Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Anak Bernama Dani

Alma membereskan buku-buku matematika di mejanya. Sudah 1 bulan dia resmi menjadi siswa SMA. Dia duduk dengan Safira di bangku urutak kedua, paling dekat dengan pintu. Di belakangnya ada Nindi dan Ica. Mereka berempat menjadi akrab sejak MOS. Nindi dan Ica berasal dari SMP yang sama tapi mereka tidak pernah sekelas, lucunya mereka baru akrab saat menjadi teman sekelas di SMA.

Ica berperawakan agak gemuk dengan tinggi badan 150 cm. Rambut lurusnya selalu rapi dia ikat kuncir kuda. Di SMA itu tidak ada peraturan yang mewajibkan siswi muslim harus mengenakan jilbab jadi siswa muslim bebas memilih berjilbab atau tidak. Diantara mereka berempat, hanya Alma dan Nindi yang berjilbab. Safira, karena ia beragama Kristen, jelas ia tidak berjilbab. Ia pun selalu mengikat rapi rambut ikalnya.

Ica dan Nindi juga membereskan buku-buku di atas mejanya. "Mau ke kantin? Mau njajan apa?" tanya Nindi kepada keempat temannya.

"Pengen siomay eh" jawab Ica.

"Ayok dah. Kalian berdua ke kantin, ndak?" tanya Safira kali ini pada Alma dan Safira. Safira tertunduk lemas di bangkunya.

Alma menggeleng, "gak wes, kalian ae. Aku nitip okky jelly drink ya. Yang jambu. Sama gorengan apapun wes. Pokok gorengan. Ni duitnya" ia menyodorkan uang selembar 5 ribuan lada Nindi. "Aku ta nemenin Safira di kelas. Dia hari pertama ni makanya lemes" tambahnya.

Jadinya Nindi dan Ica berdua berangkat ke kantin. Alma menemani Safira di kelas. Teman-temannya yang lain pun banyak yang masih di kelas, keluar bermain, atau sekedar duduk-duduk di bangku panjang di depan kelas mereka. Sekolah baru berjalan satu bulan jadi masih ada beberapa siswa yang masih canggung beradaptasi satu sama lain.

Alma memperhatikan seorang temannya yang duduk di kursi paling belakang, paling pojok, lurus dari bangku tempat ia duduk. Seorang anak laki-laki juga tertunduk sama seperti Safira. Tapi tidak mungkin anak itu haid juga, kan. Batin Alma. la belum hafal semua nama teman-temannya di kelas itu, kecuali beberapa teman yang berasal dari SMP yang sama dengannya.

Alma mencoba mengingat siapa nama teman sekelasnya itu. Anak itu seharian hanya tertunduk bahkan saat pelajaran berlangsung. Saat pelajaran matematika tadi, pak Kuncoro, guru matematika mereka pun menegur anak itu, tapi ia hanya menegakkan badannya sebentar. Saat pak Kuncoro asyik menjelaskan materi lagi, ia tertunduk lagi.

Hari-hari sebelumnya pun sama. Bahkan ada satu guru merasa tersinggung karena ia terkesan tidak menghargai guru tersebut. Suasana kelas jadi canggung karena penjelasan materi berubah jadi ceramah. Tak satu katapun terucap dari mulut anak itu. Ia hanya menjawab saat ditanyai nama. Tapi siapa namanya ya, Alma tidak bisa mengingatnya.

"Almaaa... Safiraaa..." Suara Iqbal mengagetkan Alma.

"Lhaah, hai Bal. Tumben main ke sini" kata Alma.

"Jadi kurir dulu. Nih ada titipan dari ibuku. Katanya suruh ngasi kamu langsung" Iqbal menyodorkan kantong plastik hitam pada Alma. "Kenapa ni bocah? Tumben lemes?" Iqbal menunjul Safira yang masih terkulai lesu di bangkunya.

"girl's thing" jawab Alma singkat. Alma mengintip isi kantong plastik yang diberikan Iqbal. Ada tahu isi 3 buah. Alma sumringah sekali melihatnya. Sejak MOS Alma dan Iqbal jadi semakin dekat karena Iqbal pun pembawaannya asyik.

"Tahu brontaaak. Bu Siti yang buat?" Tanya Alma basa-basi. Ia tentu sudah tau bahwa bu Siti yang membuatny. Siapa lagi. Saat hari terakhir MOS Iqbal membawa bekal tahu isi dan mereka memakannya bersama-sama saat jam istirahat. Alma sangat menyukai tahu isi yang dibawa Iqbal. Rupanya Iqbal bercerita ke ibunya, jadi setiap Iqbal dibawakan bekal tahu isi oleh ibunya, pasti dibawakan lebih untuk diberikan pada Alma. "Fir, bangun gin. Nih tahu brontak. Enak. Makan dulu biar gak makin sakit perutmu" ucap Alma.

