Bab 2 Curly Teen
Bab 2 Curly Teen
Menjelang tengah malam di kediaman Ansel Brown—kawasan hunian elit di tepi kota, Mayfair. Nyaris diklaim sebagai kawasan berhantu, karena banyak bangunan tidak berpenghuni. Bisnis property di London yang banyak dikuasai asing, membuat harga perumahan melangit. Nyaris tak terbeli kecuali oleh orang London yang benar-benar kaya.
Bel berbunyi, menggema ke penjuru rumah Ansel. Mary yang sedang berkutat dengan editing video, melirik suaminya yang sedang asyik membaca buku. Di sebelahnya, Lunaro terlelap di sofa dengan buku pelajaran menutupi mukanya.
“Aro, bisa kau bukakan pintu?” pinta Mary. Tidak ada jawaban. “Lunaro? Kamu belum tidur, kan?”
Dengkur halus tertangkap telinga Mary. Ansel bergeming dengan buku tebalnya. Mary terpaksa berdiri, keluar dari ruang kerja sekaligus ruang keluarga, menuju pintu depan. Tamu jam segini, pastinya sudah melalui portal security di gerbang depan—bila berasal dari luar Mayfair.
Tetangga sekitar tidak saling berkunjung, apalagi malam hari.
Dalam satu blok, yang terdiri dari 20 rumah, hanya 3 rumah yang berpenghuni termasuk keluarga Ansel.
Mary membuka pintu tergesa, setelah sebelumnya mengintip dari lubang pintu. Seraut wajah yang dirindukannya.
“Suzaaaaneee!” teriak Mary histeris, membuat Ansel dan Lunaro berlari ke ruang tamu. Mereka mendapati dua perempuan saling berpelukan.
Lima menit kemudian, Ansel, Mary dan Lunaro sudah duduk mengelilingi meja makan dan harus mendengarkan ocehan Suzane. Dia kehilangan ponselnya, dan terpaksa berputar-putar di Maryfair untuk sampai ke rumah Mary. Security di gerbang depan yang akhirnya mengantar Suzane karena dia mengenal Lunaro.
“Woi, Aro, sudah umur berapa kamu?” tanya Suzane setelah puas dengan ocehannya, tepatnya setelah dia menyesap susu hangat buatan Mary.
Aro mengacak rambutnya, sepertinya masih mengantuk.
“Bulan depan 17, kami mau mengadakan pesta kecil. Kamu bisa datang? Ajak Amber, mereka lahir di bulan yang sama kan?” ajak Mary sembari menyodorkan potongan daging yang masih merah ke depan Lunaro.
Suzane memerhatikan piring di depan Lunaro. Remaja berambut ikal itu sontak membuka mata, mengendus udara, dan melahap daging di depannya.
“Amber lahir sebulan lebih awal dari Aro,” ucap Suzane sembari memperhatikan Lunaro yang sudah menandaskan dagingnya, dan ada lelehan berwarna merah di bibirnya, “Kamu makan daging mentah?”
“Aro, bersihkan bibirmu,” ujar Ansel seraya menyodorkan lap, Lunaro langsung menyambarnya dan tersenyum ke arah bibinya. Suzane merasa, keponakannya itu tidak tersenyum, tapi menyeringai.
“Setengah matang, Aro suka daging setengah matang,” sahut Mary.
“Itu masih mentah, Mary,” sahut Suzane, “anakmu bisa keracunan kalau tidak matang dagingnya.”
“Dia sudah biasa makan seperti itu. Itu membuatnya lebih cepat berlari dari yang lain. Dia kan andalan sekolahnya untuk lari estafet,” sahut Ansel, “Aro, sudah hampir tengah malam, sebaiknya kau segera masuk kamar.”
Lunaro melirik papanya. “Aku sudah sempat tidur tadi, bosan menunggu mama mengedit video. Jadi, sekarang Aro tidak mengantuk lagi. Ma, boleh minta daging lagi?”
“Tidak, Aro. Kamu besok sekolah, harus bangun lebih pagi. Bukankah besok ada seleksi atlet London Marathon? Ayo masuk kamar. Tidak ada daging sampai besok,” jawab Mary.
Lunaro melenguh kesal, lalu menatap bibinya dengan napas aneh. Suzane menatapnya heran.
“Hei, Curly teen, dengarkan ibumu. Saatnya kamu tidur. Besok aku telponkan Amber untukmu. Aku yakin dia pasti terpesona pada rambut ikalmu. Kau ingat kan, dia dulu suka menjambakmu?”
Lunaro meringis. Tentu saja dia ingat. Amber, sepupunya itu adalah wanita yang selalu membelanya saat dia bermain. Dulu Mary dan Suzane tinggal bersebelahan rumah. Suami Suzane kemudian mendapat pekerjaaan di Wales. Dan sudah enam tahun mereka tidak bertemu.
Lunaro bangkit dari kursi, memeluk leher mamanya untuk mendapat kecupan di pipi. Lalu menghilang di balik pintu ruang makan.
“Serius dia mau ikut London Marathon? Aku dengar sesi latihannya saja akan dihadiri keluarga kerajaan,” ucap Suzane heran, “anakmu benar-benar luar biasa.”
Mary dan Ansel hanya saling melempar senyum.
***
“Awww!”
Lunaro terkejut, tidak menyangka akan menabrak seseorang di tikungan. Dia hampir terlambat untuk sesi kelas Mr. Chayton yang terkenal galak. Buku-buku berserakan di lantai. Bergegas Lunaro mengambilnya satu per satu dengan cepat, dan menyerahkannya pada gadis yang berdiri di dekatnya.
“Maaf, aku tadi tidak melihatmu,” ucap Lunaro sembari tersenyum.
“Maaf diterima,” sahut gadis manis berambut sebahu itu, “Aku Luna. Aku baru pindah ke sini. “
Luna mengulurkan tangan. Lunaro menyambut tangannya dan menggenggamnya hangat. Beberapa detik mereka berjabat tangan, dan Lunaro tak hendak melepas tangannya. Gadis di hadapannya, membuat dadanya menghangat.
“Sepertinya kita akan cocok. Aku Lunaro,” ucap Lunaro. Sejenak dia lupa dengan Mr. Chayton yang akan menghukumnya push up di depan kelas. Dan dia masih menjabat tangan Luna.
“Nama yang keren,” sahut Luna sembari menarik tangannya—tersipu, “Aku di kelas Biologi. Aku harap kita bisa berteman.”
“Yes, aku harap begitu.”
Lunaro bergegas meninggalkan Luna yang memeluk buku-bukunya. Gadis manis itu, bisa-bisanya membuatnya salah berbelok ke kelas Miss Manning. Saat dia membuka pintu kelasnya, seketika kelas Miss Manning riuh. Mayoritas di dalamnya adalah cheerleader sekolah yang selalu tampil bila Lunaro bertanding.
“Sial. Gara-gara Luna.” Lunaro mengumpat dalam hati. Siang ini dia akan mendapat hukuman push up pertama kali sejak bersekolah di sini.
***
Lunaro tak bisa merajuk. Bagaimanapun juga dia harus menurut pada ayah dan ibunya.
“Mom, bolehkah tiga malam ini aku tidur di kamarku?”
Mary menggeleng. “Tidak, kau tahu jawabannya. Ponsel?”
Lunaro menghembus napas. Ibunya selalu saja tahu apa yang disembunyikannya. Sebuah ponsel pun berpindah dari saku celana Lunaro ke tangan ibunya.
“Tiga malam tanpa ponsel dan daging. Kau menyiksaku,” keluh Lunaro.
“Aku mencintaimu, sayang. Suatu hari nanti kamu akan berterima kasih pada ibu karena hal ini.”
Tiba-tiba ponsel Lunaro berdering. Seraut wajah manis muncul di layar ponsel. Mary mengernyit, Lunaro mengendik bahu.
“Teman atau pacar? Kau tahu kan kalau ... hei, aku tahu gadis ini.”
Mary tidak mengangkat telpon itu, malah mengamati wajah manis yang menjadi profil gambarnya. Lunaro menghembus napas menderu, membuat Mary mengangkat jemarinya ke atas. Lunaro mengikuti arah jemari Mary dan mulai mengatur napasnya.
“Aku bukannya tidak setuju kamu bergaul dengan wanita, tapi kau tahu kan kalau kamu emosi, napasmu menjadi tidak beraturan. Ayo, tarik napas, hembuskan.”
Mary dan Lunaro saling menatap, sementar Lunaro berusaha menstabilkan napasnya yang menderu. Suara napasnya terdengar sampai ke telinga Ansel yang membuatnya bergegas ke luar dari ruang kerjanya.
“Mary, sudah hampir. Apa yang membuat kalian lama?” tanya Ansel dengan raut wajah
tegang.
“Gadis cantik, anak securtiy penjaga gerbang depan. Dia tinggal di ujung blok, fasilitas rumah untuk security, benar kan Aro?”
Mary mendapati Lunaro mengangguk dengan napas masih menderu. Sepasang matanya mulai memerah berkilat. Mary mendorongnya perlahan ke dalam kamar setelah sebelumnya mencium punggung tangan Lunaro yang meregang dan mulai berbulu.
Klang!
Ansel dengan cepat menutup dan mengunci kamar berpintu baja itu. Mary menunduk dalam, dan menempelkan telinganya di daun pintu yang dingin. Suara geraman sayup-sayup terdengar dari dalam.
“Aku tidak menjamin dia bisa mengendalikan diri bila bersama gadis itu,” gumam Mary lirih.
“Kita akan menjaganya,” ucap Ansel sembari merengkuh bahu Mary, mengajaknya masuk ke ruang kerja. Samar-samar mereka mendengar suara hantaman yang teredam dari dalam kamar tempat Lunaro dikunci.
“Semakin hari, dia semakin kuat,” bisik Mary, “kurasa hormonnya mulai meningkat. Apa tidak sebaiknya kita menyegerakan untuk menemui Rousel? Bulan depan dia sudah 17 tahun, sayang.”
Mary melihat rahang suaminya mengeras. Lelaki itu sudah kadung membenci lelaki tambun bernama Rousel Crown.