Bab 1 Tangisan Di Tengah Hutan
Bab 1 Tangisan Di Tengah Hutan
Raut wajah Ansel Brown mengeras, membuat istrinya—Mary Brown—mengelus lengannya
lembut.
“Sudah, abaikan saja, kita pasti akan mendapat ganti yang lebih baik,” hibur Mary Brown.
“Kalau kita pulang, aku ingin memberi dia pelajaran yang tidak bisa dia lupakan seumur hidupnya,” ucap Ansel jengkel.
Ansel mengepal tinju di pangkuannya, menahan geram. Mary meraih genggaman tangan suaminya, dan mendekap dalam dada. Sebelumnya dia mengamankan ponsel suaminya—yang tadi nyaris dilempar ke sungai, saking marahnya.
“Aku tidak mau kamu menjadi seperti dia, Ansel—My Love. Delapan tahun bersamamu, aku tidak ingin kau berubah menjadi monster hanya karena uang. Kita melakukan semua ini bukan untuk itu, kan?”
Ansel menunduk dalam. Selalu saja, Mary bisa meredam kemarahannya. Beruntunglah Rousel Crown, Mary menjadi istri sekaligus asisten Ansel dalam misi dokumentasi satwa liar di rimba Kalimantan kali ini. Kalau tidak, Ansel pasti sudah memaki-makinya di sambungan telepon, dan lelaki kikir haus ketenaran itu pasti bisa terkena serangan stroke. Untunglah sambungan telepon itu putus karena sinyal menghilang ketika perahu yang membawa mereka berdua mulai memasuki tepi hutan.
“Alung, kita bisa balik ke desa sebelum gelap, kan?” tanya Mary sembari menoleh pada pengemudi perahu yang berdiri di belakangnya.
Alung—penduduk asli Desa Kareho, adalah pemandu mereka. Dia sudah terbiasa mengantar wisatawan untuk mendapatkan gambar-gambar indah tanaman dan hewan langkah di pedalaman hutan Kalimantan. Tempat-tempat yang belum terjamah, ada di ingatannya. Menjadi rahasia yang bisa terungkap tergantung berapa rupiah yang diterimanya.
Sejak pagi mereka sudah menyusuri Sungai Kapuas menggunakan perahu kayu, Mary sengaja meminta Alung untuk mendayung perahu dengan kecepatan sedang, karena Ansel mengambil banyak gambar dan video sepanjang perjalanan mereka menuju perhuluan Sungai Kapuas.
“Bisa, Miss. Tergantung miss mau berapa lama di hutan,” sahut Alung.
Mary mengangguk, lalu kembali mengelus punggung suaminya.
“Oke, sayang. Lupakan Rousel. Kita akan cari Production House lain nanti. Kau sudah melewatkan Burung Enggang mengintip kita tadi di tikungan.”
Sepasang mata Ansel membulat. “Buceros? Kenapa tidak bilang?”
Ansel langsung mengeluarkan handycam dari ranselnya yang terbuka. Mary tersenyum senang melihat suaminya langsung berubah begitu dia menyebut Burung Enggang. Sejak sepekan mereka memburu gambar Buceros cantik berparuh kuning itu, dan baru mendapatkan satu gambar saja—dengan sudut pengambilan kurang pas.
Rousel sedang membuat film dokumenter tentang Burung Enggang. Janjinya, dia berani
membayar mahal. Namun, satu jam yang lalu tiba-tiba dia memutus kontrak dengan Ansel, gara-gara ada orang lain yang sudah mengirim video Burung Enggang lebih dulu.
Ansel mulai mengarahkan handycam ke tepi sungai, dan Mary mempersiapkan diri dengan headsetnya.
“Rambutku sudah rapi?” tanya Mary pada suaminya sembari menyugar rambut pirang
sebahunya dengan kelima jari.
“Diikat saja, kamu kelihatan lebih spektakuler,” ucap Ansel sembari mengutak-atik kameranya.
Alung memperhatikan pasangan suami istri di hadapannya. Selama sebulan ini, dia mengantar mereka ke pedalaman rimba Kalimantan. Dan tak pernah satu kalipun dia melihat dua orang ini bertengkar. Saling menguatkan, saling memberi semangat. Bahkan meski baru saja bersitegang entah dengan siapa di sambungan telepon. Sekejap kemudian, mereka kembali bekerja dengan kompak.
“Alung, biasanya setelah ada tikungan, ada kejutan. Nanti, bisa kau pelankan perahunya saat mau menikung?” pinta Mary.
“Siap, Miss. Sebentar lagi ada kawanan Bangau di tikungan itu. Bangau bersayap satu meter.”
“Oke, thank you, Alung!” ucap Ansel sembari mengacungkan jempol. Dia pun mengarahkan kameranya ke arah Mary. Sebentar lagi mereka menikung, dan background Mary adalah burung-burung Bangau beterbangan pelan karena terkejut.
“Excellent, Mary!” ucap Ansel, “Tiga ... dua ... satu!”
Mary mengembang senyum. Sejurus kemudian, bibirnya dengan natural menceritakan lokasi di mana mereka berada, dan apa yang sedang mereka buru dengan kamera. Alung paling senang melihat bila Ansel sudah merekam Mary. Sangat natural, tidak dibuat-buat.
Benar kata Alung, burung-burung putih beterbangan perlahan ketika mereka melewati tikungan. Ansel mengarahkan kameranya mengikuti salah satu burung dengan sayap selebar satu meter. Berkali-kali bibirnya berucap : Amazing, tanpa suara. Sementara Mary terus saja bercerita.
Tikungan sudah terlewat, kini mereka memasuki hutan yang lebih dalam, lebih gelap.
“Ada apa di sini, Alung?” tanya Mary. Ansel mengarahkan kamera ke Alung yang sedang mendayung.
“Penguasa hutan. Serigala, mungkin,” ucap Anung sembari tersenyum.
“Tidak ada serigala di Kalimatan,” ucap Mary—kamera kembali mengarah padanya.
Tiba-tiba terdengar suara seperti bayi menangis.
“Apa itu, Ansel?” tanya Mary sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya Nampak batang-batang pohon yang semakin rapat. “Suara bayi.”
“Itu sejenis kucing. Aku lupa namanya. Suaranya mirip bayi menangis,” sahut Ansel sembari mengganti baterai handycamnya.
“Tidak, itu bayi. Suaranya berbeda.”
Mary menoleh ke arah Alung. “Alung, kamu dengar? Suara apa itu?”
Alung tampak tegang, Mary bisa melihat perubahan air mukanya. “Angin. Itu suara angin
yang melewati batang-batang pohon.”
Mary berdiri. Memindai sekeliling. Telinganya menangkap suara itu semakin jelas.
“Tidak, itu bayi!” serunya tertahan.
“Mary, kau pasti terobsesi bayi Suzane. Kita berencana menjenguknya sepulang dari sini,
kan? Sudahlah, jangan lagi kau lihat video bayi Suzane. Keponakan barumu itu memang
lucu, tapi bukan berarti ...”
Ansel terkesiap. Menatap Mary dan Alung bergantian. Itu memang suara bayi yang sama
persis dengan suara bayi Suzane yang baru lahir.
“Alung, ikuti suara itu!” perintah Ansel.
Alung menggeleng. “Sebaiknya kita segera pulang, Mister. Atau kita akan kemalaman. Perjalanan ke sini saja sudah lima jam. Kita ...”
“Itu! Di situ!” teriak Mary tertahan, telunjuknya mengarah ke satu pohon besar yang
dahannya menjuntai hingga ke sungai.
Ada sesuatu bergerak di pangkal pohon yang tertutup akar-akar besar yang melesak dari dalam tanah. Ansel mengarahkan handycamnya ke obyek yang ditunjuk Mary.
“Oh, God. A baby,” desisnya terdengar sangat jelas di telinga Alung dan Mary.
“Mister Ansel, kita harus segera pulang.”
Alung menghentikan perahunya, dan mulai mendayung terbalik—berusaha memutar perahu untuk kembali.
“Alung! Mau ke mana? Kita ke sana!” seru Mary, marah ketika menyadari perahunya mulai memutar balik.
“Hiraukan apapun itu, Miss. Di sini tempat jin buang anak,” seru Alung dengan suara gemetar dan wajah memucat.
Entah kenapa, rasa takut merayapinya tiba-tiba. Tidak pernah dia merasakan hal ini sebelumnya. Meski menuju hutan terdalam sekalipun.
“Alung, kembali. Putar perahunya!” seru Mary sembari mencengkeram dinding perahu.
“Aku sudah memperingatkan kalian! Kita harus pulang!”
“Alung, hari ini aku membayarmu tiga kali lipat. Asal antarkan kami ke pohon itu. Ada bayi yang harus kita selamatkan!” ucap Ansel memerintah.
Alung meneguk ludah. Terbayang jumlah yang akan diterimanya hari ini. Ansel dan Mary memang selalu membayar upah harian, selesai dia mengantar mereka ke manapun. Teringa istrinya yang sedang hamil tua, dengan tiga anak yang masih kecil. Mereka begitu gembira bila dia pulang membawa makanan yang tidak pernah mereka makan sebelumnya.
“Alung?” tanya Mary.
Alung memutar kembali perahunya. Perlahan, perahu itu pun menuju pohon besar di tepi sungai. Perahu mereka sempat tersangkut di dahannya yang menjuntai ke air. Suara bayi itu semakin keras.
Perlahan, Ansel dan Mary turun dari perahu. Dan mereka benar-benar tidak percaya, mendapati seorang bayi berbalut kain lusuh. Menangis tanpa henti, hingga suaranya serak. Dengan hati-hati, Ansel membuka balutan kainnya.
“Mary, bayi laki-laki,” serunya tertahan. Sepasang mata almond Mary membeliak gembira.
Ansel mengambil bayi itu dari tanah yang dingin. Bayi itu masih saja menangis.
“Mister, tolong, tinggalkan bayi itu di situ!” teriak Alung yang masih ada di atas perahu. Tapi tentu saja teriakannya percuma. Ansel sudah membopong bayi itu, dan naik ke perahu bersama Mary.
Di perahu, Ansel menyerahkan bayi itu ke pelukan Mary. Mary langsung mendekap bayi itu penuh kasih sayang. Di pipi kanan bayi itu, ada bekas luka berbentuk bulan sabit.
“He is our baby, Ansel. Isn`t he?” tanya Mary sembari menatap Ansel. Ansel mengangguk sembari tersenyum.
Mary merapatkan pelukannya. Dan, tangis bayi itu perlahan berhenti. Dia tertidur di pelukan
Mary.