Safira mengintip dari balik lengannya. Dia menggeleng pelan. Alma memonyongkan mulutnya. "Arek gak ngerti panganan enak. Huu" bisik Alma sambil menggigit satu tahu isinya.

"Ke UKS aja kali, Fir" ucap Iqbal. Alma memperhatikan wajah Iqbal. Ada gurat khawatir di wajahnya. Alma tersenyum menggoda.

"Aduh, abang Iqbal khawatir niih. Adek Safira, tengoklah dulu abangmu satu ini" ejek Alma.

Mendengar Alma berusaha memakai logat medan tapi dicampur aksen medhok khas Malang membuat Safira terbahak-bahak. Safira lalu bangun dan mengambil satu tahu isi yang diberikan Iqbal. Melihat itu Iqbal tersenyum.

"Balik dulu aku ya. Jangan rindu aku" ucap Iqbal.

"Eh sampaikan bu Siti makasih yaa" kata Alma.

"Sampaikan mamakmu kalau mau ngasi jangan ngasi Alma aja. Aku pun mau. Kurang ini cuma tiga saja" kata Safira. Kali ini sudah tidak terlalu lesu.

Iqbal hanya mengacungkan jempol sambil pergi keluar dari kelas mereka.

"Fir, kamu gak ada feeling sama si Iqbal? Dia tu care banget loh sama kamu" Tanya Alma tiba-tiba.

"Kau jangan bikin perutku sakit lagi a. Pertanyaan model apa itu. Kau sendiri sudah siap mental mo jadi menantunya bu Siti?" Balas Safira.

"Ngawur!" kata Alma. "Mereka sekeluarga itu emang baik hati. Kan sudah pernah kuceritakan jasa-jasanya bu Siti itu ke keluarga kami", tambahnya.

"Nah bisa jadi itu investasi. Dia baik baiki dulu kalian supaya nanti bisa dijadikannya kau anak mantunya. Hahaha. Kaya kau, jadi menantu pejabat Pajak" goda Safira.

Alma mencubit lengan Safira. Kalau urusan ejek mengejek dia tidak pernah menang melawan Safira.

Tak lama Ica dan Nindy datang. Membawa beberapa kantong plastik. Pesanan Alma pun termasuk diantaranya. Mereka meletakkan semuanya di atas meja Ica dan Nindi. Alma dan Safira mengubah posisi duduk mereka menghadap meja Ica dan Nindi.

"Loh kok ada tahu brontak?" Tanya Ica.

"Tadi, si Iqbal kasi" jawab Alma.

"Iqbal dari X-6? Anak SMP 3 itu kan???" Tanya Ica lagi.

Alma dan Safira mengangguk bersamaan.

"Kok kalian bisa dekat, sih sm dia? Kan gak satu SMP dulu?" Ica lagi lagi kepo dengan hubungan Alma, Safira, dan Iqbal.

"Kebetulan ibu kami sama-sama guru, satu sekolah gitu" jawab Alma sambil menyedot minuman Okky Jelly drink kesukaannya.

"Dia itu populer banget waktu SMP. Dia kan jadi ketua OSIS pas SMP dulu" Ica memberi informasi mengenai Iqbal. Ica juga berasal dari SMP yang sama dengan Iqbal, jadi wajar dia kenal. Tapi mereka sama sekali tidak akrab, Ica hanya sekedar tahu Iqbal.

"Eh tapi kami juga baru dekat pas di SMA ini kok", kata Alma.

Saat mereka sedang asyik mengobrol, terdengar pengumuman dari speaker di kelas mereka.

~Pengumuman, siswa atas nama Ramdani Oktavino kelas X-8 agar segera menuju ruang guru sekarang juga. Sekali lagi, siswa atas nama Ramdani Oktavino kelas X-8 segera menuju ruang guru sekarang juga. Terima kasih~

Sesaat pengumuman berakhir, seorang siswa yang duduk di barisan paling belakang, yang sedari tadi hanya tertunduk di mejanya, bangkit dan menendang meja di depannya.

"Sialan", ucap Dani. Suaranya cukup keras untuk bisa didengar semua siswa yang ada di kelas itu. Sontak itu mengagetkan beberapa siswa di kelas itu. Semua pandangan tertuju padanya.

Ah, Dani... Batin Alma saat sudah mengetahui nama anak itu melalui pengumuman barusan.

Sepeninggal Dani, semua anak-anak dalam kelas berbisik-bisik. Tak terkecuali Alma dan kawan-kawannya. Hanya Safira yang masih tertunduk lemas tak peduli dengan seisi kelas yang heboh membicarakan sikap Dani. Ia masih menikmati sakitnya menstruasi hari pertama.

"Dari SMP dia tu. Masalah terus sama BK", Ica memberi informasi.

"Anak SMP 3?", kali ini Nindi bertanya.

Ica mengangguk. "Dia dulu sering di skors. Yang mukul siswa, yang ngelawan guru, yang merokok di sekolah, bolos dari sekolah, bahkan pernah ngempesin ban mobil kepsek", ujar Ica.

"Waduh, trouble maker", Alma menimpali.

"Makanya pas tau sekelas sama dia aduh malas banget aku. Nanti sekelas kena cap buruk gara-gara si Dani tu" kata Ica. "Tapi anehnya, kalau ujian dia selalu dapat nilai tinggi. Gak menyontek dia, tapi nilainya selalu tinggi. Padahal kalian liat sendiri di kelas kayak apa. Tidur terus", tambahnya.

"Oo, anak pintar tapi nakal. Ada ya begitu?" Ucap Nindi.

~~~

Bu Lilik Purwanti, wali kelas X-8, duduk di mejanya. Di depannya sudah ada Dani tengah berdiri. Bu Lilik mengintruksikan Dani untuk mengambil kursi supaya ia bisa duduk di hadapannya.

"Dani, Ramdani Oktavino, kenapa sih nak?" Lembut suara Bu Lilik. "Ibu dapat laporan dari beberapa guru mata pelajaran katanya sikap kamu di kelas kadang ngelawan", imbuhnya. "Ada masalah apa?", Bu Lilik menatap lekat-lekat wajah anak didiknya itu.

"Gak ada, bu", jawab Dani singkat.

"Kalau gak ada kok sampai ada laporan. Siapa guru fisikanya?" Tanya bu Lilik.

"Gak tau", jawab Dani.

"Bu Rida ya. Katanya pas jamnya bu Rida kemarin kamu melawan bu Rida. Kamu mau menjelaskan? Ibu sudah dengar versi dari bu Rida, ibu mau dengar versi kamu", kata bu Lilik lembut.

Dani diam. Sikapnya acuh tak acuh memang membuat bisa jadi membuat guru yang berhadapan dengannya merasa tersinggung. Nada menjawabnya pun tidak sopan.

"Ini, sebelum kita ketemu berempat, sama bu Rida dan bu Ningsih, bu Ningsih itu guru BK yang tanggung jawab sama kalian, ya. Nah sebelum kita semua ketemu, ibu mau dengar dari kamu dulu, nak. Dani gak mau cerita ke ibu?" ucap bu Lilik.

Dani masih diam. Bu Lilik menghela nafas panjang. Sudah bertahun-tahun ia menjadi wali kelas, akan selalu ada siswa dengan tipikal seperti ini. Padahal siswa-siswa yang masuk di SMA itu sudah disaring secara akademis. Tapi nyatanya entah faktor lingkungan dan pergaulan di luar sekolah, atau mungkin faktor keluarga, selalu ada siswa bermasalah seperti Dani.

"Kalau kamu gak mau cerita, berarti ibu boleh membenarkan cerita versi bu Rida?", Tanya bu Lilik lagi.

"Terserah ibu aja", lagi lagi Dan menjawab singkat.

Bu Lilik lagi-lagi menghela nafas. "Kata bu Rida, kamu bersikap gak sopan dengan melawan perkataannya. Bu Rida juga merasa kamu menatapnya dengan tajam. Betul kah, nak?"

Dani menghela nafas. Ada raut ogah-ogahan di wajahnya. Ia merasa seperti membuang waktunya percuma. "Ya, nanti saya minta maaf ke bu Rida", ucap Dani, masih dengan ekspresi acuh tak acuh.

Bu Lilik kehabisan kata. "Dani, kalau kamu ada masalah apapun, kamu bisa cerita ke ibu", kata bu Lilik.

Mendengar itu Dani tersenyum sinis. "Ya, bu", jawabnya singkat. Tapi ia tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Habis ini jamnya bu Rida kan? Sebelum mulai kelas kami temui beliau, ya. Minta maaflah pada beliau. Ya?", ucap bu Lilik.

"Ya bu", dani menjawab singkat lagi. Iya tak ingin berlama-lama. Ia ingin segera menyelesaikan pertemuan itu.

"Ya wes, balik dah ke kelas. Jam istirahat sudah habis", kata bu Lilik.

Dani berdiri dan berjalan keluar. Bu Lilik memandani punggung Dani dengan tatapan sedih.

~~~

Bu Rida masih menjelaskan mengenai materi Vektor di kelas X-8. Ia menjelaskan mengenai penguraian vektor. Sebelum memulai kelasnya tadi, Dani menghampirinya ke meja guru di depan kelas. Ia meminta maaf dan mencium tangannya. Tapi ekspresi Dani datar, tidak menunjukkan rasa bersalah karena sikapnya yang menyinggung pada pertemuan sebelumnya.

Sembari menunggu siswa-siswa menyalin materi yang ia tuliskan di papan, ia meminta siswa mengerjakan 10 soal di buku paket. Ia menawarkan siswa-siswi untuk maju mengerjakan jawaban soal latihan tersebut di papan. Ia menyiapkan Chocolatos di atas meja. Siapapun siswa yang mau maju dan mengerjakan di papan, dan jawabannya benar, akan ia beri chocolatos. Anak-anak berlomba-lomba mengerjakan latihan soal.

Beberapa menit setelahnya anak-anak mulai berebut spidol untuk bisa mengerjakan soal di papan. Nindi dan Alma pun tak ketinggalan. Bu Rida melihat ke arah Dani. Ia masih dengan posisi sama, tertunduk di mejanya. Dia menghela nafas. Jika ia tegur pasti mood kelas akan berubah. Jadi ia berjalan ke arah Dani.

Ia menepuk pelan punggung Dani. "Maju, Dan. Kerjakan yang nomor 5 setelah ini ya", perintah bu Rida. Bu Rida memelankan suaranya supaya tidak perlu di dengar seluruh siswa. Cukup Dani bisa mendengar. Tapi beberapa siswa masih bisa mendengar suaranya, jadi siswa-siswa melihat ke arah Dani.

Dani membuka buku paketnya. Ia melihat ke papan, memastikan soal halaman mana dan nomor berapa yang dikerjakan. Bu Rida berjalan ke depan kelas dan mengoreksi pekerjaan siswa.

Dia tersenyum puas "betul semua. Great job. Siapa-siapa tadi yang ngerjakan nomor satu sampai empat? Nih ambil chocolatosnya". Kata bu Rida. Ia merasa senang siswa-siswa antusias. "Berikutnya siapa yang mau mengerjakan nomor enam sampai delapan? Nomor 5, Dani yang kerjakan di depan, nak" ucap bu Rida ke seluruh siswa di kelas.

Siswa berebut spidol, Dani dengan santai mengambil satu spidol dan dia mengerjakan soal nomor lima. Beberapa saat kemudian bu Rida mengoreksinya. Ia tampak puas melihat hasil kerja anak didiknya. Sesekali ia menambahkan satuan pada hasil akhir. Dia melihat hasil kerja Dani. Betul.

"Great job. Nah ni ambil chocolatosnya" kata bu Rida. Siswa-siswa yang benar mengerjakan soal di papan senang sekali. Dani tidak maju mengambil chocolatosnya. Ia lanjut menunduk di mejanya.

Bu Rida menghela nafas melihat Dani. Beberapa siswa menengok ke arah Dani. Mereka takut sikap Dani akan menyinggung bu Rida lagi. Namun kali ini bu Rida mengabaikannya. Ia melanjutkan kegiatannya di kelas sampai bel menunjukkan bahwan jamnya telah selesai.

"Tuh kan, pinter si Dani itu. Cuma sikapnya loh menjengkelkan. Bikin guru-guru tersinggung", bisik Ica ke Nindi. Alma juga bisa mendengar bisik-bisik Ica.

Alma meliht ke Dani. Padahal dari tadi ia kayak tidur tapi tau tau kok bisa ngerjakan soal dengan benar.

~~~

Sepulang sekolah Alma, Safira, dan Ica berjalan pulang. Sekolah mereka tidak berada di pinggir jalan utama. Jadi mereka harus berjalan sekitar 5-10 menit untuk samlai di jalan utama. Di sana biasanya mereka akan menunggu angkot berwarna hijau muda. Rumah mereka bertiga satu jalur jadi mereka selalu pulang bersama-sama. Sedangkan Nindi rumahnya di arah berlawanan dan ia membawa motor sendiri.

Sepanjang perjalanan, Alma, Safira dan Ica membahas ekskul apa yang akan mereka ikuti.

"Jadi ikut marching band kamu, Fir?", Tanya Alma pada Safira.

Safira mengangguk. "Si Iqbal juga ikut. Kemarin lusa kami pertama latihan. Dia sudah jago main perkusi ya", ucap Safira.

"Kan di SMP kami ada ekskul marching band juga", kata Ica.

"Oh ya ya, pantas yang ikut rata-rata dari SMP 3. Aku jadi colour guard. Yang bagian nari-nari. Eh kalian ikut juga lah. Temani aku", bujuk Safira pada Ica dan Alma.

"Aku udah ikut PMR. Malas ikut banyak-banyak. Nanti kalo latihan bingung sendiri", kata Ica.

"Kau, Ma? Belumnya kau ambil ekskul apapun", kata Safira.

"Alma kan seleksi MPK dia", kata Ica.

"Iya, besok katanya sepulang sekolah pengumumannya", jawab Alma.

"Idih, kenapa pula ikut MPK. Kau gak terkenal itu. Tanggung. Gak ikut OSIS ajanyaa", kata Safira.

"Ih anak-anak OSIS tu yang elit-elit deh. Aku mau di balik layar aja. Yang masih ada kegiatan tapi gak sesibuk anak OSIS", kata Alma.

"Apa sih MPK tu kepanjangannya? Lupa aku", tanya Safira.

"Majelis Perwakilan Kelas", jawab Alma.

"Emangnya kamu gak mau ikut ekskul juga?", Tanya Ica.

"Mau sih, aku sama Nindi kemarin lusa daftat remaja mushola. Tapi gak tau aku masih bingung. Pengen ikut jurnalistik juga, pengen ikut english club juga", kata Alma.

"Jangan serakah kau. Badan kau itu cuma satu. Semua mua ajalah kau mau ikuti", goda Safira.

Mereka tertawa. "Eh jangan-jangan kamu ikut MPK karena ad mas Bara ya?", Goda Safira.

Alma langsung salah tingkah. "Ndak. Ih apaan sih", kata alma malu-malu. Wajahnya memerah. Untung dia memakai jilbab kalau tidak, mungkin kawan-kawannya bisa melihat telinganya memerah juga.

Saat MOS, ada kakak senior yang menarik perhatian Alma. Di antara kakak kakak senior yang bertingkah sok galak, ada satu kakak senior yang bersikap ramah. Bara.

Alma pernah salah gerakan saat latihan baris berbaris, jadi ia dihukum push up 10 kali. Melihat Alma yang sudah ngos ngosan di hitungan ke 6, Bara tiba-tiba memberi sinyal untuk berdiri. Dan dia bilang ke rekan senior lainnya Alma sudah melakukan 10 push up.

Bara berpostur tinggi tegap. Belakangan Alma tau bahwa Bara anggota ekskul paskibra di sekolahnya. Pantas badannya tinggi tegap.

Alma tidak mungkin mendaftar ekskul paskibra, tinginya saja hanya 147 cm. Jadi ia mencoba mendaftar MPK, karena Bara juga ternyata anggota MPK.

Tapi senior sekeren Bara pasti juga banyak adik tingkat yang nge-fans dengannya. Saat hari terakhir MOS, Bara mendapat banyak bunga dari siswa baru kelas X. Alma mau memberikan bunga pada Bara jadi malu. Akhirnya dia memberikan bunganya pada Safira. Cari aman.

"Mas Bara itu jomblo ya?", Tanya Ica.

"Mana aku tau", jawab Alma.

"Banyak yang nge-fans dia tu. Secara, anak paski", kata Ica.

"Eh, Mas Bara itu juga ikut marching band, Ma. Dia pegang terompet", kata Safira.

"Oh ya?", Alma nampak kaget dengan informasi barusan.

"Nah, ketauan dia. Naksir juga dia sama mas Bara, Ca", goda Safira. Safira dan Ica terawa bersama mengejek kawan mereka. "Sudah, ikut marching band aja lah sama aku sama iqbal", bujuk Safira.

"Eh sek sek sek, kamu sama Iqbal pacaran, Fir?", selidik Ica.

"Iyaaa iyaaa, dia sama Iqbal tu pacaran", kata Alma. Ada kesempatan mengejek balik sahabatnya.

"Hahahaha, gak lah. Bekawan saja kami", kata Safira santai.

"Eh tapi, Ca. Kalo kamu perhatikan, tatapannya Iqbal ke Safira lain gak, sih? Kayak lembut sekali", kata Alma pada Ica.

"Tapi emang dia seramah itu kok ke semua, Ma. Di SMP dia juga begitu dah kayaknya", jawab Ica.

Mendengar jawaban Ica. Safira tertawa terbahak-bahak. Puas dia melihat aksi Alma yang gagal ingin mengejek dirinya. Safisa dan Ica tos. Alma memasang wajah manyun. Gagal lagi mau ngecengin Safira.

~~~

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel