Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. MOS

"ayo cepaaat. Lelet sekali kalian!!!!" Seorang siswa senior memasang wajah galak di depan gerbang SMA. Siswa senior lain yang tak kalah galak ikut berteriak meneriaki siswa siswa baru angkatan tahun itu.

Ya, waktu Masa Orientasi Siswa telah tiba. Sekitar 370 siswa baru telah dinyatakan lolos menjadi siswa baru termasuk diantaranya Alma, Safira, dan Iqbal. Pukul 06.30 seluruh siswa baru sudah harus berkumpul di aula untuk mengikuti upacara pembukaan MOS serta arahan-arahan yang lain dari panitia. Siswa baru telah dibagi menjadi 10 kelas. Masing-masing kelas berisikan 37 siswa. Alma dan Safira menjadi teman satu kelas lagi di kelas X - 8, sedangkan Iqbal berada di X - 6.

Alma dan Iqbal berlari pelan menuju gerbang setelah mendengar teriakan dari kakak senior. Di belakang mereka pun banyak siswa baru yang berlari-lari kecil. Sekedar memperlihatkan kepada kakak-kakak senior kalau mereka berlari, bukan hanya berjalan santai.

"Bal, itu bukannya mbak Hafiza?" Tanya Alma sambil menunjuk ke salah satu kakak senior yang berwajah galak.

"Iyoo... dari subuh kali dia berangkat. Katanya pura-pura gak kenal aja daripada kena semprot sama senior lain" jawab Iqbal.

Mendengar jawaban Iqbal, Alma tersenyum tipis. "Heeeh itu yang di sana, CEPAT JALANNYAAA!!! jangan cengengesan!!!" Seorang senior laki-laki menunjuk Alma. Alma langsung berbisik pada Iqbal, "Bal, kita Bal. Mampus".

Alma dan Iqbal sampai di gerbang. Mereka harus melalui meja pemeriksaan. Ada beberapa kakak senior namun ekspresi mereka tidak segalak yang di gerbang. Yang kerjanya teriak-teriak seolah ingin menguji mental siswa-siswa baru.

Setelah melewati meja periksaan, mereka langsung menuju aula. Di dalam aula sudah banyak siswa baru yang hadir. Mereka berdiri rapi sesuai urutan kelasnya membentuk barisan 3 berbanjar. Di depan barisan ada 3 orang kakak senior dan guru. Mungkin itu wali kelasnya, batin Alma. Tanpa banyak komando, Iqbal dan Alma langsung menuju barisan kelasnya masing-masing. Alma celingukan mencari sosok Safira. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 WIB. Siswa baru berdiri rapi tanpa suara. Sampai saat itupun Safira belum tampak kelihatan batang hidungnya.

"Gak usah tolah toleh, dek. Baris yang rapi sikap sempurna pandangan lurus ke depan" tegur seorang kakak senior yang dari tadi berada di depan barisan kelasnya. Alma langsung mengikuti instruksi dari kakak senior tersebut. "Kemanalah anak satu itu. Masa hari pertama MOS dia telat sih", keluh Alma dalam hati.

Acarapun segera dimulai. Sambutan-sambutan dari kepala sekolah dan beberapa orang penting di acara tersebut Alma dengarkan dengan seksama. Sambil ia menghafalkan wajah-wajahnya.

Setelah acara pembukaan selesai, semua siswa baru diarahkan menuju ruang kelas. Tiap kelas didampingi 3 orang siswa senior dan 1 orang guru. Guru itu yang nantinya akan menjadi wali kelas di kelas tersebut. Dimulai dari kelas X-1 hingga kelas X-10 bergiliran keluar aula menuju ruang kelas dengan rapi.

Di dalam kelas, siswa bebas memilih duduk di mana. Alma memilih duduk di barisan ketiga dekat dengan jendela. Barisan meja yang lurus dengan meja guru. Posisi yang pas agar tidak terlalu menonjol di kelas. Dia perhatikan lekat-lekat kawan-kawan barunya di kelas itu. Mayoritas perempuan. Ia masih mencari Safira namun belum ia temukan juga. Berarti Safira melewatkan upacara pembukaan MOS tadi.

