Bab 7 Beruang dan Pemburu
Bab 7 Beruang dan Pemburu
Napas terengah dan geraman memenuhi sekeliling sebuah pohon Oak tua. Akarnya yang melesak dari dalam tanah, membentuk gumpalan-gumpalan coklat serupa tanah. Daun-daun kering berserak di sekitarnya—bercampur dengan tanah berlumut seolah tergali dari bawah akar pohon, menandakan telah terjadi aktivitas cukup tinggi sebelumnya.
Lunaro menyandarkan punggung di gumpalan akar Oak setinggi punggungnya. Napas terengahnya perlahan teratur, dan geramannya berubah menjadi desah napas lelah. Perlahan, matanya yang mengabur mencoba memindai sekelilingnya.
Sinar matahari samar, menembus sela-sela lebatnya canopi hutan.
Aro mengamati daun kering yang bercampur tanah. Banyak bekas cakaran tajam di tanah—membuat daun-daun itu berserak tak beraturan, seperti bekas sebuah kemarahan. Dan ada yang teronggok tak jauh darinya.
Binatang berkaki empat, dengan leher nyaris putus. Tanduk bercabangnya patah. Sekujur badannya penuh bekas cakaran—dan darah segar masih mengalir dari luka-luka itu. Bau daging mentah, membuat perut Lunaro berteriak—kelaparan.
Namun rasa lapar itu, justru membuatnya mundur sembari duduk. Menjauhi rusa yang tak lagi bernyawa, dan pokok pohon Oak yang menjulang tinggi. Rusa itu, makhluk yang sebelum matahari terbit—berada dalam cengkeramannya. Dan ketika jerit kesakitan binatang itu lenyap bersamaan dengan tangan dan kakinya yang tak lagi meronta, Lunaro merasa ada yang berubah pada tubuhnya.
“Oh God, apa yang terjadi?” desisnya tidak mengerti.
Telinganya menangkap suara air mengalir. Kering di kerongkongannya, memaksanya untuk membalik badan. Perlahan dia merangkak, lalu bangkit menuju sumber suara. Sebuah sungai yang tidak seberapa lebar. Sejenak dia menatap langit dengan mendung menggelayut. Dia tidak bisa menentukan, apakah hari masih pagi, siang atau sore. Rasanya, semalam dia berlari sangat jauh, dan tak menemukan tepi hutan.
Lunaro duduk di tepinya, meraih air dengan kedua telapak tangannya. Dilihatnya, sepasang tangan manusia dengan kesepuluh jemari yang sempurna. Semalam, Aro nyata melihat, jari-jari ini bercakar dan berbulu, juga jemari kakinya. Aro menatap bayangan wajahnya di aliran air. Seraut wajah tampan berambut ikal berantakan, dengan sepasang mata biru jernih. Tidak ada bulu tebal yang menutupinya, apalagi telinga runcing yang melampui kepalanya.
Tiba-tiba, tetesan air menerpa lengannya. Hujan. Aro tak beranjak dari tepi sungai. Dibiarkannya hujan membasuh lengannya yang tak lagi terbungkus kain. Kaos lengan panjangnya, sobek hingga ke lengan.
Hujan semakin deras, bersamaan dengan flashback ingatannya yang mendesak-desak di kepalanya. Tatapan ngeri Luna dan pekik ketakutan Bibi Suzane. Pesta ulang tahun yang menjadi berantakan, hanya karena listrik padam. Dan, sesuatu yang meledak-ledak dari dalam tubuhnya, memaksa keluar dan menyebabkan kesakitan luar biasa. Selanjutnya, yang dia ingat adalah ketakutannya sendiri, hingga berlari sekencang-kencangnya.
“Luna, maafkan aku,” desis Aro, dadanya serasa teriris.
Tak pernah dia melihat Luna sengeri itu menatapnya. Bahkan tikus matipun tak pernah membuatnya begitu ketakutan—seperti gadis pada umumnya. Dia yakin, Luna tidak akan mau lagi berteman dengannya.
Dan Aro tidak punya penjelasan ilmiah apa pun untuk gadis itu, bila mereka bertemu nanti. Menjelaskan apa yang telah terjadi padanya. Selama beberapa waktu, dia hanya memahami bahwa Ansel dan Mary—kedua orang tuanya, mendalihkan kasih sayang dan cintanya untuk Aro, dengan mengurung Aro di kamar berpintu baja. Setiap bulan, menjelang purnama.
Aro hanya memahami, bahwa bila saat itu tiba, dia merasakan rasa nyeri hebat di sekujur tubuhnya—seolah ada sesuatu yang hendak mendesak keluar. Sehingga dia akan berusaha memaksa keluar kamar dengan mencakar-cakar seluruh dinding tak berjendela. Rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya akan memanjang dan akan meremang. Suaranya menjadi geraman.
Kamu sakit, Aro. Begitu Mary selalu membesarkan hatinya. Dan bila dia dikurung selama tiga hari, sakitnya akan mereda. Hanya itu yang dipahami selama ini oleh Aro. Dan baru di hari ulang tahunnya, dia mulai merasa bahwa penyakit yang selalu diucapkan Mary adalah kengerian seperti malam itu.
Entah kenapa, malam itu kedua orang tuanya, tidak mengurungnya.
“Ada apa denganku?” tanya Aro menggumam. Kelebatan-kelebatan ingatan yang kini semakin menjelas, membuatnya semakin bingung.
Bunyi daun dan ranting terinjak, membuat Aro kembali menyadari bahwa dia di tepi sungai. Hujan sudah mereda sejak tadi, namun Aro tetap duduk di tepi sungai. Aro menoleh ke sumber suara. Sekitar seratus meter di sebelah kirinya, seekor beruang setinggi badannya, keluar dari balik pohon. Langkahnya menuju sungai, merunduk, lalu memajukan moncongnya ke aliran air. Dia minum.
Sontak Aro menegang. Dia berada di hutan, pastinya banyak binatang buas. Dilihatnya, cakar beruang itu, sama dengan cakar di tangannya—semalam. Perlahan Aro mendekati beruang itu. Beruang itu menoleh, dan menatap tajam Aro yang berjalan ke arahnya—tanpa merasa gentar. Beruang itu mengeram, dan memasang posisi bertahan. Namun dia tidak menyangka, manusia di depannya tiba-tiba melompat ke arahnya, dan memukuli kepalanya.
Auman dan geraman beradu dengan suara mereka berdua berguling-guling di tanah. Teriakan Aro yang marah—akibat semakin tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya, dan raungan beruang yang merasa terancam, memenuhi hutan. Burung-burung yang terkejut beterbangan panik dari pokok-pokok pohon. Teriakan monyet yang semula bergelantungan, lari ketakutan di dahan-dahan pohon.
Perkelahian manusia dan beruang itu berlangsung beberapa saat. Beruang itu semakin beringas, bila Aro berhasil menghantam kepalanya. Demikian juga Aro, bila setiap cakar beruang itu melukai badannya. Hingga sebuah bantingan, membuat Aro terlempat agak jauh dari beruang itu, menghantam batang pohon.
Aro memekik kesakitan, lalu mengerang. Dari dalam dirinya, terasa ada sesuatu yang hendak mendesak keluar. Sesuatu yang membuat Luna menatapnya ngeri. Sesuatu yang dia tidak ingin terjadi pada dirinya lagi, karena sesuatu itu membuatnya tidak bisa lagi kembali. Pada Luna yang selalu tertawa bersamanya. Pada Ansel yang penuh perlindungan. Dan pada Mary yang selalu memeluknya penuh kehangatan dan kasih sayang.
Satu kilometar dari Aro dan beruang yang sedang bertarung—serombongan pemburu mendengar raungan yang menggema ke seluruh penjuru hutan. Burung-buruang dan binatang pohon yang berlarian ketakutan, membuat wajah-wajah mereka menjadi bergairah.
“Arah sungai,” bisik kepala rombongan bertubuh jangkung. Dia mengkokang senapannya, lalu memimpin ketiga anak buahnya menuju sungai. Suara raungan, geraman dan teriakan menjadi satu, membuat mereka semakin bersemangat.
Mendekati sungai, mereka menemukan bangkai rusa yang penuh luka cakaran, dan leher yang nyaris putus. Lukanya menganga dengan darah mengering dan sebagian basah terkena air hujan.
“Siapa pun itu, sudah mendahului buruan kita,” ucap si jangkung, “itu artinya dia menantang kita. Ayo cepat.”
Mereka berempat mengendap menuju sungai. Ada gerakan-gerakan di sungai, sebuah perkelahian. Raungan dan teriakan mendominasi.
“Apa itu, bos?”
“Sepertinya beruang. Mungkin dengan harimau. Kita bisa mendapatkan keduanya.”
Sementara itu, Aro sebagaimana beruang tandinganya, seolah tak kehabisan energi. Padahal mereka sudah saling membanting dan melukai. Sebuah bantingan, membuat Aro kembali terpelanting. Beruang itu masih kuat. Dia berjalan penuh kemarahan menuju Aro yang tersungkur setelah dihantamkannya ke batang pohon.
Aro melirik beruang yang mendekat. Diambilnya sebuah batu berukuran dua kali lipat kepala beruang itu. Perlahan dia bangkit dan mengangkat batu itu tinggi-tinggi. Dia harus mengakhiri perkelahian ini. Manusia atau beruang yang akan memenangkannya.
DOR!
Aro meraung. Pundaknya terasa panas, dan tak lagi kuat mengangkat batu. Batu itu terjatuh, bersamaan dengan Aro menatap pundaknya yang memerah dengan cepat.
