Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Jebakan Untuk Aro

Bab 8 Jebakan Untuk Aro

Ansel menghentikan mobil pick up, di tepi hutan, tepat di sebuah aliran sungai yang keluar dari dalam hutan. Hari sudah siang, tapi matahari masih tertutup mendung. Udara terasa dingin selepas hujan, tapi tak mengurungkan suami istri itu untuk menemukan Aro.

Mary dengan cekatan membantu Ansel menurunkan benda-benda hasil rakitan mereka. Selama dua hari ini, Ansel menggunakan rancangan jebakan tikus buatan Aro—untuk membuat jebakan untuk Aro.

Semula Mary menolak, apalagi melihat paku panjang tajam yang nanti pasti akan menusuk Aro—bila dia masuk ke dalam jebakan. Tapi Ansel tentu tidak membuatnya demikian. Dia mengubah sedikit rancangan Aro, sehingga paku-paku panjang dan tajam itu hanya akan mengunci Aro untuk tidak bisa bergerak, bukan menusuknya.

Luna turun dari mobil. Ansel akhirnya mengijinkan Luna untuk ikut menjebak Aro, atas bujukan Mary. Sebagai seorang ibu yang sudah membesarkan Aro, dia tahu kalau Aro sedang kasmaran dengan Luna. Demi wanita itu, Aro berani menyelundupkannya ke ruang bawah tanah—melanggar ketentuan ibunya. Pastinya, kalau bukan karena Aro menyukai Luna, dia tidak akan senekad itu. Meski Mary yang memantau dari kamera tersembunyi, tahu bahwa dua anak muda itu hanya bercanda dan tertawa selama mereka melakukan ekperimen. Bukan melakukan perbuatan yang akan membuat Mary marah.

Dan Luna adalah umpan terbaik untuk Aro, saat ini.

Mereka bertiga masuk ke dalam hutan, membawa peralatan jebakan yang belum dirakit. Mereka menemukan sebuah space yang agak lapang untuk meletakkan jebakan. Di antara sebatang pohon dan sebuah pohon roboh di sebelahnya.

“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Luna mendekati Mary dan Ansel yang sedang merakit jebakan.

Mary menoleh dan tersenyum. “Kau sudah memakai rompi yang kuberikan?”

Luna mengangguk sembari menepuk dadanya. Dia merasa agak sulit bernapas karena rompi tebal yang membungkus badannya dari leher sampai pangkal paha. Melindungi bagian tubuh terlemahnya.

“Jangan lupa kau pakai helm yang diberikan suamiku,” ucap Mary, “Ikat rambutmu dan masukkan semua ke dalam helm.”

Luna menangguk. Sembari mengikat rambutnya, dia mengamati sepasang suami istri yang bekerja dengan cekatan dan kompak. Tanpa banyak bicara, seolah koordinasi kerja mereka melalui telepati. Kata Aro, kedua orang tuanya sudah terbiasa berada di hutan dan gurun. Diam adalah kunci agar bisa mendapatkan hewan yang hendak mereka buru gambarnya. Jadi, mereka hanya saling bicara bila sudah di rumah.

DOR!

Mereka bertiga terkesiap mendengar suara tembakan itu.

“Ansel, kurasa itu pemburu,” ucap Mary panik, membeliak menatap suaminya.

Selama belasan tahun mereka bekerja mengambil gambar hewan di berbagai belahan dunia, keluar masuk hutan—sudah berkali-kali bertemu dengan pemburu liar. Pemburu yang tidak peduli apakah hewan yang diburunya adalah hewan langka atau dilindungi. Bila berusuran dengan mereka, lebih baik mengalah dan menyingkir. Karena mereka kadang lebih buas dari binatang liar—bila itikadnya dihalang-halangi.

“Pemburu dilarang di musim sekarang,” sahut Ansel, meski dalam hatinya dia sangat yakin, itu adalah pemburu. Dia kerap mendengar suara tembakan sampai ke rumahnya, meski sayup-sayup. Dan keesokan harinya pasti ada berita di koran lokal kalau pemburu berhasil menembak beruang atau bahi hutan. Padalah musim berburu belum diumumkan oleh pemerintah.

“Luna!” seru Mary. Terlambat, Luna sudah berlari menuju sumber suara tembakan itu. Mary menyusulnya, tanpa mengindahkan Ansel yang menyuruhnya menunggu.

Meski Mary mengetahui protokol yang harus dilalui mereka berdua bila bertemu dengan pemburu, tapi karena ini berkaitan dengan Aro—dia spontan melupakan semuanya. Apalagi Luna sudah lebih dulu menuju suara itu. Bahkan Mary tidak membawa senapan biusnya. Senapan itu tergeletak di sebelah kotak peralatan.

Dua wanita itu sudah menghilang ke hutan yang lebih dalam. Ansel bergegas menyelesaikan jebakannya. Bila jebakan tidak terpasang sempurna, dia khawatir malah akan melukai Aro.

Beberapa saat setelah menyelesaikan jebakan, Ansel meraih senapan bius milik Mary dan miliknya, lalu menyusul masuk ke dalam hutan.

OoO

Luna sudah sampai di tepi sungai. Di kejauhan dia melihat gerombolan lelaki yang menyandang senapan sedang merubungi sesuatu. Mata jelinya menangkap, yang dikerubungi oleh gerombolan pemburu itu adalah seseorang yang tergelak di tanah. Bertelanjang kaki, memakai jeans yang sama dengan yang dipakainya saat ini, dan T-Shirt yang compang-camping dan tak putih lagi.

Salah seorang dari mereka menendang orang yang tertelungkup itu, dan erangan kesakitannya terdengar begitu jelas di telinga Luna.

“Aro,” seru Luna. Dia yakin pasti Aro telah ditembak oleh pemburu itu. Luna hendak berlari mendekat, tapi tahu-tahu lengannya ditarik.

“Tunggu, Luna,” bisik Mary, sembari menarik Luna ke semak-semak, “Mereka pemburu liar, berbahaya.”

“Mereka menembak, Aro!” desis Luna panik.

“Aku tahu, kamu di sini saja. Biar aku yang akan menyelematkan Aro.”

Luna menurut. Mary mengendap-endap di balik semak-semak. Seruan Luna memanggil Aro tadi, rupanya telah terdengar oleh para pemburu dan mereka berjalan mendekati arah Luna dan Mary. Mary memberi kode pada Luna untuk merunduk lebih dalam, bersembunyi agar tidak kelihatan.

“Woi, siapa di situ. Keluar!” teriak si jangkung, sembari mengokang senapan.

“Tembak saja, Bos. Paling rusa atau babi hutan.”

Suara langkah semakin mendekat, dan Mary memutuskan untuk keluar dari semak-semak.

“Hm, hantu hutan. Cantik, tapi sudah tua,” seru di jangkung sembari terkekeh, sembari berjalan mendekati Mary, sedangkan dua temannya masih berdiri di dekat Aro yang tertelungkup di tanah.

“Jangan ganggu dia,” ucap Mary, sembari mundur pelan-pelan. Dia merogoh saku celana dan menyadari senapan biusnya ketinggalan. Dia harus mencari cara lain agar bisa terhindar dari pemburu liar di depannya. Mereka biasanya sudah berhari-hari berada dalam hutan. Melihat wanita bisa membangkitkan nafsu lain selain berburu binatang.

Si jangkung mendekatinya sembari menyeringai. Seperti dugaan Mary, mata liarnya memindai tubuh Mary penuh nafsu. Pikiran Mary hanya satu. Jangan sampai para pemburu ini menangkap Luna. Mereka akan dengan sangat beringas berpesta.

Tibat-tiba, beruang yang tadi berkelahi dengan Aro, muncul di antara Mary dan si Jangkung. Sontak di jangkung mengarahkan senapannya pada si beruang, yang mengeram padanya. Dua temannya yang lain, bergegas meninggalkan Aro dan mendekati si jangkung, sama-sama mengarahkan senapan ke arah beruang itu. Mereka begitu bergairah, akhirnya mendapat buruan tepat di depan mata.

“Tidak, mereka kan membunuhnya,” desis Mary khawatir. Perlahan, Mary merunduk dan mengambil dua buah batu sebesar kepalan tangannya. Lalu ditimpuknya kepala beruang itu.

Beruang itu mengaum marah.

“Pergi! Pergi!” teriak Mary, mengambil batu demi batu dan melemparkannya ke arah beruang itu. Beruang itu membalik badan dan berlari ke dalam hutan.

“Kurang ajar!” teriak si jangkung, “tangkap setan betina itu!”

Dua pemburu segera meringkus Mary yang telah dianggap mengganggu perburuan mereka. Tiba-tiba, seorang pemburu lagi keluar dari semak-semak, dengan Luna dalam bekapannya.

“Bos, ini lebih segar!” teriaknya sembari terkekeh.

Gerombolan pemburu liar itu gembira luar biasa dengan tangkapan mereka. Dua wanita yang akan memuaskan mereka, karena telah gagal mendapatkan binatang buruan.

Ansel terlambat datang. Dari balik pepohonan, dia mendapati Mary dan Luna diikat, dan para pemburu liar itu tertawa-tawa gembira, bahkan ada yang sampai melompat-lompat saking senangnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel