5. Kisah Dani
Sudah pukul 06.30 tapi Dani belum juga datang ke rumah Alma menjemputnya. Dia jengkel sekali karena kata Dani dia harus siap jam 5.30. Berkali-kali ia bolak balik menengok ke halaman depan untuk memastikan kedatangan Dani. Bahkan sebelum 5.30 Alma sudah siap karena ia tidak suka membuat orang menunggu. Ia mengenakan kaos putih lengan panjang yang ia padu padankan dengan celana kulot berwarna navy. Ia mengenakan jilbab navy dengan motif bunga. Ia juga sudah menyiapkan sweater rajutnya dengan warna senada. Sandalnya pun sudah dia letakkan di depan pintu. Tapi yang jemput malah belum keliatan batang hidungnya.
"Kisuk'en, nduk", kata Margareth pada anaknya.
"Kata Dani disuruh siap jam setengah enam, buk", kata Alma jengkel.
"Di chat ae", kata Margareth lagi. Ia tersenyum melihat anaknya.
Kemarin lusa ia meminta izin untuk observasi ke pasar minggu dan ke Matos dengan kawan laki-lakinya. Margareth mengira Alma berbohong karena ingin kencan namun terlalu malu untuk mengakui. Ia bukan ibu yang kaku. Ia ingin anaknya selalu mau untuk cerita hal apapun padanya, karena itu ia tidak melarang Alma jika ingin berpacaran saat SMA. Ia paham sudah wajar anak seusia Alma mulai tertarik dengan lawan jenis. Ia hanya menegaskan batasan yang wajib Alma ketahui jika berpacaran. Tapi Alma sejauh ini hanya cerita bahwa ia tertarik dengan kakak tingkatnya bernama Bara. Ia baru mendengar nama Dani disebut anaknya saat izin ke kota.
"Sampun, bu. Dibaca ae ndaaak", ucap Alma makin jengkel.
"Sabar wae masih di jalan, mungkin", kata Margareth sambil mengupas bawang merah dan bawang putih. Karena hari itu Minggu, jadi ia agak santai. Biasanya jika hari hari biasa, sebelum subuh dia sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuknya dan anaknya.
Tak lama ada suara motor berhenti di depan pagar rumah mereka. Alma dengan cepat menengok keluar.
"Huuuuhhh iku bocahe", kata Alma. Ia beegegas membukakan pagar.
Dani melepas helmnya dan menaruhnya di atas spion motornya. Ia masuk ke dalam rumah Alma dulu. Dani datang dengan ekspresi tidak bersalah.
"Suweneeee", kata alma cemberut sambil membukakan pintu pagar. "Jare jam setengah enam", kata Alma lagi.
"Setengah pitu", kata Dani. Ia mengenakan kaos oblong berwarna putih, jaket hijau army, dan celana jeans.
"Heeeee, setengah enaaaam mbo bilang kemareeen ituuu", Alma meninggikan suaranya. Dani tertawa melihat reaksi Alma. Ia berhasil menggoda Alma. "Iya iya maaf, tadi aku sudah mau berangkat tapi panggilan alam. Pas udah berangkat, di tengah jalan baru sadar dompetku ketinggalan. Balik lah aku", jelas Dani.
"Huuuu, kan bisa bales chat", protes Alma lagi. "Masuk aja dulu, motormu masukkan ke dalam dulu ae", kata Alma.
Dani kemudian berbalik dan menuntun motornya memasuki halaman rumah Alma. Rumah Alma tidak terlalu besar namun terlihat rapi dan asri.
Dani melepas sandalnya dan memasuki rumah Alma. Melihat ada wanita paruh baya yang sedang duduk di atas karpet sambil mengupas bawang, Dani mengira itu pasti ibunya Alma.
"Buk, Dani wes datang", kata Alma. Alma langsung berjalan ke dalam kamarnya. Ia ingin mengambil tasnya.
Margareth berdiri dan melap tangannya ke dasternya. Khas emak emak. Dani segera menyambut tangan Margareth dan mencium tangannya.
"Maaf ya, bau bawang", kata Margaret. Ia kemudian mempersilahkan Dani duduk.
"Gak apa, tante", ucap Dani sopan.
"Dani, ya?", tanya margareth memastikan nama anak laki-laki di depannya.
"Nggih, tante. Maaf agak lama datang. Ada kendala sedikit", ucap Dani.
"Aish santai. Terlalu pagi juga dingin kok di jalan. Alma ae yang gak sabaran anake", ucap Margaret. "Rumahnya dimana, nak?" Tanyanya kemudian.
"Perumahan Raya Residence, tante", jawab Dani. Wah, itu perumahan elit. Hanya orang dengan kondisi ekonomi menengah ke atas yang tinggal di sana.
"Anu, tante. Izin ajak Alma ke Malang kota dulu. Buat observasi tugas bahasa Indo. Inshaa Allah sebelum dzuhur sudah pulang", Dani meminta Izin pada Margareth.
"Aku sudah bilang ke ibuku. Ayo wes berangkat", ucap Alma ketus. Ia sambil berjalan dari kamarnya.
"Ojo judes judes, nduk. Wong Dani cuma izin", kata Margareth. "Maap ya, nak Dani. Turunin aja pinggir jalan dia kalo ngomel terus", ucap Margareth menggoda anaknya. Dani hanya tersenyum.
Alma dan Dani pamitan pada Margareth. "Sek sek, kalian kayak anak yang pacaran. Pake baju kok mirip", ucap Margareth.
Alma dan Dani saling bertatapan memperhatikan outfit masing-masing. Keduanya tertawa menyadari pakaian yang mereka pakai memang warnanya sama. "Ngawur ibuk iki", kata Alma. "Dah berangkat dulu kami. Assalamualaikum", tambahnya.
"Mari tante, assalamualaikum", ucap Dani juga.
Dani membuka jok motornya dan mengeluarkan satu helm lagi untuk di pakai Alma. "Pake dah jaketmu dulu. Kena angin dingin loh", ucap Dani pada Alma.
Margareth memperhatikan dua remaja di depan mereka. Alma memakai helm terlebih dahulu kemudian mengenakan jaketnya. Dani menuntun keluar motornya. Ia menyalakan motornya saat sudah di depan pagar.
"Gak usah ditutup pager'e, nduk. Ibu mau ke kios juga beli tepung", kata margareth.
Akhirnya Alma dan Dani pun berangkat.
~~~
Di sepanjang perjalanan keduanya hanya diam. Alma melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Jalanan pagi itu cenderung sepi. Walau sepi, Dani memacu motornya dengan kelajuan maksimal 50 km/jam. Ia tak berani ngebut karena ada Alma. Coba sendirian, pasti sudah kebut-kebutan dia.
Sesampainya di ujung jalan Ijen, Dani memarkir motornya. Pengunjung sudah ramai. Ada yang lari pagi, bersepeda, bahkan ada yang membawa anjing mereka berjalan-jalan. Di sepanjang jl. Ijen akan ditutup setiap hari minggu dari pagi sampai pukul 10.00 WIB dan dijadikan area Car Free Day. Tidak boleh ada kendaraan bermotor lewat di sepanjang jalan. Di trotoar-troroarnya berjajar jajanan-jajanan dan makanan berbagai jenis. Alma sangat antusias. Ia sudah lupa dengan jengkelnya pada Dani karena telat menjemputnya tadi.
Dani memperhatikan ekspresi Alma. Ia bisa menebak bahwa Alma baru pertama kali ke sini. "Di tengah sana biasanya ada komunitas pecinta hewan-hewan juga. Ada ular, anjing, kucing, buruh hantu, banyak lah", kata Dani memberi penjelasan pada Alma.
"Iya??? Waah keren", mata Alma berbinar-binar. Dani tersenyum melihat reaksi Alma yang takjub sekali melihat pasar minggu untuk.
Seorang juru parkir memberi mereka karcis. Dengan sigap Alma mengeluarkan uang 5 ribu rupiah untuk membayar parkir. Tukang parkir memberi kembalin uang selembar duaribuan.
"Kok kamu bayar?", Tanya Dani. "Aku loh ada", tambahnya.
"Gak apa", kata Alma.
Mereka mulai berjalan. Orang yang melihat sepintas pasti berpikir bahwa Alma dan Dani sepasang kekasih. Mereka mengenakan pakaian yang senada. Alma gk malu sebetulnya tapi ia berusaha cuek. Toh tujuan mereka bukan kencan. Ngerjain tugas. Batin Alma.
"Sudah sarapan? Cari sarapan yuk", ajak Dani.
"Aku udah minum energen sih tadi. Masih agak kenyang", kata Alma. "Eh ada orang jual nasi gudeg!!", seru Alma sambil menunjuk ke arah satu booth. Itu adalah mobil yang bagian belakangnya difungsikan sebagai tempat jualan. Pembelinya tinggal duduk di trotoar atau di kursi yang mereka sediakan.
"Mau?", tanya Dani.
"Piroan? Gak ad tulisan hargae e", tanya Alma.
Dani mengajak Alma ke booth itu dan memesan dua porsi nasi gudeg. Mereka kemudian makan di trotoar. Penjualnya sudah menyediakan tikar agak pembeli bisa makan sambil lesehan.
"Ehmmm enaaak", kata Alma saat menyuapkan makanannya. Lagi-lagi Dani tersenyum memperhatikan reaksi Alma.
Setelah makan Alma mau membayar makananya. Tapi penjualny bilang sudah di bayar.
"Sudah kamu bayar? Berapa satu porsinya? Biar ta ganti", kata Alma.
"Nanti ae. Yok jalan lagi", kata Dani.
"Oke. Itung-itungane nanti yo", kata Alma.
Mereka berjalan lagi. Setiap ada jajanan yang menggiurkan Alma selalu beli. Jika ada yang menarik Alma pasti mampir.
Sudah ada beberapa kantong plastik di tangan Alma. Sebagian Dani bantu membawakan.
"Makanan sebanyak ini habis kamu makan?", Tanya Dani.
"Yaa kan bisa di bawa pulang. Bisa aku makan sama ibukku nanti", kata Alma.
"Eh mau wawancara ndak?", Kata Dani.
Alma baru ingat tujuan mereka kesana untuk tugas observasi.
"Wawancara siapa ya. Penjual yang mana ya?" Tanya Alma balik.
Dani mengajak Alma mampir di salah satu booth yang menjual jus buah dan ice cream.
"Bang Yos", sapa Dani ke pemilik booth.
"Wooiii Dan. Waaah tumben kesini", sapa orang yang dipanggil Yos oleh Dani itu. Yos menoleh ke Alma. "Pacar?", tanya Yos.
"Konco", jawab Dani singkat. Mereka bersalaman akrab. Dani juga menyapa wanita yang bersama dengan Yos.
"Mau wawancara nih, bang. Tugas sekolah. Rame ndak? Ada waktu ndak?" Tanya Dani kemudian.
"Oooh oke oke. Wawancara sama istriku ae ya. Aku kikuk lak ditakoni. Hehe", kata Yos.
Ia kemudian memanggil wanita yang tadi juga disapa Dani yang ternyata adalah istrinya.
"Alma, kenalin ini bang Yosua sm istrinya, mbak Kristin", kata Dani memperkenalkan kenalannya.
"Alma, temannya Dani", kata Alma. "Boleh minta waktunya bentar ya, mbak. Mau tanya-tanya buat tugas sekolah" kata Alma.
Alma dan Kristin melakukan sesi wawancara sedangkan Dani mengambil beberapa foto menggunakan kamera HPnya.
~~~
Setelah beberapa saat wawancara pun selesai. Mereka berpamitan. Dani dan Alma melanjutkan jalan-jalannya lagi. Alma merasa puas karena ia sudah mendapatkan informasi dan bahan yang bagus untuk menyusun tugas mereka.
"Eh Dan. Kok bisa kenal sama bang Yos sama mbak Kristin?" Tanya Alma. Alma bertanya karena rentan usia Kristin dan mereka cukup jauh. Jelas bukan teman sepermainan kalau Alma mengira.
"Oohh, bang Yos itu guru les privatku. Fisika. Kalo minggu dia jualan di sini", kata Dani.
"Owh kamu les privat. Pantes pinter", gumam Alma. "Eh mbak Kristin juga ternyata guru bahasa Jerman ya. Tadi aku tanya-tanya",
Dani mengangguk mengiyakan. Dani melihat wajah Alma. Ada gulir keringat di wajahnya. Cuaca pagi itu memang cerah sekali. Dari tadi mereka berjalan pasti Alma lelah. Dani mengajak Alma duduk di pelataran museum brawijaya.
"Alhamdulillaaah bisa duduk", kata Alma.
"Capek?", Tanya Dani.
Alma mengangguk. "Tapi seneng", Alma menambahkan. "Eh itung-itungan yok. Berapa duitmu kepake tadi? Bagi dua", kata Alma.
"Lali", jawab Dani singkat.
"Lhaaaah kok lupa seeh. Trus gimana donk", kata Alma.
"Wes taaa santai ae", kata Dani.
"Aku sing gak enak, Dan", kata Alma. "Ya wes lain kali giliran aku sing neraktir yo", kata Alma.
"Berarti mau kencan lagi lain kali", goda Dani.
"Ngawuuuurrr heee", Alma bersungut-sungut. Dani suka menggoda Alma karena reaksi Alma menggemaskan menurutnya.
"Kamu gak punya sodara?", Tanya Dani tiba-tiba. Saat di rumah Alma tadi Dani sempat melihat foto-foto yang terpampang di dinding hanya ada foto Alma dan ibunya.
"Oh. Iya. Aku anak tunggal". Kata Alma. "Kalo kamu?" tanya Alma.
"Aku dua bersaudara aja. Kakakku perempuan sudah menikah", jawab Dani. "Eh tunggu ya, aku beli minum dulu di sana", ujar Dani. Alma hanya mengangguk. Ia memperhatikan orang berlalu lalang di hadapannya.
Pasti menyenangkan kalau tiap minggu ke sini. Bisa olahraga sekalian cuci mata. Andai dekat pasti dia ajak ibunya ke sini. Sayangnya jauh dari rumahnya. Tiba-tiba ia melihat sosok yang tidak asing. Bu Rida, guru fisikanya. Ia sedang berjalan dengan seorang lelaki yang tampak lebih tua darinya. Mereka menuntun sepeda mereka beriringan. Mungkin suaminya, pikir Alma. Alma bergegas menghampiri bu Rida dan menyapanya.
"Bu Ridaaa", sapa Alma riang.
"Eh haiii. Waah.. ehm siapa namanya ya Allah ibu Lupa. X-8" kata bu Rida mencoba mengingat-ingat.
"Alma, bu", jawab Alma. Alma salim padanya dan pada laki-laki yang bersama dengan bu Rida.
"Ah yaaa. Alma. Sendirian aja, nak?", Tanya bu Rida.
"Ndak bu, sama Dani. Lagi cari bahan buat observasi tugas bahasa Indo", jawab Alma.
"Dani?!?!" Bu Rida dan laki laki yang bersamanya bicara bersamaan. Alma heran kenapa mereka sekaget itu mendengar nama Dani. Dan kok bisa laki-laki itu kenal dengan Dani.
"Oh tadi dia buru-buru keluar mau jemput Alma dulu berarti, Pa", ucap bu Rida pada laki-laki itu.
Alma semakin heran. Apa bu Rida itu ibunya Dani? Laki-laki itu jelas suaminya bu Rida. Tapi apa hubungan mereka dengan Dani? Alma bertanya-tanya dalam hati.
Tak lama Dani datang. Tapi ekspresinya seperti menahan amarah menatap bu Rida dan suaminya.
"Balik yok, Al", ajak Dani tanpa menyapa bu Rida dan suaminya.
Alma jadi bingung berada di tengah-tengah situasi itu. Tapi Alma tidak punya pilihan lain selain mengikuti Dani. Alma kemudian berpamitan pada bu Rida dan suaminya, mengambil kantong plastik berisi belanjaannya dan setengah berlari mengejar langkah Dani. Terdengar suara suami bu Rida memanggil Dani beberapa kali namun Dani makin mempercepat jalannya. Alma sempat menoleh kebelakang terlihat bu Rida menahan tangan suaminya supaya tidak mengejar Dani.
Sesampainya di motor, Dani meminta Alma cepat naik motor. Kemudian Dani memacu motornya dengan sangat laju. Alma ketakutan di belakang namun ia tak beranj menegur Dani. Dani terlihat sangat marah. Ia memegang erat pundak Dani. Dani tersadar bahwa ada Alma di belakang dan ia melaju terlalu cepat. Ia lalu menurunkan kecepatan motornya. Alma lega.
Dani menuju Matos. Ia memarkir motornya di parkiran luar Matos dan mengajak Alma duduk di tangga depan pintu masuk. Jam masih menunjukkan pukul 09.10 mall tersebut jelas belum beroperasi. Biasanya jam 10.00 mall baru akan dibuka.
Alma terdiam. Ia bingung mau bicara apa. Ia takut menyinggung Dani jika salah bicara.
"Sori ya. Kamu pasti kaget", kata Dani. Suaranya lembut kali ini. Alma menoleh ke arah Dani. Raut wajahnya sudah tidak seperti tadi.
"Kamu gapapa?", Alma mencemaskan Dani. Pasti ada sesuatu antara Dani dan bu Rida. Mungkin ada kaitannya dengan suami bu Rida. Di sekolah, Dani selalu bertingkah hanya pada saat jamnya bu Rida. Ia sering membolos tapi hanya di jam bu Rida.
Tatapan Dani kosong ke depan. "Laki-laki tadi papaku", kata Dani. "Tapi perempuan yang sama dia tadi bukan mamaku", tambahnya
Alma kaget. Wow plot twist kehidupan apa ini. Bu Rida ibu tiri Dani?? Batin Alma.
"Mamaku meninggal saat aku SMP kelas 1. Mama meninggal karena serangan jantung. Dia shock saat tau papa selingkuh dengan sahabatnya sendiri". Dani bercerita.
"Kami saat itu baru pulang dari Jakarta. Kami berkunjung ke rumah mbak di sana karena mbak baru melahirkan. Papa balik ke Malang 3 hari lebih cepat dari kami karena katanya ada urusan penting kantor. Harusnya aku dan mama balik hari Minggu. Tapi karena ada alasan jadi kami majukan penerbangan jadi Sabtu. Papa gak tau. Kami pulang ke rumah dan mendapati papa sedang di kamar mandi berdua dengan sahabat mama. Si Rida itu. Mereka telanjang",
Alma kaget mendengar cerita ini. Bak sinetron sekali kisah Dani. Ia hanya diam tidak memberikan respon apapun. Ia mendengarkan dengan sabar cerita Dani.
"Mama saat itu juga pingsan. Serangan jantung. Kami langsung antar mama ke rumah sakit karena denyut nadi mama gak terasa. Saat sampai rumah sakit mama dinyatakan meninggal". Mata Dani berkaca-kaca menceritakannya. Suaranya bergetar. Alma terhenyak mendengar cerita itu. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya saking kagetnya.
Alma kemudian menepuk pelan punggung Dani. Pantas Dani selalu bikin ulang di jam bu Rida. Semua ada benang merahnya sekarang. Alma kasihan pada Dani.
"Sejak mama meninggal aku hanya tinggal sama Papa. Mbakku baru melahirkan gak mungkin aku tinggal dengannya", lanjut Dani. Alma bingung harus berkomentar apa.
"Makanya kalo kamu dengar cerita pas aku SMP, aku tu trouble maker banget ya itu kali alasannya. Yang tau cerita ini cuma kamu dama Iqbal", tambah Dani. "Aku sengaja bikin papa malu dengan terus-terusan di panggil BK. Pokoknya pas SMP itu titik terendahku kayaknya", kata Dani. Ia mengusap matanya.
"Yang tau cerita ini cuma Iqbal dan kamu", kata Dani menoleh pada Alma.
Pantas ia seakrab itu dengan Iqbal. Alma merasa Iba pada Dani.
"Makanya kamu segitunya ya di kelas bu Rida", kata Alma.
"Aku sebetulnya gak mau sekolah di situ. Kalau sampai teman-teman tahu rasanya mending aku pindah sekolah aja", kata Dani.
"I see", kata Alma.
"Beberapa bulan lalu papaku dan wanita itu akhirnya menikah. Aku dan mbakku sama sekali tidak hadir di pernikahan mereka. Saat mereka menikah, aku ke rumah mbak di Jakarta", lanjut Dani. "Papa mendaftarkan aku di sekolah ini mungkin supaya kami dekat. Tapi aku bilang aku masih mau sekolah dengan satu syarat, jangan sampai guru-guru atau teman-temanku tau kalau si Rida itu ibu tiriku".
"Jadi sekarang kalian tinggal sama-sama?", Tanya Alma.
"Aku gak ada pilihan lain. Gak mungkin aku tinggal sama mbakku. Dia sudah punya keluarga sendiri". Jawab Dani.
"Terakhir aku ke rumah mbakku, dia bilang aku harus sekolah yang bener. Setelah itu kuliah ambil kedokteran. Mama dari dulu pingin anaknya jadi dokter. Karena itu SMA ini aku bener-bener sekolahnya", kata Dani.
"Papamu kerja apa sih?" Tanya Alma.
"Dia punya perusahaan property", jawab dani.
"Baguslah. Kamu kuliah kedokteran aja. Kuliahnya jangan disini. Biar kamu ngekos. Trus hidup hedon dah biar bisa porotin papamu sendiri. Jadi dokter habis itu ambil profesk. Kalo udah sukses kamu buka praktek sendiri dan bisa hidup mandiri to", kata Alma.
Dani mendengarnya jadi terbahak-bahak mendengarnya. "Itu narasi yang sama kayak diomongin mbakku. Plek ketiplek", kata Dani.
Alma lega Dani bisa tertawa.
"Makanya kamu gak usah sok sok'an mau ganti uang tadi. Papaku tajir kok. Jadi biar aku yang teraktir", canda Dani.
Merek tertawa bersama.
"Oh ya, Al", kata Dani lagi. "Ini pertama kali aku cerita hal ini ke orang selain Iqbal".
"Aku gak ember kok, Dan. Cuma jadinya kebencianmu ke bu Rida jadi nular ke aku". Kata Alma. Dani makin tertawa mendengar kalimat Alma.
Mereka menjadi akrab. Sambil menunggu mall dibuka mereka bercerita ini dan itu. Alma merasa nyaman ngobrol dengan Dani. Dani pun merasakan hal yang sama.
~~~
