BUKAN MIMPI BURUK
Membawa sebuket bunga, mengenakan kaca mata hitam dan topi. Dengan sebuah penyamaran sedemikian rupa, Lea berharap tidak ada yang mengenali dirinya sebagai seorang selebriti. Kaki jenjangnya yang memakai high heels setinggi harapan orang tua menapaki ubin keramik rumah sakit.
Perlahan, dibukanya pintu ruang rawat tersebut. Tampak seorang wanita sedang terbaring dengan alat bantu serta perban di kepala. Wanita itu adalah yang tadi malam tidak sengaja ditabrak olehnya.
“Kak, hai! Aku di sini untuk berkunjung,” ucap pelan Lea pada wanita tersebut.
Meletakkan sebuket bunga di atas nakas, saat kembali fokus pada pasien, dilihatnya wanita yang sedari tadi tidur kini telah sadar dan membuka mata.
“Kenapa kamu menabrak aku?” tanya Taksis sangat lemah.
“Aku sungguh minta maaf. Aku benar-benar nggak sengaja. Itu adalah sebuah kecelakaan,” jawab Lea dengan menyatukan kedua telapak tangannya meminta maaf kepada orang yang sudah ia celakai.
“Apakah kamu tahu ... ini sangat menyakitkan,” ujar Taksis yang kemudian memaksakan diri untuk duduk.
“Kak, kak! Tenanglah ... di mana yang sakit?”
Lea langsung panik. Ia hendak memencet tombol, tetapi langsung dicekal oleh Taksis.
“Suster, tolong!”
Lea berteriak ketakutan. Taksis mencengkeram kuat pergelangan tangan orang yang sudah menabraknya.
“Kenapa kamu membunuhku ...? Katakan kenapa kamu membunuhku!?”
“Maafkan aku! Kumohon maafkan aku ...!”
“Kenapa kamu membunuhku ...!”
“Nggak! Lepaskan aku! Nggak!”
Darah merah hitam kental terus keluar dari mulut wanita itu, membuat Lea ketakutan setengah mati.
“Lepaskan!”
Lea tersentak dan mendapati bahwa dirinya sekarang ini tengah berada di kamarnya yang nyaman dan mewah. Selimut membungkus hangat tubuhnya yang dibalut piyama berbahan satin lembut. Gadis itu menyugar rambutnya dengan frustrasi. Mimpinya barusan sangat sangat mengerikan.
Pukul 08.00 waktu Indonesia bagian barat di kota teh obeng. Sella, teman SD Lea yang sekarang menjadi asisten pribadi Lea datang berkunjung ke kondominium. Gadis itu punya akses untuk masuk ke unit milik sang artis tanpa harus menunggu dibukakan pintu.
“Lea! Apa kamu sudah bangun? Aku menelepon begitu lama kenapa nggak kamu angkat? Lea!” teriak Sella memanggil sahabat sekaligus atasannya.
Lengang. Tidak ada jawaban apa pun. Sella kemudian mencari di kamar karena mengira Lea belum bangun.
“Lea?”
Nihil, sahabatnya itu tidak berada di kamar. Meninggalkan selimut yang dibiarkan berantakan, sosok yang dicarinya tidak tampak di sana.
“Lea?”
Di kamar mandi juga kosong. Di studio musik juga kosong, semua ruangan diperiksa dan tidak ada sosok Lea.
“Lea! Aku belikan camilan kesukaan kamu banyak sekali ini! Kamu di mana? Ayolah! Jika kamu nggak makan sekarang, Bang Etan akan melarang kamu memakannya karena takut kamu menggendut!” seru Sella membujuk Lea agar keluar.
Terakhir, dapur. Tidak ada Lea di dapur, tetapi kulkas bagian freezer tampak tidak tertutup dengan rapat. Sella langsung tahu di mana ia akan menemukan Lea.
“Ya ampun! Kamu bersembunyi di sini ternyata? Aku memanggilmu berulang kali,” omel Sella begitu menemukan keberadaan Lea ternyata sedang diam-diam menikmati es krim rasa red velvet.
“Kenapa kamu datang sepagi ini? Aku jadi kehilangan waktu untuk es krim. Dasar mamak tua!” protes Lea merasa kesenangannya sudah berakhir karena pasti Sella akan melarang dirinya untuk makan es krim.
“Hei! Siapa yang kamu panggil mamak tua?” omel Sella lagi.
“Kamu lah!”
“Oke, kalau gitu kemarikan es krim itu!” perintah Sella. Itu sebabnya dirinya dipanggil mamak tua oleh Lea karena kerap melarang ini dan itu.
“Coba saja kalau bisa!”
Lea berlari sembari mengemut sendok es krim. Sementara Sella tak mau kalah dan mengejarnya.
“Berikan padaku!” perintah Sella.
“No!” tolak Lea cekikikan.
“Sini!” Sella terus memaksa.
“No!” Sementara Lea terus menggoda dan mengelak.
Sedang asyik bersenda gurau berebut es krim, tiba-tiba Bang Etan datang dan melerai. Membela Lea lebih tepatnya.
“Sella! Biarkan Lea memakan es krim itu! Nggak apa-apa untuk hari ini. Tengok! Aku beli banyak makanan hari ini. Lea boleh makan semuanya!” ujar Bang Etan dengan logat kemayunya.
Pria itu tampak membawa berkantong kantong makanan lebih banyak dari pada yang sudah dibawa oleh Sella sebelumnya.
“Serius?” tanya Lea tidak percaya.
“Of course! Jangan khawatir soal kalori, pokoknya hari ini kita berpesta!” seru Bang Etan.
Pria kemayu itu lantas membawa kantong berisi makanan yang dibawanya ke dapur sekaligus ruang makan yang menjadi satu.
“Tengok sendiri, kan? Bang Etan mengizinkan aku makan semuanya, termasuk es krim itu. Kembalikan sini!” pinta Lea agar Sella mengembalikan es krim sisanya.
“Nggak!” tolak Lea.
“Mamak tua! Kembalikan! Bang Et—” ucap Lea terhenti.
“Nah! Nah! Nah! Jangan mengadu!” Sella akhirnya mengembalikan es krim yang dipegangnya kepada Lea.
“Makasih mamak tua, hihihi!”
Usai menghabiskan es krim satu cup. Lea benar-benar dimanja hari ini. Makanan yang biasanya tidak boleh ia makan, semuanya tersaji di atas meja dan ia bebas untuk memakan semuanya.
“Ya ampun! Lea!” kejut Sella.
“Apa?” tanya Lea dengan mulut yang masih penuh dengan makanan.
“Sekalinya dapat izin dari Bang Etan, tengok piring kamu itu?” cibir Sella tidak percaya jika Lea mampu menghabiskan makanan sebanyak itu.
“Kenapa dengan piringku?”
“Itu porsi kuli. Kamu mau mokat kekenyangan?” omel Sella yang kemudian menarik piring berisi nasi Padang porsi jumbo, 4 lauk, 3 sayur, 6 gorengan.
“Eeeeh! Kembalikan! Biarkan aku makan sepuasnya, Sel. Tadi malam aku mengalami mimpi yang buruk banget. Itu membuatku stres pagi ini,” pinta Lea. Gadis itu menarik kembali piringnya.
“Mimpi buruk apa?” tanya Sella.
“Semalam aku mimpi nabrak seorang wanita. Tapi, rasanya sangat nyata. Aku pikir itu keknya bukan mimpi,” jawab Lea.
Percakapan Lea dengan Sella secara tidak sengaja didengar oleh Bang Etan. Pria itu tadinya takut kalau Lea akan histeris begitu bangun tidur jika ingat kecelakaan semalam. Namun, anehnya ternyata Lea bahkan tidak ingat sama sekali dan menyangka kecelakaan itu adalah mimpi buruk.
Bang Etan langsung mendekat dan ikut duduk di sebelah Lea, berhadapan dengan Sella.
“Lea, kamu beneran nggak ingat apa yang terjadi tadi malam?” tanya Sella.
“Tadi malam?” Lea justru balik bertanya.
“Iya, tadi malam?” ulang Sella.
“Setelah acara peragaan busana, kemudian pesta di Pasifik Palace, kemudian ....”
Gadis itu tampak sedang berpikir untuk mengingat kembali apa yang dirinya lakukan setelah pesta? Lama mengingat ingat, akhirnya ia pun menyerah.
“Kemudian apa, ya? Kok, aku nggak ingat apa-apa? Emang apa yang aku lakukan tadi malam?” tanya Lea karena dirinya sendiri gagal mengingat kembali apa yang dilakukannya sepulang dari pesta.
“Bang ....” Sella memberi kode kepada Bang Etan. Ia membiarkan pria kemayu itu mengambil alih karena dirinya sendiri takut salah bicara.
“Emmm, mabuk! Ya, kamu mabuk,” ceplos Bang Etan berbohong.
“Bener, bener!” dukung Sella.
Lea mengamati sekilas ada yang tidak wajar dengan sikap sahabatnya dan manajernya seperti sedang melempar kode. Namun, kepalanya terlalu berat untuk memikirkan hal hal semacam itu.
“Kamu mabuk dan dan menghina Violin. Pokoknya seru banget. Untungnya Jeng Anne mengusir semua wartawan. Kalau nggak, bisa-bisa aku dan kamu jadi trending, hahaha!” Bang Etan berakting dengan sempurna seolah-olah perkelahian itu benar adanya di hadapannya.
“Benar begitu?” tanya Lea meragu.
“Iya, cyiiin! Benar kan, Sella?” Bang Etan meminta dukungan Sella sembari melempar isyarat yang langsung dimengerti oleh Sella.
“Hu’um. Bener banget, kamu sangat mabuk,” dukung Sella sesuai dengan permintaan Bang Etan.
“Oh, pantesan aku sakit kepala. Berat banget kepalaku,” keluh Lea kemudian.
Usai menghabiskan makanannya, Lea digiring kembali ke kamarnya oleh Bang Etan dan Sella. Hari ini, Lea juga dibebas tugaskan dari semua job agar bisa full beristirahat. Alasan sebenarnya agar Lea tidak tahu kehebohan di luar sana orang-orang sedang membicarakan tentang kecelakaan yang melibatkan dirinya.
“Ini.” Bang Etan menyodorkan tablet obat kepada artisnya.
“Apa ini?” tanya Lea.
“Obat penghilang mabuk. Minumlah!” perintah Bang Etan.
Tidak menaruh curiga apa pun. Selama ini mereka adalah orang kepercayaannya yang tidak mungkin mencelakai dirinya. Lea segera menelan tablet obat tersebut dan meloloskannya dengan air putih.
“Oke, sekarang kamu harus tidur. Tengok wajahmu yang paripurna ini jadi pucat. Tidurlah berlian, permata, mutiara, uh!”
Setelah menyelimuti dan memastikan artisnya beristirahat dengan nyaman. Bang Etan keluar dari kamar Lea. Baru saja merapatkan pintu, Sella sudah tidak sabar untuk memintanya segera datang.
“Bang Etan, sini!” panggil Sella.
“Apaan?”
“Sini dulu!”
Sella menggeret tangan Bang Etan, kemudian membawa pria kemayu itu menjauh dari kamar Lea.
“Apa yang terjadi tadi malam?” tanya Sella.
Sejak tadi hanya mengikuti perintah melalui isyarat dari Bang Etan tanpa tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi. Secara garis besar, Sella tahu bahwa mobil milik Lea menabrak seorang wanita. Akan tetapi, Sella tidak tahu cerita sebenarnya bagaimana.
Kemudian Bang Etan pun menjawab rasa penasaran Sella termasuk mengatakan bahwa malam itu Lea menelepon dan mengatakan bahwa telah dibius.
“Lea dibius!?” kejut Sella.
“Kecilkan suaramu, astaga!” perintah Bang Etan takut kalau Lea bangun dan mendengar pembicaraan mereka berdua.
“Sorry, sorry! Siapa yang membius Lea? Kita harus lapor polisi,” tanya Sella semakin penasaran.
“Aku nggak tahu siapa pelakunya, aku juga ingin menyeret orang itu ke penjara. Tapi, aku nggak bisa melakukannya sekarang. Tadi malam aku pikir aku datang paling pertama, ternyata sudah ada polisi di belakang kami, untung aku bilang ke Temon untuk mengendarai mobil Lea dan polisi melihat Temon di mobil itu. Sekarang Temon dibawa ke kantor polisi,” ujar Bang Etan menerangkan secara singkat kronologi penukaran pengemudi sebelum polisi berhenti dan turun untuk memeriksa.
“Temon ditangkap polisi!?” Lagi-lagi, gadis itu terkejut. Bagaimana bisa orang lugu seperti Temon dibawa ke kantor polisi untuk menanggung kesalahan yang sama sekali tidak diperbuat.
“Kalau nggak begitu bisa-bisa Lea yang ditangkap. Waktu aku tiba, Lea sudah pingsan, kurasa efek obat bius itu betul-betul bekerja padanya. Aku menyembunyikan Lea di mobilku,” lanjut Bang Etan mengungkapkan bagaimana ribetnya dia waktu itu.
“Bang Etan, obat bius macam apa itu? Kenapa Lea nggak ingat apa-apa?” tanya Sella.
“Obat ini disebut scopolamine. Siapa pun yang dibius dengan obat ini menjadi rentan terhadap ingatan jadi mereka nggak akan sadar melakukan apa lalu lupa setelah efek obatnya hilang.”
Persis seperti yang dikatakan oleh Bang Etan. Sebelumnya tujuan dari Presdir John adalah demikian. Pria tua itu ingin meniduri Lea kemudian setelah semuanya selesai, Lea tidak akan ingat apa-apa tentang pelecehan yang dialami, sehingga Presdir John aman.
“Bang Etan, menurut kamu apa ada orang lain yang mengetahui semua ini?” tanya Sella yang khawatir kalau sampai semuanya terbongkar pasti Lea akan dijebloskan ke penjara.
“Jangan khawatir! Aku Etan Kalbara, aku bisa membungkam semua orang!”
Optimis seperti biasanya. Bang Etan mengurus semuanya dengan rapi. Menggunakan banyak uang untuk membereskan segala kekacauan ini.
Di tempat lain, orang-orang yang membenci Lea menunggu gadis itu muncul di publik dengan wajah sembab dan mengaku bersalah, sehingga siap untuk mengenakan pakaian berwarna oranye.
“Violin, Violin!” geger Tambun tampak happy sekali.
“Hemmm!”
“Aku dengar Bang Etan membatalkan semua job Lea hari ini dan menyebabkan kegilaan di seluruh industri, hahaha!” wanita bertubuh gemuk itu merasa sangat puas kali ini.
“Dia mau sampai kapan menyembunyikan artisnya itu yang udah nabrak orang, ha?” cibir Violin yang juga merasa sangat senang dengan musibah ini. Bahkan, ia belum tahu kalau korban kecelakaan itu adalah Taksis. Jika sampai tahu, gadis tua itu sudah pasti melompat penuh kemenangan. Ini namanya melempar satu batu kena dua burung sekaligus.
“Tapi wartawan juga bergosip, Lyn. Bang Etan melobi semua media berita untuk tidak memberitakan Lea. Dia bilang itu hoax dan jika sampai ada pemberitaan serupa lagi, pihak Lea akan mengirim pengacara untuk menuntut si penyebar hoax,” lanjut Tambun dengan berita yang kurang menguntungkan bagi mereka berdua.
“Cih! Dia pikir dia cukup besar untuk bisa melindungi Lea?”
Kendati demikian, Violin masih sangat yakin kalau Lea akan benar-benar hancur sekarang. Sekuat dan sebanyak apa pun yang membela Lea, tetap saja tindakan membahayakan nyawa orang lain adalah kejahatan besar.
