Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Umpan Untuk Aro

Bab 6 Umpan Untuk Aro

“Pergilah dari sini,” usir Alung sembari mendorong tangan Ansel yang berusaha mencapai bahunya.

“Alung, maafkan aku. Aku tidak mengira kalau ...”

“Pergilah. Klan serigala itu pasti bisa mencium baumu. Mereka pasti akan mencarimu. Dan aku tidak ingin menjadi sasaran untuk kedua kali.”

Ansel menghela napas panjang. Tidak menyangka sama sekali, tindakan mereka akan berdampak buruk pada Alung, membuat orang itu kehilangan penglihatannya. Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana ketika peristiwa itu terjadi. Pasti sangat menakutkan dan mengerikan.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk Lunaro?” bisik Ansel. Sudah pasti dia tidak akan mengembalikan Lunaro ke belantara Kalimantan. Anak kesayangannya itu, sudah terbiasa dengan kehidupan kota, terpenuhi segala kebutuhannya.

“Kamu tidak bisa mengembalikan masa lalu, Tuan Ansel. Kamu hanya bisa memperbaikinya.”

“Bagaimana caranya, Alung?”

Alung menggeleng, membuat Ansel putus asa.

“Jangan pernah kembali ke sini.”

Ucapan Alung terasa begitu menusuk dada Ansel. Dia tahu kehidupan lelaki itu saat menjadi pemandunya. Lelaki miskin dengan empat orang anak dan mempunyai keberanian luar biasa untuk membawanya ke pedalaman belantara Kalimantan. Tidak banyak orang yang mau melakukannya—bahkan demi uang.

“Di mana anak dan istrimu?”

Alung terdiam. “Bulan kemarin, anak bungsuku menikah dan pergi ke Pontianak. Anak-anakku, tidak ada yang mau merawat lelaki buta sepertiku, apalagi sejak istriku meninggal karena melahirkan.”

Ansel tak bisa lagi membendung genangan air di matanya. Dia sudah menempatkan Alung dalam keterpurukan.

“Pergilah, dan jangan pernah kembali kalau kau tidak ingin mengalami nasib sepertiku.”

Ansel bangkit dari duduknya. Sebelum menuju pintu, dia menggenggamkan sejumlah lembaran uang di tangan Alung. Berharap jumlah itu bisa menggantikan penderitaan lelaki itu selama 17 tahun yang telah berlalu.

***

Sebuah surat kabar lokal, menayangkan berita berdasarkan laporan beberapa warga di tepi hutan Mayfair. Tentang sosok hewan separuh manusia yang berkelebat, dan tak bisa ditangkap kamera.

Pagi hari, setelah kepulangan Ansel dari Kalimantan semalam, mereka berdua mengamati setiap saluran televisi, terkait pemberitaan di koran lokal.

“Belum ada stasiun TV yang turun,” ucap Mary getir, sembari menggigit bibir, “aku harap, tidak ada yang tertarik untuk meliput.”

Ansel yang berbaring di sofa dengan kaki sedang dipijit oleh Mary, mengganti chanel demi channel saluran TV. Dan sampailah di saluran Natgeo, tempat mereka pernah terikat kontrak beberapa tahun yang lalu.

“Aku yakin, tak lama lagi mereka akan mengontak kita. Apalagi mereka tahu kita tinggal di Mayfair. Sangat dekat dengan sumber berita,” keluh Mary, “Ditambah, kita tidak hadir di pengambilan gambar Foula Island, di malam Lunaro berubah menjadi makhluk itu. Mereka pasti mengira kita mengetahui sesuatu, karena kita tidak pernah melewatkan janji dengan siapapun. Kuharap BBC tidak akan mempermasalahkan. Aku sudah mengontak mereka, kalau anak kita hilang. Dan kita tidak bisa hadir ke sana.”

“Mary,” panggil Ansel, “Bagaimana kalau kita lapor polisi?”

Mary menggeleng. “Tidak, Ansel. Aku tidak mau anak kita diburu. Kau tahu, hal seperti itu akan menjadi target yang menggairahkan bagi para pemburu. Mereka akan menggunakan segala macam senjata mengerikan untuk mendapatkan Lunaro.”

“Tapi kalau kita tidak lapor polisi, sekolahnya akan curiga kalau Lunaro tidak sekolah. Apalagi dia lulus seleksi Marathon London, Mary. Keberadaaannya harus nyata. Kita tidak bisa bilang kalau Lunaro marah karena kita larang berhubungan dengan Luna, lalu minggat dari rumah. Mereka semua tahu, Lunaro anak baik-baik di sekolah. Cerdas, pintar, penurut, berprestasi dan menjadi idola para gadis. Bila Lunaro tidak kita laporkan hilang, bisa-bisa kita menjadi tersangka.”

Mary menyandarakan punggung di sofa, tak tahu harus berbuat apa. Lunaro sama sekali tidak pulang, meski dia menyediakan daging mentah kesukaannya di luar rumah.

“Di mana kau, sayangku?” keluh Mary, “apa kau tidak rindu pada Mommy?”

Ansel mengangkat badan, duduk menjajari Mary.

“Kita harus lapor polisi, Mary. Kita laporkan saja, bahwa dia keluar ke jalan di malam dia ulang tahun dan tidak kembali. Kita berpikir dia ke rumah temannya, tapi ternyata tidak ada.”

Mary menggelengkan kepala putus asa. “Aku tidak tahu, Ansel. Aku tidak tahu. Mereka pasti akan mengaitkan laporan Lunaro yang hilang dengan penampakan makhluk itu di tepi hutan. Semua pasti akan tertuju pada kita, pada Lunaro.”

Perlahan Ansel meraih Mary dalam pelukannya. Wanita yang dikasihinya itu menumpahkan tangis di dadanya.

“Tuan Ansel.”

Ansel dan Mary terkejut. Saling melepas pelukan dan membalik badan. Luna sudah ada di ruang kerja mereka. Gadis itu sudah terbiasa mengendap-endap memasuki rumah keluarga Ansel—tidak lagi membuat Mary heran. CCTV tersembunyi yang dipasangnya di gudang bawah tanah, merekam semua aktivitasnya bersama Lunaro—bila Mary sedang tidak di rumah.

“Luna? Sejak kapan kau berdiri di situ.” Mary bangkit dari sofa dan menghampiri Luna.

Gadis ini masih mamakai kaos, jeans dan sneaker yang dipakainya saat ulang tahun Lunaro.

“Maafkan aku, Nyonya. Tapi ijinkan aku membantu mencari Lunaro. Dia temanku.”

Mary menoleh ke arah suaminya, memanggilnya dengan anggukan. Ansel bangkit dari sofa mendekati mereka berdua.

“Kami tidak ingin menempatkanmu dalam bahaya, sayang,” ucap Mary sembari merapikan anak rambut di telinga Luna. Luna menatap Mary. Dia mulai menyukai wanita di hadapannya. Dia hangat dan penuh kasih sayang.

“Kalian tidak akan bisa menghindari pertanyaan dari sekolah. Lunaro anak populer di sekolah, pasti akan banyak yang mencarinya. Beda bila aku yang hilang. Tidak akan ada yang peduli.”

Mary tersenyum. “Kamu jangan berpikiran seperti itu, Luna.”

“Mungkin kau punya usul, bagaimana cara menemukan Lunaro?” Ansel menatap Luna.

“Aro sedang bereksperimen membuat jebakan tikus. Dan dia sudah berhasil menangkap tikus tanpa membunuhnya.”

“Aro bukan tikus,” sahut Ansel.

“Kurasa kalian bisa membuat hasil rancangan Aro untuk hewan yang lebih besar,” ucap Luna bersemangat, “maksudku, jebakan sebesar Aro.”

Ansel tidak ingin mengecilkan semangat Luna. Bagaimanapun, gadis ini mengetahui apa yang telah terjadi pada Lunaro. Melihat dengan kepala sendiri bagaimana seorang pelari estafet yang berubah menjadi serigala. Tak ada yang bisa menandingi lompatan dan laju larinya. Setidaknya itu modal awal bagi Luna untuk menggali ide—cara menemukan Lunaro.

“Bisa kita coba, Luna. Kita siapkan jebakan besar, agar Lunaro mendatanginya. Masalahnya adalah, daging-daging yang sudah disiapkan istriku di luar sana, tidak disentuh Lunaro. Lalu bagaimana cara memancing dia ke jebakan kita?”

Luna mengendik bahu. “Aku tidak tahu, mungkin kita bisa mencoba beberapa kesukaanya—saat menjadi Aro. Musik atau apapun yang disukainya.”

Mary menatap Luna lekat-lekat.

“Berapa usiamu?” tanya Mary, “sebaya Aro?”

“Aku masih enam belas, Nyonya,” sahut Luna.

“Kamu sudah mendapat tamu bulanan?”

Luna melirik Ansel. Dia tidak mau menjawab pertanyaan itu di depan lelaki. Ansel sendiri membalikkan badan, menjauhi dua wanita yang dianggapnya sedang membahas urusan privacy wanita.

“Apakah jadwal bulanan kamu masih lama?” tanya Mary membuat Ansel yang masih memasang telinga—mulai memahami arah pertanyaan Mary.

“Baru saja selesai, Nyonya. Kemarin,” bisik Luna sembari mendekatkan bibir ke telinga

Mary.

“Great. Ansel?”

Mary membalikkan badan, menatap Ansel. “Kau ingat waktu kita hendak merekam Harimau Sumatera? Kita membeli banyak feromon tiruan dan mengoleskannya di depan kamera.”

Ansel menggeleng. “Tidak, Mary. Aku tidak mau menjadikan Luna umpan.”

“Aku bersedia,” sahut Luna.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel