Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Ada Apa Dengan Luna?

Bab 9 Ada Apa Dengan Luna?

Ansel memutar otak, mencari cara untuk menyelamatkan Mary dan Luna. Jelas sekali, gerombolan pemburu itu akan berpesta pora menikmati Luna dan istrinya. Mereka memanggul Mary dan Luna yang telah diikat—sembari tertawa-tawa senang, mencari tempat yang lebih lapang di dalam hutan. Dan mereka menemukannya, tidak jauh dari bangkai rusa yang mulai dikerubungi lalat.

Ansel mengendap-endap, berusaha mencari cara untuk menyelamatkan Luna dan istrinya. Sebagaimana Mary, dia tahu bagaimana para pemburu liar bila menemukan wanita di hutan. Tidak peduli tua atau muda, manusia atau makluk jadi-jadian. Tak jarang, Ansel dan Mary menemukan, perilaku menjijikkan mereka, yaitu melampiaskan pada hewan buruan yang berhasil ditangkap. Yang penting nafsu mereka terpuaskan. Bahkan tak segan mereka melukai dan membunuh bila sudah selesai berpesta.

Ansel mencari batang kayu atau batu yang agak besar. Mungkin dia bisa membekuk salah satu. Sialnya, dia tidak menemukannya apa pun dalam waktu singkat. Tidak ada yang bisa dijadikannya senjata, selain senapan bius di tangannya. Batu atau ranting tidak akan bisa melumpuhkan orang-orang ganas seperti mereka. Satu-satunya cara, adalah melumpuhkan mereka satu per satu dengan senapan biusnya—tapi waktunya tidak akan mencukupi.

Apalagi salah satu dari mereka—si jangkung, sudah membuka ikatan Luna dengan tergesa dan melempar tubuh Luna ke tumpukan daun kering.

“Jangan sentuh dia!” teriak Mary marah melihat si Jangkung hendak menperkosa Luna. Luna menjerit-jerit, membuat si Jangkung semakin senang. Sementara Mary diikat di pohon, karena selalu menendang pemburu yang membopongnya.

Luna berteriak histeris, dan memukul-mukul pemburu yang sudah duduk di atas kakinya. Si jangkung malah tertawa-tawa senang. Dia merobek baju Luna, dan mendapati gadis itu memakai rompi tebal hingga menutup sampai pangkal pahanya.

“Apa ini? Kau mengejekku, hah?” maki permburu itu, kesulitan membuka paksa rompi Luna. Luna berterima kasih pada Mary yang sudah meminjaminya rompi pelindung ini. Tidak hanya melindungi dari binatang buas, tapi juga manusia buas seperti pemburu yang mengunci kedua kakinya.

Luna mencari-cari benda di sekelilingnya dan dia mendapatkan batu sekepalan tangannya.

Bug!

Batu yang ditimpukkan Luna hanya mengenai pelipis si Jangkung. Permburu itu kalap, lalu menempeleng Luna.

“Lepaskan dia!” teriak Mary histeris.

“Ikat tangan dan kakinya!” perintah si jangkung pada salah satu anak buahnya. Luna meronta-ronta sekuat tenaga, tapi tenaganya kalah kuat dengan pemburu-pemburu yang sudah kalap.

JLUB!

“Aargg ...!” Si Jangkung mengaduh. Dia meraba tengkuknya dan mendapati sebuah jarum menyerempet lehernya, dan menggantung di sana. Sontak dia menolah ke belakang dan mendapati Ansel yang membeliak ke arahnya. Tembakan senapan biusnya meleset.

“Ansel, lari!” teriak Mary histeris.

Tapi terlambat, dua pemburu sudah menyerbu dan memukulinya, sebelum Ansel sempat melawan apalagi melarikan diri. Dan tak lama kemudian, Ansel pun menyusul diikat di pohon yang sama dengan Mary, saling membelakangi.

“Kenapa kamu menyusul? Bukannya mencari bantuan?” sergah Mary.

“Mana mungkin aku meninggalkan kalian demi bantuan? Keburu kalian disantap beruang,” desis Ansel sembari berusaha menoleh ke belakang. Tapi pandangannya terbatas oleh batang pohon.

“Masih mending disantap beruang, daripada disantap mereka,” ujar Mary geram, “Lagipula, kenapa tembakanmu bisa meleset? Harusnya si jangkung itu sudah tertidur seperti beruang hibernasi.”

Mary mendengar Ansel meludah. Dia selalu melakukannya bila sedang marah, tapi tak bisa melakukan apa-apa.

Si jangkung mendekati Mary dan Ansel. Dia sangat marah karena hajatnya tertunda, gara-gara Ansel menembaknya dengan senapan bius, dan hanya menyerempet lehernya. Meski tidak membuatnya terbius, tapi dia mulai merasakan sedikit pusing.

“Kalian sudah mengusik kami, ada harga yang harus dibayar!” bentak si Jangkung sembari melayangkan tinju ke muka Ansel.

Mary memekik, tapi pemburu yang lain membekap mulutnya kasar.

“Lepaskan mereka,” ucap Ansel datar, “aku akan bayar berapa pun.”

Si Jangkung terbahak. “Berapapun? Berapa yang sanggup kau bayar?”

“Dengar,” ucap Ansel sembari menatap si Jangkung yang mengarahkan senapan ke dahinya, siap menarik pelatuknya bila Ansel salah bicara, “Di tepi hutan ada mobil pick up milikku, kalian bisa mengambilnya. Asalkan lepaskan mereka.”

“Tidak sebanding, Bos. Hahaha ...”

Si Jangkung terkekeh. “Kau dengar, kan? Anak buahku mau lebih dari itu.”

“Kalian bisa membawaku, aku sangat berharga di BBC London.”

“Ansel, tidak!” teriak Mary putus asa.

Si Jangkung menarik pelatuk dan Ansel merasakan ujung senapan menempel di keningnya dingin. Dalam hitungan detik, dia hanya akan menjadi nama di BBC London. “Kau pikir aku percaya?”

“Lihat saja di sakuku, ada ponsel. Kau bisa menelpon BBC untuk meminta tebusan. Mereka akan membayar berapa pun yang kau minta.”

Si Jangkung mendekatkan wajahnya ke wajah Ansel, lalu menjilat pipi Ansel. “Hm, baumu memang seperti uang, akan aku pertimbangkan. Sepertinya, aku juga bisa menikmatimu.”

Ansel merasa perutnya tiba-tiba mual. Pemburu di hadapannya benar-benar lebih nista dari binatang.

Tiba-tiba terdengar teriakan Luna lagi. Rupanya ketiga anak buah si Jangkung sudah tak sabar. Salah seorang dari mereka, mendekap Luna membuat gadis itu semakin meronta.

“Hei, lepaskan!” teriak si Jangkung, membalikkan badan menuju Luna dan anak buanya, “Tidak ada yang mendahuluiku!”

Tiba-tiba, pemburu yang memeluk Luna tadi melompat dan mundur ke belakang.

“Caro!” teriak pemburu itu ketakutan, sembari menunjuk-nunjuk Luna yang tertelungkup di tanah. Dua pemburu lainnya juga tampak ketakutan dan menjauhi Luna.

Si Jangkung mendekat ke arah Luna. Ketiga anak buahnya, mencegahnya.

“Dia Caro, Bos! Caro!” teriak pemburu itu, kemudian menumpu kaki di lutut dan menangis seperti anak kecil yang hendak dihukum.

Mary dan Ansel yang melihat kejadian itu tidak mengerti apa yang telah terjadi.

“Kenapa mereka? Ada apa dengan Luna?”

Si Jangkung mendekati Luna. Gadis itu beringsut hingga badannya menempel ke batang pohon. Si Jangkung berjongkok di depan Luna, menjambak rambutnya dan menundukkan kepalanya. Perlahan dia menyibak rambut di tengkuk Luna.

Seketika dia membeliak demi melihat tanda lahir di tengkuk Luna.

“Caro! Ampuni kami!” seru Si Jangkung, diikuti anak buahnya.

Keempat pemburu itu merunduk dan bersujud di depan Luna, sembari meneriakkan kata-kata yang sama, penuh ketakutan.

“Caro! Ampuni kami!”

“Caro! Ampuni kami!”

Luna perlahan berdiri, menyandar ke batang pohon. Dia menoleh ke arah Ansel dan Mary yang terikat di pohon tidak jauh darinya. Kedua orang itu menggeleng, sama tidak mengertinya dengan Luna.

“What?” tanya Luna pada Mary dengan gerakan bibir, tak bersuara. Mary menggeleng tak mengerti.

Luna mengamati keempat pemburu di hadapannya. Bersujud meminta ampun. Padahal beberapa menit yang lalu, mereka begitu bernafsu hendak memperkosanya. Sepertinya, situasi berubah tanpa bisa dipahaminya. Ansel dan Mary pun tahu, hukum sebab akibat apa yang telah terjadi di depan mata mereka.

“Mungkin aku mirip Caro, bos besar mereka,” batin Luna.

Luna sekarang merasa di atas angin. Keempat pemburu itu sama sekali tidak berani mengangkat muka menatapnya.

“Kamu, sini!” perintah Luna, mencoba untuk memastikan posisinya.

Si jangkung mengangkat kepalanya sedikit. “Saya, Caro?”

“Sini!” perintah Luna.

Si Jangkung merangkak mendekati Luna, lalu kembali bersujud tepat di bawah kaki Luna. Perlahan, Luna menginjak lehernya. Pemburu ketakutan itu tidak mengaduh. Bahkan ketika Luna menekan ujung sepatunya, dia hanya bergumam meminta ampung.

Sejenak Luna menoleh pada Mary dan Ansel. Kedua orang itu mengangguk-angguk, setuju dengan perbuatannya.

“Yang lain, lepaskan ikatan mereka,” ucap Luna, gemetar. Dia masih belum yakin pada posisinya. Namun sejurus kemudian, dia mulai memahami situasi—meski tidak ada penjelahan ilmiah secuil pun. Ketiga pemburu itu, langsung bangkit dan melepaskan ikatan Mary dan Ansel dengan tergesa. Mereka menjadi lebih patuh padanya, daripada pada bosnya—si Jangkung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel