1. Awal
156. Muhammad Iqbal Ramadhan
157. Intan Kasih Nuraini
158. Alma Saputri
"Al...maa... Sa...pu...tri... Almaaa. Almaaa. Alhamdulillaaaaah. Alhamdulillah ya Allah. Alma lolos buk, alma lolos"
Seorang gadis berjilbab dengan girang memeluk lengan ibunya. Ia melompat-lompat sambil terus memeluk erat lengan kurus ibunya. Ibunya memicingkan mata karena tak dapat melihat jelas tanpa bantuan kaca mata.
"Endi, endi nduk. Nomor piro??" Si ibu butuh validasi dari matanya sendiri bahwa anak gadis satu-satunya diterima di SMA Favorit di kota mereka, Malang.
"Niku lo buk, nomer 158" kata Alma sambil menunjuk-nunjuk kertas pengumuman yang ditempel di depan ruang TU.
Walau tak terbaca jelas, samar-samar ibu Alma membaca nama anaknya terpampang di daftar nama siswa yang diterima tersebut. Dia mengucap syukur kemudian menarik lengan anaknya mundur perlahan. Keluar dari kerumunan orang-orang yang ingin mengetahui pengumuman itu. Saat sudah agak jauh dari kerumunan, ibu Alma memeluk erat anaknya. Mencium dahi dan pipinya.
"Alhamdulillah, nduk. Pinter anakku. Masya Allah. Alhamdulillah. Bar iki nang ndi? Kapan MOS? Daftar ulang'e piro? Kapan? Trus... " Belum sempat ibu Alma menyelesaikan sederet pertanyaan-pertanyaannya, seseorang menepuk bahunya.
"Bu Mar, gimana Alma? Lolos???" Seorang perempuan paruh baya mengenakan seragam keki berdiri di hadapan mereka. Bu Siti, rekan kerja ibu Alma. Anak laki-lakinya yang nomor 3 juga seumuran dengan Alma. Dan sama-sama mendaftar di sekolah itu.
"Alhamdulillah lolos, bu Siti. Iqbal bagaimana?" Jawab ibu Alma menyambut uluran tangan bu Siti untuk bersalaman sambil bercipika cipiki.
"Alhamdulillaaah Iqbal juga lolos, bu. Waaah temenan sama Iqbal nanti ya, Alma". Jawab bu Alma ramah sekali. Ia kini menyalurkan tangannya ke Alma. Alma refleks mencium tangan bu Siti. Alma hanya senyum dan mengangguk.
"Mana Iqbal, bu Siti?" Tanya ibu Alma.
"Itu dia sama teman-temannya" bu Siti menunjuk ke arah segerombolan laki-laki. Alma dan ibunya mengikuti arah tangan bu Siti.
Ibu Alma dan bu Siti melanjutkan basa basi mereka, mengobrolkan ini itu. Sedangkan Alma masih memperhatikan segerombolan laki-laki tadi. Ada satu sosok yang menarik perhatiannya. Iqbal, anak bu Siti, rekan kerja ibunya. Dulu ia pernah bertemu sekali dengannya saat Iqbal dikhitan. Mereka masih kelas 3 SD. Saat itu Iqbal pendek sekali. Lebih pendek dari Alma. Hitam, kurus dan dekil, khas anak laki-laki yang kerjaannya main layang-layang setiap hari lah. Sekarang ia melihat sosok Iqbal jauh berbeda namun parasnya masih mirip dengan saat ia masih kecil. Iqbal sekarang tinggi menjulang dan badannya agak berisi. Tapi Alma masih bisa mengenali Iqbal. Agak lucu Alma rasa karena melihat perubahan fisik orang yang pernah ia temui.
"Nduk, tunggu sini dulu ya. Ibuk sama bu Siti mau ke dalam dulu. Cari informasi soal daftar ulang. Kamu tunggu di sini aja atau mau ikut?" Tanya ibu Alma memecah lamunan Alma mengenai Iqbal.
Pandangan alma menyisir area sekitarnya. Berusaha menemukan teman yang mungkin dia kenal. Tak jauh dari papan pengumuman, ia melihat teman sebangkunya saat SMP, Safira. "Aku ke Safira aja bu. Nanti aku tunggu di dekat pos satpam, nggih." Ira langsung mencium tangan ibunya dan tangan bu Siti. Tanpa menunggu persetujuan ibunya ia langsung lari sambil memanggil sahabat karibnya.
"Safiraaaaaa..."
"Woooy, ma" balas Safira. "Kau ke sini sama ibukmu?"
"Iyalaaah. Sama siapa lagi. Kamu sendirian? Papamu gak ikut?"
"Lawak kau. Sama abangku aku kesini. Dia di dalam cari info soal daftar ulang. Lolos kau??? Aku lolos tapi di bawah sekali namaku. Hampir-hampir kupikir gak lolos aku."
Safira adalah sahabat karib Alma. Ia pindahan dari Medan. Papa Safira seorang TNI AD. Saat ia kelas 2 SMP papanya ditugaskan di Malang dan Safira beserta abangnya terpaksa ikut pindah mengikuti Papa mereka. Mama Safira sudah meninggal sejak Safira masih kecil. Sejak Safira pindah ke SMP Alma, mereka berdua langsung akrab hingga saat ini. Safira orang batak asli, jadi ia tak bisa berbahasa jawa. Saat awal-awal pindah ke Malang, Safira kesulitan beradptasi karena mayoritas siswa di SMP mereka berbahasa jawa. Untung ada Alma yang selalu menjadi penerjemah bagi Safira jika guru mereka juga kadang memakai bahasa jawa di kelas.
"Lolos aku, Ra. Ada di urutan seratusan namaku. Ibukku sama temannya juga ke dalam. Biar wes kita tunggu di luar aja ya. Ke sana yuk"
Alma menarik tangan Safira kegirangan. Dia senang sekali bisa satu sekolah lagi dengan sahabatnya di SMA. Mereka menuju pos satpam. Ada gundukan semen yang bisa mereka jadikan tempat duduk sambil mengobrol dan menunggu ibu selesai, pikir Alma.
"Eh banyak kali anak-anak dari SMP kita yang lolos di sini ya" kata Safira sambil mengeluarkan pilus. Ia membukanya dan menaruhnya di tengah mereka berdua.
"Iya lah, Ra. Dari dulu ituu, anak SMP kita istilahnya cuma pindah sekolah aja ke SMA sini. Mayoritas teman-teman kita juga. Alma juga otomatis mengambil pilus milik Safira. Mereka memakannya butir per butir.
"Ma, kau kenal anak bongsor itu??? Dari tadi dia liat-liat terus ke sini" Kata Safira tiba-tiba. Ia menunjuk dengan sorot matanya yang tajam. Mengarah ke laki-laki yang menurut Safira memandangi Alma dari tadi. Alma menoleh ke arah yang dimaksud Safira. Iqbal. Ia senyum tipis kepasa Iqbal. Sepertinya Iqbal juga mengenali Alma. Mendapat respon dari Alma, Iqbal berjalan mendekati mereka. "Iqbal itu. Anaknya teman ibukku".
"Bah, belumnya kita mulai SMA sudah ada gebetanmu!" Kata Safira. Suara kerasnya membuat Alma memelototi Safira.
"Suaramu, Raaa. Dengar nanti dia. Malu aku" bisik Alma. Safira senyum-senyum saja.
"Halo. Anaknya tante Margareth, ya?" Sapa Iqbal.
"Hm.. iya." Alma cepat-cepat mengelap tangannya yang penuh bumbu pilus dan menjabat tangan Iqbal. "Anaknya bu Siti ya? Iqbal bukan?" Alma memberikan pertanyaan basa basi.
"Iya. Masih ingat aja. Dari SMP 1 kan ya
?" Tanya Iqbal lagi.
"Heeh. Bener. Kl kamu dari SMP mana?"
"SMP 3. Terakhir kita ketemu kapan ya. Eh siapa namanya? Lupa aku"
"Alma. Hehehe... Pas kamu di khitan dulu itu kaaan" jawab Alma.
"Iyaaa Alma. Lupa. Gak gak. Dulu pas kamu dirawat di Rumah Sakit aku juga ikut jenguk kok. Sama mama sama papa waktu itu. Tapi kamu tidur makanya gak tau" Iqbal lebih cerewet dari pada dugaan Alma. Tapi sama sekali tidak membuat Alma risih. Ia teringat beberapa bulan yang lalu sempat di rawat di rumah sakit selama 10 hari karena demam berdarah. Ia tak ingat siapa siapa saja kawan ibunya yang datang menjenguk.
"Ooohhh iya kali." Jawab Alma.
"Ekhheeeemmm" Safira memberi kode kalau dia juga mau diajak bergabung ke dalam percakapan basa basi itu.
"Oh ya, Iqbal, ini teman aku. Kami 1 SMP kemarin. Dia juga lolos di sini loh. Namanya Safira" ucap Alma memperkenalkan sahabatnya. Safira berdiri dan mengulurkan tangan ke Iqbal.
"Halo..." Sapa Safira.
"Halo..." Balas Iqbal menyambut uluran tangan Safira. Iqbal menatap lekat-lekat Safira. "Kayak pernah liat di mana ya?"
Safira dan Alma saling bertatapan dengan pandangan heran.
"Rumahmu di Kostrad bukan?" Tanya Iqbal.
"Bah. Betul. Tau dari mana kau?" Kata Safira kaget.
"Naaah kan betul. Aku sering main ke situ. Temanku rumahnya di situ. Kayaknya pernah aku liat kamu dimanaaa gitu." Kata Iqbal.
"Siapa nama kawanmu?" Tanya Safira.
"Mario. Kenal???"
"Tuhaaan. Iya. Kenal lah. Rumahku di depan rumah Mario. Eh dia gak daftar di sini tapi. Dia daftar di Kota." Safira menanggapi.
"Iya. Ah mario kan jenius jadi pasti lolos dia di sana" kata Iqbal.
Safira dan Iqbal cepat akrab. Iqbal sangat ramah. Dia pembawaannya ceria seperti bu Siti, ibunya. Semoga bisa satu kelas dengan mereka, pikir Alma dalam hati.
Tiba-tiba abang Safira datang dan mengajak Safira untuk pulang. Abang Safira sudah kuliah di salah satu kampus negeri di Kota Surabaya. Sepertinya ia sengaja pulang untuk membantu persiapan adiknya masuk SMA. Enaknya jika punya kakak laki-laki. Sedangkan Alma hanya anak tunggal. Ia hanya tinggal bersama dengan ibunya yang berprofesi sebagai Guru SD. Ibunya bercerita Alma sebenarnya punya seorang kakak perempuan tapi ia meninggal di dalam kandungan saat usia kandungan ibunya 5 bulan. 4 tahun setelah keguguran, ibu Alma baru hamil lagi. Dan Alma kemudian lahir. Saat usia Alma belum genap 2 tahun, ayahnya pergi dengan wanita lain.
Menurut cerita ibunya, kala itu kondisi keuangan keluarga mereka sedang buruk. Ibu Alma hanya seorang guru honorer yang gajinya pas pasan. Ayah Alma pergi ke kalimantan untuk menjadi pekerja buruh panen kelapa sawit di sana agar bisa memenuhi kebutuhan hari-hari. Setiap bulan Ayah Alma akan mengirimkan uang kepada ibu Alma. Namun menginjak bulan ketujuh ia di sana, tidak pernah ada kabar dari suaminya. Uang pun tak pernah ditransfer lagi. Ibu Alma hanya bisa berdoa semoga suaminya baik-baik saja hidup di rantau sebatang kara. Ibu Alma mulai belajar sholat saat itu, karena sejak ia menjadi mualaf saat menikah dengan ayah Alma, tak pernah sekalipun ayah Alma membimbingnya menjadi seorang muslim yang baik. Di sekolah tempat ia bekerja, ibu Alma dekat dengan guru agama islam, bu Siti, beliaulah yang mengajarkan bagaimana tata cara sholat dan apa saja kewajiban sebagai seorang muslim. Saat itulah ibu Alma mulai mengenakan jilbab. Baju-baju lengan panjang yang menutup aurat banyak di beri oleh bu Siti karena memang bu Siti berasal dari keluarga yang cukup berada.
Bu Siti pula lah yang selalu memberi support bagi ibu Alma agar masih tetap waras membesarkan anaknya sendirian jauh dari suami dan keluarganya. Tepat setahun setelah kabar terakhir dari suaminya, tiba-tiba suaminya datang. Ia pulang. Penampilannya jauh berubah. Jauh lebih rapi. Betapa bahagianya ibu Alma saat itu mendapati suaminya yang telah lama ia nanti akhirnya pulang. Namun kebahagiaan itu langsung sirna kala suaminya datang untuk menalak cerai ibu Alma. Ayah Alma mengaku ia sudah menikah lagi secara sirih dengan seorang wanita yang dikenalnya. Dunia ibu Alma saat itu seakan runtuh. Dengan menggendong Alma yang masih kecil, ia menangis dalam diam. Menerima nasibnya yang malang. Ia bahkan tak mampu memikirkan satu katapun untuk mengutuk kelakuan suaminya yang tega menelentarkan dia dan anak mereka.
"Rumah ini juga sudah atas namamu kan, Mar. Biarlah rumah ini jadi tempat tinggal kau dan Alma. Ini ada nafkah yang seharusnya aku kirimkan setiap bulan untukmu. Aku menyimpannya selama ini agar bisa langsung aku serahkan padamu. Maafkan aku, Mar. Semoga kelak kau bisa bahagia". Hanya kata-kata itu yang sanggup Ibu Alma dengar. Karena sejak tau suaminya diam-diam menikah lagi, telinganya tak mampu mendengar kata apapun. Suara Alma yang meminta susulah yang menyadarkannya. Ibu Alma mengusap air matanya yang sudah membanjiri pipinya yang tirus. Ia pasang wajah senyum di wajahnya demi Alma, anak semata wayangnya. Dia menyusui Alma di depan suaminya sebelum Alma makin merengek. Dia tatap lurus wajah suaminya. Dengan suara bergetar ibu Alma berucap, "Aku terima uang ini karena ini hak kami. Apapun alasanmu aku tak akan menahanmu, mas. Namun ingat, karma itu nyata. Kemasilah barang-barangmu. Jika kau inginkan perceraian. Kaulah yang harus mengurus semuanya. Pergilah dari rumah ini sekarang. Kita bukan lagi muhrim. Kau juga tak berhak atas Alma dan diriku lagi".
Setelah sah bercerai, ayah Alma kembali ke kalimantan. Ia bahkan tidak menengok sedikitpun untuk Alma, anak yang mereka nanti sekian lama. Itu adalah luka tambahan yang membuat ibu Alma merasa semakin nelangsa. Ibu Alma tak bisa larut dalam kesedihan. Bu Siti selalu ada di samping ibu Alma untuk memberikannya dukungan moril maupun keuangan jika dibutuhkan. Uang yang diberikan ayah Alma ia tabung dan simpan untuk keperluan Alma suatu saat nanti. Kesedihan ibu Alma Allah gantikan dengan kebahagiaan yang berlipat-lipat. Beberapa bulan setelah ia bercerai dengan suaminya, ia diterima menjadi PNS di sekolah tempat ia mengabdi selama ini. Dan sejak saat itu kondisi ekonomi keluarga kecilnya berangsur-angsur membaik.
"Eh, Ma. Kok ngelamun???". Suara Iqbal memecahkan lamunannya.
"Eh. Hm. Ndak hehehe..." Alma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh ya, Bal. Bukannya mbakmu juga sekolah di sini?". Alma membuka topik bicara dengan Iqbal supaya tak mengingat-ingat kisah pilu ibunya. Alma sih tidak merasakan sedih atau kekurangan kasih sayang. Karena selama ini ibunya selalu ada untuknya. Ibunya setangguh itu berperan sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Karena tidak pernah ada sosok ayah di hidupnya selama ini, ia tumbuh menjadi anak yang agak pemalu. Namun kali ini, saat berhadapan dengan Iqbal, ia merasa berbicara dengan teman lamanya. Iqbal anak yang ramah dan sangat nyaman diajak bicara.
"Oh. Hooh. Mbak Hafiza kelas 2 disini. Dia OSIS loh. Jadi nanti dia yang bakal nge-MOS-in kita" kata Iqbal.
"Betulan? Waah enak dong kamu. Gak bakal diplonco nanti pas Mos" kata Alma.
"Hhhmmmm. Jare sopo. Mbak Hafiza tu mirip Hitler. Sadiiisss" Iqbal memasang wajah manyun. Mereka tertawa bersama. Saat itu kedua ibu mereka datang bersamaan.
"Loooh sudah ketemu Iqbal". Kata bu Siti saat melihat Alma dan Iqbal terlihat akrab.
Alma hanya senyum manis sambil mengangguk kecil. "Loh mana Safira?" Ibu Alma bertanya.
"Barusan pulang sama abangnya". Jawab Alma pelan setengah berbisik. "Buk, sampun beres? Syaratnya nopo wae?"
"Wes beres. Inshaa Allah. Mengko dilengkapi" jawab ibu Alma. Raut mukanya berbinar-binar. Ia sangat bangga anaknya bisa lolos di sekolah favorit.
"Nanti kalau MOS, Alma berangkat sama-sama Iqbal aja. Kan rutenya ngelewati jalurnya rumah njenengan to, bu Mar. Nanti Iqbal di antar sama bapaknya kalau pagi pake mobil. Sekalian saja to. Nanti Alma tunggu depan gang situ" kata bu Siti ramah. Ah dari dulu bu Siti memang sebaik itu. Karena itulah Alma segan dan hormat sekali padanya. Saat Alma masuk rumah sakit, bu Siti pula yang bolak balik kesana kemari mengurus ini itu agar ibunya bisa tetap di samping Alma.
"Waah ide bagus. Purun, nduk?" Ibu Alma menawari Alma. Sekali lagi Alma mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Matur nuwun nggih, bu Siti. Niki njenengan mau pulang? Nitih nopo?" Tanya ibu ke bu Siti.
"Iqbal bawa motor. Naik motor kami. Eh kami duluan ya. Mau lanjut cari tempat les buat Iqbal". Bu Siti menyalami ibu Alma. Alma dengan cepat pula salim lagi, ia raih tangan bu Siti dan menciumnya.
"Nggih bu, hati-hati. Hati-hati nak Iqbal" jawab ibu Alma. Iqbal pun mencium tangan ibu Alma.
Alma dan ibunya berjalan pelan menuju keluar area sekolah. Mereka tadi memarkirkan motornya di lapangan di depan SMA.
"Piye, wes ketemu Iqbal ya? Bocahe humble banget. Grapyak. Cepet akrab karo wong" kata ibu Alma tiba-tiba.
"Hooh e bu. Tadi ae sing datang duluan Iqbal pas aq sama Safira duduk-duduk di pos satpam tadi. Eh ternyata mereka kenal teman yang sama. Dadi guyoon ae ket mau bertiga kami" kata Alma bercerita. "Eh buk, tenan gapopo lak Alma nebeng mobil Bu Siti pas MOS nanti?"
"Haduh nduk, dari tadi bu Siti memaksa ben awakmu nebeng di mobil terus. Ndak opo to? Dari pada naik angkot pagi pagi. Iya lak ada sing langsung. Lak ngenteni full opo gak blaen mengko awakmu, nduk" kata Ibu Alma.
Mereka berdua asyik ngobrol ini itu sepanjang perjalanan sampai rumah. Alma dan ibunya layaknya sahabat. Alma tak pernah ragu menceritakan apapun kepada ibunya. Ibunya juga selalu dengan antusias mendengarkan dan menanggapi semua cerita Alma.
~~~
