mata dan melirik sebuah novel usang berjudul The Hollow Surveillance.
“Ada ironi di sini, ya,” bisiknya. “Buku tentang pengawasan... di tempat penuh pengawasan.”
“Setiap dua meter ada sinyal blocker,” gumam Acha sambil menekan kacamata canggihnya. “Gila... ini labirin digital. Semuanya dikendalikan.”
Tiba-tiba, dinding di belakang rak bergerak perlahan. Suara logam tua berderit samar, mengungkap lorong rahasia yang melingkar ke bawah. Cahaya biru dari LED membentuk pola sirkuit di dinding batu.
Rere menelan ludah. “Oke. Sekarang ini mulai terasa... ‘Area 51’ vibes.”
Lorong itu menelan mereka dalam senyap. Tangga spiral seperti menurun tanpa akhir, menembus lapisan bumi yang semakin lembap dan dingin.
Sesampainya di bawah, mereka tiba di ruang utama—markas tersembunyi ZIC, Zorya. Tidak megah. Tidak glamor. Fungsional dan menekan. Lorong-lorong panjang terbagi menjadi sektor pelatihan, manipulasi informasi, dan pengamatan.
“Selamat datang di perut dunia,” gumam Aries, matanya menyapu ruangan yang dipenuhi layar digital berkedip.
Tiba-tiba, alarm lembut berbunyi. Pemandu mereka berhenti dan membagi mereka ke arah berbeda.
“Eh! Kita dipisah?” protes Rere.
Tak ada jawaban. Hanya isyarat. Dan pintu-pintu logam menutup cepat.
Rere masuk ke ruang pemeriksaan dengan wajah mengeras. Dinding logamnya bersih tapi bukan steril—seperti ruangan rumah sakit yang lupa cara menyambut manusia.
Petugas hanya memberi isyarat agar ia duduk di kursi tengah.
“Nama?” tanya suara netral dari speaker.
“Rere,” jawabnya kaku.
“Nama itu sudah tidak berlaku.”
Jantungnya melompat. “Terus... siapa saya?”
Suara itu diam sesaat, lalu berkata, “Subjek 04. Aset kinetik. Mulai sinkronisasi.”
Rere menggertakkan giginya. Di dalam kepalanya, suara ibunya menggelegar: "Jangan pernah kehilangan namamu, Rere. Itu satu-satunya yang dunia gak bisa ambil kalau kamu jaga baik-baik."
Dia mengepal. Kita lihat saja siapa yang akan kehilangan siapa di sini.
Acha duduk sendirian di dalam ruang gelap. Layar-layar di sekitarnya menyala, menampilkan deretan angka dan pola algoritma. Jari-jarinya otomatis bergerak, menguraikan teka-teki kode tanpa disuruh.
“Subjek 02 menunjukkan respons cepat terhadap serangan simulasi digital,” ucap suara dari balik dinding.
Acha mendengus. “Kalau kalian pikir ini sulit, coba curi Wi-Fi di kampung waktu hujan petir.”
Ia tertawa pelan, tapi suara itu segera hilang saat layar menampilkan wajahnya. Tapi bukan wajahnya yang sekarang—melainkan wajah Acha yang sedang tersenyum di layar berita nasional, menjadi “pahlawan digital” palsu.
Ia terdiam.
Mereka bisa buat aku jadi siapa pun yang mereka mau... atau menghapusku total.
Aries merobek sarung tinju latihan dan menjatuhkannya ke lantai. Nafasnya memburu.
“Lagi,” katanya.
Petugas mengangguk dan memutar ulang simulasi pertempuran virtual. Kali ini, lawannya lebih banyak.
“Subjek 01 menunjukkan agresi tinggi. Potensi pemimpin dalam tekanan,” catat salah satu pengamat di balik kaca.
Di dalam pikirannya, Aries melihat wajah ayahnya—datar, kecewa, dingin. “Pemimpin tidak marah. Dia menghancurkan dalam diam.”
Aries tersenyum sinis. “Yah, maaf Ayah. Aku lebih suka ledakan.”
Sementara itu, Lee Soo duduk diam di ruangan penuh topeng dan baju dari berbagai kebudayaan. Ia menggambar wajah seseorang—seorang perempuan tua dengan mata tajam. Tapi ia tak tahu siapa itu.
“Subjek 03 memiliki kemampuan rekonstruksi memori yang mengkhawatirkan,” bisik seorang analis.
Lee Soo melihat ke kamera. “Jangan khawatir. Aku gak pernah ingat wajah orang yang kuhabisi.”
Mereka tertawa. Tapi tak tahu apakah ia bercanda.
Hari-hari berlalu. Kabut tetap menggantung. Tapi keempatnya berubah.
Di dalam lorong logam Zorya, keheningan itu berisi. Mereka bukan lagi hanya remaja dengan masa lalu gelap. Mereka sedang diubah. Digeser. Dipoles.
Zorya tak pernah meminta kesetiaan.
Tapi ia menuntut kelupaan. Dan menggantinya dengan tujuan yang lebih gelap.
Dan empat remaja itu—dalam diam, dalam tawa singkat yang masih bisa mereka pertahankan—mulai menantang sistem dari dalam.
Pintu baja terbuka dengan suara yang hampir tidak terdengar, mengungkapkan ruangan besar yang terasa dingin dan asing. Cahaya putih pucat menyinari lantai hitam berkilat, memantulkan bayangan mereka yang terpapar seolah tak ada tempat untuk bersembunyi. Langit-langit tinggi, dipenuhi panel-panel suram yang menggantung seperti benda mati, dinding-dinding penuh dengan layar digital yang menunjukkan wajah buron yang tampak kehilangan, kode-kode yang bergerak cepat, dan peta dunia yang terus bergulir dengan pembaruan yang tak pernah berhenti. Tidak ada kursi empuk, tidak ada meja yang mengundang. Semua ini hanya satu hal: pengawasan.
"Masuk," suara mekanik datang dari speaker tersembunyi, dingin dan tanpa perasaan.
Keempat remaja itu melangkah masuk dengan hati berdebar, seolah tubuh mereka ditarik oleh gravitasi yang berbeda. Mereka berhenti tepat di depan sebuah platform yang sedikit terangkat.
"Ini... apa?" gumam Rere, suaranya pecah, hampir seperti terkejut. Matanya yang besar melirik kesana kemari, menelusuri suasana yang terasa seperti dunia lain.
"Aku rasa kita gak akan suka jawabannya," Aries bergumam, jari-jarinya gemetar, tak bisa menahan rasa cemas. Meskipun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutan, setiap gerakan tubuhnya memancarkan ketegangan.
Di depan mereka, layar-layar besar mulai menyala serempak, memancarkan cahaya yang lebih dingin lagi. Simbol-simbol aneh muncul, bergerak seolah hidup, kemudian menyatu membentuk lambang—sebuah lingkaran hitam dengan titik merah di tengah. Seperti pupil mata yang terus mengamati tanpa berkedip.
"Apa itu?" Acha bertanya dengan suara serak, matanya masih terfokus pada lambang tersebut, seolah-olah ada sesuatu yang mengikat dirinya pada gambar itu.
“Tidak tahu,” Lee Soo menjawab pelan, bibirnya terkatup rapat. Tentu saja, dia tahu, tapi mengungkapkannya rasanya seperti membuka sebuah pintu yang tak ingin mereka lewati.
Data mereka muncul di layar. Mereka bisa melihat wajah mereka di sana—tidak lagi sebagai mereka yang dulu, melainkan hanya sekumpulan angka dan kode yang terikat pada tubuh mereka. Semua riwayat hidup, kebangsaan, usia, bahkan skor klasifikasi—semua ini sudah ditentukan tanpa mereka menyadarinya.
"Unit Minor Initiative," kata suara itu lagi, tanpa empati. "Eksperimen paling ambisius yang pernah dilaksanakan. Anda tidak ada di sini sebagai individu. Anda ada untuk tujuan yang lebih besar."
Acha menelan ludah, mendekatkan tangannya ke dada. “Eksperimen? Apa maksudnya ini?”
"Jangan tanya," bisik Aries, "Aku merasa kita baru saja masuk ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa kita bayangkan."
Pernyataan itu tidak dijawab. Wajah mereka terus terlihat di layar, terpantau dan dianalisis dengan kecepatan yang tak bisa dipahami. Waktu seolah melambat saat mereka memahami bahwa mereka bukanlah manusia yang sedang dilihat—mereka hanyalah objek pengamatan. Bayangan. Terhapus dari dunia nyata.
Keempat remaja itu berpaling satu sama lain, merasakan ketegangan yang semakin menebal. Namun tidak ada waktu untuk saling menenangkan diri. Begitu saja, pintu lain terbuka di sisi ruangan, mengarah ke lorong gelap yang terasa semakin berat dengan setiap langkah mereka.
"Ayo," kata Lee Soo sambil menundukkan kepala, mencoba tidak melihat sekeliling. "Tidak ada pilihan lain selain mengikuti."
Mereka melangkah ke dalam ruang pelatihan bawah tanah, dimana lorong-lorong sempit berganti bentuk, bergerak, dan berputar. Ruang ini bukan seperti tempat pelatihan biasa. Dinding-dindingnya bergetar, seolah hidup, sensor bergerak dan menyesuaikan dengan setiap gerakan tubuh mereka.
"Ini... bukan tempat yang bisa kita lewati begitu saja," Rere mengernyit, melihat dinding yang seolah membesar di depan mereka.
“Tidak ada pilihan. Kita harus terus maju,” Aries berkata dengan suara serak, mencoba mengusir rasa takut yang merayapi dirinya. "Kita harus tahu siapa yang mengendalikan ini."
Tubuh mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan dunia yang terus berubah di sekeliling mereka. Setiap tantangan yang mereka hadapi semakin meningkatkan kesadaran mereka bahwa ini bukan sekadar pelatihan. Ini adalah penciptaan, pemrograman ulang pikiran dan tubuh mereka. Layar-layar di lorong mengingatkan mereka tentang tujuan mereka: "Transformasi. Loyalitas. Tanpa jejak."
Sementara mereka melangkah lebih jauh, mereka mulai merasa adanya tekanan lebih kuat, seperti ada sesuatu yang terus mengawasi mereka. Mata mereka tetap terbuka, namun dunia di sekitar terasa kabur, terdistorsi, seolah mereka hanyalah bagian dari eksperimen besar yang tak terhentikan.
Rere memejamkan matanya sejenak. "Apakah kita masih bisa kembali?" pikirnya. Tubuhnya menegang, namun dia tahu jawabannya: tidak ada jalan mundur. Semuanya telah diputuskan jauh sebelum mereka tiba di sini.
Di tengah lorong, dinding yang bergerak mendadak berhenti, memberi jalan pada sebuah ruang besar yang lebih jauh ke bawah tanah. Lampu LED biru yang redup di langit-langit membuat bayangan mereka terpantul di lantai, mempertegas kesan bahwa mereka bukan lagi manusia biasa.
“Ayo, waktunya latihan,” suara mekanis itu kembali terdengar, lebih dingin dari sebelumnya.
Lee Soo menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. “Kalau kita sudah mulai di sini, kita harus menyelesaikannya. Tidak ada jalan lain.”
Acha menatap lurus ke depan. "Mungkin kita bisa mengubah permainan ini dari dalam."
Namun, di dalam hati mereka, masing-masing tahu—permainan ini sudah dimulai jauh sebelum mereka menyadarinya. Di bawah permukaan, Zorya bukan hanya kota mati yang menunggu untuk dihancurkan. Ini adalah mesin yang sedang berfungsi, dan mereka adalah bagian dari roda yang tak bisa dihentikan.
Dan kabut itu, yang selalu menggantung di atas Zorya, kini tak lagi sekadar cuaca. Ia adalah simbol dari dunia yang telah menghapus mereka.