"Permisi, boleh duduk di sini?" Sapa seorang gadis berjilbab, sama seperti Alma. Ia mengenakan kaca mata cukup tebal. Hidungnya mancung, bibirnya mungil. Ah manisnya, batin Alma.

Alma berencana duduk dengan Safira supaya dia merasa nyaman tapi samapi sekarang Safira belum juga terlihat. Karena ia merasa tak enak menolak permintaan gadis itu, Alma hanya mengangguk canggung. Gadis itupun langsung duduk di sebelah Alma dan meletakkan tasnya di bawah atas meja.

"Halo, aku Nindi. Kamu?" Gadis itu mengulurkan tangan pada Alma.

"Oh hai. Aku Alma. Alma Safitri" Alma membalas uluran tangan Nindi dengan senyum manis.

Kemudian mereka berdua diam. Keduanya sama-sama canggung. Tak lama ada dua siswa masuk mengenakan kartu pink yang diberi tali dan dikalungkan di lehernya. Safira salah satunya.

"Itu yang telat datang kayaknya, mereka punya kartu pelanggaran tu. Kan tadi di aula dikasi tau kalau peserta MOS yang melanggar peraturan MOS dapat kartu pelanggarn warna pink" jelas Nindi pada Alma. Alma hanya merespon "ooh" kalimat Nindi barusan. Ia memberi sinyal pada Safira untuk duduk di dekatnya bangku didepan Alma masih kosong. Ada 1 siswa laki-laki yang duduk sendirian di sebelahnya.

Safira langsung berjalan menuju ke arah Alma. "Ehm, aku duduk sini ya" Safira meminta izin pada anak laki-laki yang duduk di depan Alma. Anak laki-laki itu hanya mengangguk. Safira langsung duduk di kursi tersebut tanpa berlama-lama.

"Ya Ampun, Almaaaa. Aku terlambat. Ban kereta abangku bocor di jalan. Jadi aku naik angkot tadi. Angkot lama betul. Berlarian aku ke sini. Ngos ngosan aku" kata Safira menjelaskan alasan mengapa ia terlambat tanpa diminta. "Eh Halooo. Aku Safira. Aku satu SMP sama Alma kemarin" Safira mengenalkan dirinya pada Nindi.

Nindi tersenyum, "aku Nindi. Wah enak ya sudah ada teman yang dikenal. Kamu kesini naik kereta??" Nindi bertanya.

Alma dan Safira tertawa pelan mendengar pertanyaan Nindi.

"Safira ini anak Medan, dia gak bisa sebut motor. Dia sebutnya kereta" Alma menjelaskan. Sekarang Nindi ikuran tertawa pelan.

"Di Medan motor di bilang kereta. Gak bisanya aku sebut lain. Aneh kurasa" kata Safira dengan logat bataknya yang kental.

Nindi tersenyum lebar menahan tawa mendengar logat Safira.

~~~

Sepulang bekerja Margareth (ibu Alma) membeli bakso Bang Kumis kesukaan anaknya. Sepulang MOS pasti dia lelah, pikirnya.

Ia menaruhnya di mangkok dan menutup tudung sajinya. Ia segera berganti pakaian dan membersihkan rumah. Ia masuk ke kamar anaknya, rapi. Alma memang anak yang menyukai kebersihan. Ia tak tahan jika kamarnya berantakan. Setelah memastikan kamar anaknya rapi ia keluar dan menutup kembali pintu kamar anaknya.

Ia menengok jam menunjukkan pukul 13.00. Ia buru-buru mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dzuhur. Berkawan dengan bu Siti memberikan dampak besar bagi hidup Margareth. Walaupun tak banyak surat pendek yang dia hafal, tapi belajar agama memberikannya ketentraman batin. Apalagi hidupnya penuh dengan drama. Membesarkan anak seorang diri, jauh dari keluarga.

Margareth berasal dari Jawa Tengah. Semua keluarganya beragama Nasrani. Saat ia memilih menikah dengan Rudi, Ayah Alma saat itu, seluruh keluarganya menentang. Akhirnya ia nekat kabur dari rumah dan menikah dengan suaminya waktu itu. Ia menjadi mualaf demi bisa menikah dengan Rudi. Keluarga Rudi pun tak memberikan restu kepada mereka berdua. Mereka menganggap Margareth beban di hidup Rudi.

Akhirnya bermodalkan nekat dan uang tabungan Margareth, mereka merantau ke Malang. Mereka membeli rumah dengan harga murah dan Margareth melamar di sebuah Sekolah Dasar di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan Rudi bekerja sebagai kuli bangunan, tukang ojek, atau pekerjaan halal apapun yang bisa menghasilkan uang.

Siapa sangka pernikahan tanpa restu itupun berakhir tragis. Beberapa waktu setelah perceraiannya, kedua orang tua Margareth dan adik perempuannya tiba-tiba datang ke rumahnya. Entah dari mana mereka mengetahui alamat Margareth. Tangis haru pecah di antara mereka. Orang tua mana yang tak hancur melihat anaknya ditelantarkan oleh suaminya. Sebatang kara dengan bayinya.

"Pulang lah nak, besarkan Alma di kampung saja. Dengan siapalah kamu di sini, nak" ucap ibu Margareth saat itu.

Namun Margareth bersikeras tidak mau kembali. Terbayang betapa malunya jika ia kembali pulang dengan anaknya tanpa suami. Apa kata tetangga nanti.

Akhirnya adik Margareth, Bella, menemani Margareth di Malang. Sedangkan orang tua Margareth harus kembali ke kampung. Bapak Margareth seorang pegawai di kelurahan. Tidak mungkin mengambil cuti terlalu lama. Bella lah yang akan menemani Margareth. Ia baru saja lulus kuliah jadi belum ada kegiatan apa-apa. Ia akan membantu Margareth menjaga Alma selama Margareth pergi mengajar.

Bella sangat penyayang dan menyukai anak - anak. Ia dengan telaten merawat Alma, keponakannya satu-satunya. Sampai saat Alma menginjak usia 6 tahun, Bella dilamar kekasihnya. Mereka menikah dan pindah ke kota Solo. Margareth dan Alma akhirnya hidup berdua saja.

Jika libur semester mereka akan mudik ke Jawa Tengah berkumpul dengan keluarga Margareth. Walaupun seluruh keluarganya beragama Nasrani, ia dan anaknya beragama Islam, namun kehangatan keluarganya tidak pernah berubah. Ya, keluarga adalah rumah tempat kita berpulang. Setelah berkelana ke tempat sejauh apapun, keluargalah satu-satunya rumah yang bisa menerima kita kembali pulang.

Baru belakangan terakhir ini Margareth tau bahwa bu Siti yang saat itu mencari tau keberadaan orang tua Margaret, memberi kabar dan memberikan informasi mengenai Margaret. Allah begitu baik pada Margareth, walaupun rumah tangganya hancur berkeping-keping, Allah berikan keluarga dan orang-orang sekitar yang sayang padanya.

Sejak bercerai, tak pernah sedikitpun Margareth berkeinginan menikah lagi. Ia trauma dengan laki-laki. Baginya, dunianya adalah Alma. Ia akan memastikan Alma hidup dengan layak walau tanpa seorang ayah. Bukan tidak ada yang mendekati Margareth. Ada beberapa pria yang dikenalkan oleh bu Siti. Tapi Margareth selalu menolaknya.

Bersyukur keluarganya mau menerimanya kembali. Menerima ia dan anaknya. Melimpahi mereka dengan kasih sayang. Bella dan suaminya pun sangat menyayangi Alma. Menganggap

~~~

Setelah sholat dzuhur, Margareth mengambil Al quran dan mengaji sambil menunggu Alma pulang.

Tak lama, terdengar suara Alma mengucap salam.

"Assalamualaikum. Ibuuuukkk.... Alma pulaaang" Suara pintu terbuka.

"Siang, tanteeee. Safira ikutan pulaaang". Kali ini suara Safira yang terdengar.

Safira sudah sering berkunjung ke rumah Alma. Margareth juga menganggap Safira seperti anak sendiri.

Margareth bergegas menyudai mengajinya, melepas mukenahnya, dan mengambil jilbab. Ia keluar kamar dan menyambut dua remaja yang pulang dengan wajah lesu.

"Gimana hari pertama MOS? Ada kakak kelas yang ganteng?" goda Margareth.

Mendengar gurauan itu, Alma dan Safira memasang ekspresi manyun. "Boro-boro buuuk, buk. Sok galak semua. Senyum dikit aja d bentak, diam dibentak" keluh Alma.

"Macam darah tinggi semua kah kakak-kakak OSIS tu" Safira menimpali. "Tengok, tante. Baru hari pertama sudahnya aku ditandai sama kakak-kakak itu" kali ini Safira memamerkan kartu pelanggarannya pada Margareth.

"Loh hari pertama sudah melanggar?" Tanya Margareth.

"Kereta abangku bocor bannya. Sial kali bah" keluh Safira lagi.

"Kereta??" Margareth keheranan.

"Motoooor" kali ini Alma dan ibunya bicara bersama-sama. Membenarkan istilah yang diucapkan Safira. Mereka kemudian tertawa bersama.

"Buk, tadi kami dapat teman baru. Nindi namanya. Cantiiiikkk banget. Kan, Fir?" Kata Alma.

"Eh betul, tante. Cantik kali Nindi itu. Kayak model" Safira membenarkan.

"Nanti ajak main ke sini kalau begitu. Kalian makan dah dulu. Ibu tadi sudah beli bakso bang kumis. Ada di mangkok itu. Kalau mau dipanaskan lagi, panaskan sendiri ya" Margareth kembali ke dalam kamar. Ia baru ingat bahwa harus menyelesaikan administrasi kelas secepatnya.

Alma dan Safira berjalan masuk ke dalam kamar Alma. Alma sudah sholat dzuhur berjamaah di sekolah tadi. Mereka makan siang sambil membahas persiapan-persiapan untuk MOS hari kedua esok hari.

Safira pamit pulang saat sudah menjelang ashar. Rumah Safira berada di komplek perumahan TNI AD yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah Alma. Hanya perlu berjalan 10 menit untuk sampai rumah Safira. Ia sudah biasa pulang ke rumah Alma dahulu kemudian menjelang ashar ia baru pulang ke rumahnya. Biasanya ia akan mampir dulu di warung makan untuk membeli lauk makan malam. Atau terkadang Margareth membawakannya lauk untuk di makan nanti.

~~~

"Nduk, ayo cepet" ucap Margareth setengah berteriak. Margareth dan Alma selalu sholat maghrib berjamaah di surau yang terletak tak terlalu jauh dari rumah. Kecuali jika salah satu dari mereka sedang menstruasi, maka yang lain sholat di rumah. Tak lama Alma pun keluar kamar dan mereka bergegas menuju surau.

Sepulang dari surau Alma dan ibunya duduk di meja makan. Mereka makan bersama. Tadi Margareth sempat memasak tumis kangkung dan tempe goreng serta sambal terasi. Ada sisa bakso tadi siang juga terhidang di atas meja.

"Buk, mobilnya bu Siti ganti ya? Seingat Alma dulu mobilnya warna hitam. Tadi pagi kami naik mobil warna silver" kata Alma membuka pembicaraan.

"Oh, bukan ganti. Bu Siti dan suaminya beli mobil baru. Katanya mobil yang hitam di bawa Hanifah buat berangkat kerja. Mau di kasi mobil yang baru katanya Hanifah sudah nyaman pake mobil yang lama. Sudah lama itu" jawab Margareth sambil menyuapkan sesuap nasi ke mulutnya.

"Kerennya ya bu. Enak kali ya bu kerja di kantor pajak. Cepat kaya. Mbak hanifah itu anak pertamanya ya?" Tanya Alma.

"Iya. Kan tiga anaknya. Hanifah, Hafiza, sama Iqbal itu. Kamu mau kerja jadi pegawai pajak?" Tanya Margareth.

"Kalau cepat kaya mau lah" canda Alma.

Margareth tersenyum hangat, "aamiin, sekolah yang pinter makanya biar bisa masuk STAN" kata Margareth.

"STAN??" Alma memasang ekspresi heran.

"Sekolah Tinggi Administrasi Negara. Sekolah ikatan dinas itu. Jadi habis kuliah di situ setahun atau tiga tahun langsung bisa jadi PNS di perpajakan. Ibu juga gak begitu paham informasinya. Besok-besok lah ibu tamya Bu Siti" jelas Margareth.

"Malu ah bu. Alma juga baru masuk SMA"

"Lah, rapopo, nduuk. Justru harus sejak awal diplanning mau ke mana setelah lulus SMA" kata Margareth.

"Alma mau jadi guru aja lah. Guru SD kayak ibuk. Eh tapi lama kayanya hahahaa" canda Alma.

"Ooo dasar. Jadi guru itu panggilan jiwa. Gak sekedar cari gaji saja. Kalau mau jadi guru gak apa apa. Tapi cewek pendiam yang judes kayak kamu kalau jadi guru, kabur semua siswamu" balas Margareth. Mereka tertawa bersama. Hubungan hangat dan akrab layaknya sahabat antara ibu dan anak.

Setelah selesai makan Alma mencuci piring kotor dan ibunya membereskan meja makan.

Teng teng teng... "Assalamualaikum" terdengar suara pria dari luar.

"Pagar dikunci,nduk?" Tanya Margareth.

"Mboten bu" jawab Alma dari dapur.

Margareth segera membuka pintu. Ia baru sadar belum menyalakan lampu luar. Sebelum ia tengok siapa tamu yang datang, ia kembali dulu ke dalam rumah menyalakan lampu luar. Kemudian ia berjalan perlahan ke arah pagar. Ternyata yang datang adalah Roy, suami Bella.

"Owalah diik... Kok gak langsung masuk. Mana Bella?" Margaret buru-buru membukakan gerbang.

"Ada itu di mobil, mbak. Bentar lagi turun" jawab Roy.

"Kok gak ngabari kalau mau datang?" Tanya Margareth. Roy langsung menarik tangan Margareth dan mencium tangan kakak iparnya. Dari arah belakang Bella datang membawa banyak bingkisan. Sepertinya berisi makanan dan entahlah apa lagi yang dia beli.

"Yo, mlebu mlebu, masuk masuk..." Ajak Margareth. Roy langsung masuk ke dalam rumah. Bingkisan yang dibawa oleh Bella dia ambil dan bawa masuk. Dari belakang disusul Bella dan Margareth. Merek berpelukan dan bergandengan.

"Kok ndadak to, dek?" Tanya Margareth lagi ke Bella.

"Kejutan to, mbak... Hehe. Mas Roy ada pelatihan di Batu. Aku bilang mau ikut sekalian mampir ke sini. Besok pagi biar dia ke Batu. Aku ta ndekem di sini" ucap Bella sambil merangkul tangan kakaknya. Mereka sangat akrab.

"Opo kuwi mbok gowo. Okeh eram" tanya Margareth.

"Bukan buatmu, mbak. Buat Alma. Ojo ke-GR-an" goda Bella.

Bella dan Roy sudah menikah 9 tahun dan belum dikaruniai momongan. Karena itulah mereka menganggap Alma seperti anak mereka sendiri. Bella sudah 2 tahun resign dari kantor ia bekerja selama ini. Ia ingin fokus pada program kehamilan.

Alma mendengar suara khas tante kesayangannya. Dengan tangan yang masih basah dia buru-buru me-lap-nya di bajunya. Dia senang sekali om dan tantenya datang. Bella membawa banyak makanan, ada tas baru dan sepatu baru untuk Alma.

"Kalian sudah makan??? Aku masak kangkung, tempe karo sambel terasi. Masih ada nasi tu. Makan dulu sana" kata Margareth.

"Kok bukan Alma yang masak? Bisa masak gak sih kamu?" Goda Bella sambil merangkul ponakan satu-satunya itu.

"Alma yang goreng tempenya, bulek" jawab Alma.

"Ih jangan panggil bulek. Panggil tante!!" Bella merajuk dia peluk Alma kuat-kuat sampai Alma teriak karena risih.

"Nduk, gorengkan lagi tempenya. Sisa satu aja itu di piring. Bikinkan om-mu kopi dan teh buat tantemu sekalian" kata Margaret pada Alma.

Alma segera pergi sambip membawa hadiah yang dibawakan tantenya, ia menyimpannya di kamar kemudian ke dapur. Ia menjulurkan lidah ke tantenya. Seakrab dan seharmonis itu mereka.

Margareth dengan adik dan adik iparnya duduk sambil bercerita ngalor ngidul. Tentang kabar masing-masing. Sudah 2 tahun Margareth dan Alma tidak mudik ke Jawa Tengah.

~~~

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel