Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Full Moon

Bab 3 Full Moon

Aro menangkap bayangan bergerak di jendela. Dia sedang berada di gudang bawah tanah, dengan satu jendela kaca mengarah ke halaman belakang. Siapapun yang lewat di sana, pasti bisa diketahuinya.

Perlahan Aro meninggalkan meja tempat berbagai peralatan berserakan. Dia akan mengajukan permintaan pada ibunya, agar ruang gudang bawah tanah yang lama tidak terpakai ini menjadi ruang pribadinya bereksperiman. Dia yakin ibunya setuju dan ayah akan memasang CCTV di dalamnya.

Sepanjang hidupnya, dia merasa seperti artis saja. CCTV di setiap ruangan yang semuanya terpusat di kamar tidur ayah dan ibunya. Hanya di sekolah dia bebas berbuat apa saja, tanpa perlu menjaga sikap—khawatir ibu menegurnya karena terekam di CCTV.

Aro mengintip jendela. Tiba-tiba seraut wajah muncul di kaca jendela dan tersenyum manis padanya.

“Luna?”

Bergegas Aro membuka pintu ruang bawah tanah yang mengarah ke halaman belakang. Luna sudah berdiri menyambutnya. Aro bergegas menariknya masuk ke ruang bawah tanah, lalu mengunci pintu.

“Hei, bukankah besok kita janji ketemunya? Sekarang masih ada Mom di rumah. Apalagi sebentar lagi Dad datang. Mereka akan menyuruhmu pergi.”

Luna melempar tas ranselnya ke meja eksperimen Lunaro.

“Dad mengajakku pergi ke London, besok. Jadi kita harus menyelesaikan percobaan itu hari ini.”

Pandangan mereka saling bertaut, dan Lunaro mengembang senyum. Luna senang melihat Aro tersenyum, kilatan gigi taring mungil runcingnya membuat dada Luna berdesir halus. Jujur, itu adalah alasan sebenarnya dia mengendap-ngendap di halaman belakang rumah Ansel Brown—sengaja agar Aro mendapatinya.

“Kau tahu, Aro. Katanya kalau gigi taring kita runcing, itu tandanya kita tidak suka punya adik,” ucap Luna, “gigi taringmu sama denganku. Aku tidak suka punya adik.”

Luna menyeringai, menampilkan gigi taringnya yang mungil—bahkan tidak runcing. Lunaro tertawa. “Itu konyol. Ayo, segera kita selesaikan. Jebakan tikusnya semalam aku pasang di loteng, Kurasa aku sudah mendapatkan tiga ekor. Lihat.”

Lunaro membuka sebuah kardus di bawah meja. Di dalamnya ada tiga ekor tikus dengan kepala bersimbah berdarah, tapi masih bergerak-gerak.

“Mereka masih hidup. Kamu jadi pakai jebakan dengan tusukan paku itu?”

Lunaro memamerkan jebakan buatannya. Seperti jebakan tikus biasa, dengan 5 paku runcing yang sudah pasti akan mengenai kepala tikus yang terjebak.

“Dengan jebakan ini, mereka tidak langsung mati. Jadi kamu bisa membedah perutnya dalam kondisi hidup.”

“Apa itu tidak menyakiti mereka?” tanya Luna sembari mengangkat satu tikus tanpa merasa jijik—seperti gadis pada umumnya.

“Bahkan sampai kamu selesai membedahnya, masih tetap akan hidup beberapa menit,

Kucing lebih suka bila masih segar.”

“Ah iya, aku baru ingat. Kucingmu tidak suka tikus. Lalu akan kita apakan tikus yang masih hidup tapi terburai perutnya?”

“Aku yang akan memakannya,” ucap Lunaro sembari menatap Luna tajam.

Sontak Luna terbahak, diikuti Lunaro. Bersama Lunaro, Luna merasa mendapatkan teman yang luar biasa. Di sekolah, dia tidak punya teman karena dia hanya anak seorang security. Tapi Lunaro tak pernah menganggapnya demikian. Dia justru lebih suka bersama Luna yang polos apa adanya—tidak suka berdandan seperti gadis lainnya dan genit seperti cheerleader yang mengelilinginya.

Ponsel Lunaro bergetar. Ibunya menelpon. Lunaro bergegas mengangkatnya.

“Aro, kalian berdua bisa ke ruang kerja? Sekarang?”

Lunaro tercekat, sembari menatap Luna yang sedang asyik membedah perut tikus.

***

“Apa kamu bersedia membantuku, Luna?” tanya Mary sembari mengembang senyum.

Luna melirik gugup Aro yang duduk di sebelahnya. Aro tampak gelisah. Jelas sekali, dia adalah pemuda baik-baik yang tak pernah membantah ibunya. Menyelinapnya Luna ke gudang bawah tanah rumah keluarga Ansel Brown, bukan sekali dia lakukan. Tapi sudah sangat sering. Dan rupanya, kali ini ibu Aro memergokinya.

“Hm, membantu apa, Nyonya Brown. Sebisa mungkin aku usahakan,” ucap Luna berupaya tampak tidak merasa bersalah.

“Menyiapkan pesta kecil untuk ulang tahun Aro.”

Luna dan Lunaro terperangah. Semula mereka mengira ibu Aro akan mengusir Luna karena menyelinap ke rumah lelaki—sebuah tindakan tidak pantas bagi seorang gadis baik-baik.

“Pesta?” tanya Aro, “Kupikir kita sepakat tidak ada pesta. Hanya mengundang Bibi Suzane dan Amber.”

“Itu sama dengan pesta sayang. Luna, bisa kamu menyiapkannya? Kulihat kalian sangat kompak. Sementara sepekan ini, aku dan suamiku akan sangat sibuk untuk persiapan pengambilan gambar. Jadi aku memerlukan bantuanmu.”

Luna mengangguk. Sebuah pesta kecil, tidak ada salahnya. Itu akan membuatnya lebih dekat dengan Mary Brown, agar perempuan itu menyukainya dan membukakan pintu kapan saja. Tidak lagi mengendap-endap seperti tikus.

Mary meninggalkan Luna dan Lunaro di ruang kerja. Di pintu, Ansel menggamit lengannya.

“Kamu yakin melibatkan orang lain, di saat bulan purnama?” tanya Ansel sedikit panik.

“Kita melarangnya juga percuma. Dia akan mengendap dan mencuri kesempatan bersama

Lunaro. Dan kita akan semakin kesulitan mengawasi anak kita, “ bisik Mary, “Kau tahu kan, remaja zaman sekarang. Tujuh belas tahun itu puncak hormon mereka. Aku yakin, Lunaro tidak mengendus apapun dari Luna selain feromon.”

***

Suzane sama sekali tidak terkejut dengan istilah pesta kecil. Dari dulu, adiknya memang selalu sibuk melanglang buana bersama suaminya, hanya untuk mendapatkan gambar burung—menurut Suzane. Padahal di kebun binatang saja banyak. Sehingga untuk sebuah pesta ulang tahun ke-17 tahun anak semata wayangnya sendiri, dia tak sempat menyewa EO dan mengundang tetangga. Oh, iya, Suzane lupa kalau Mary hanya punya tiga tetangga di bloknya—dan itu pun belum tentu dia tahu namanya.

“Siapa namamu tadi? Luna?” tanya Suzane, dengan Amber berada di sebelahnya, menatap masam ke arah Luna.

“Benar, Bibi Suzane. Aku teman Lunaro.”

“Teman?” tanya Amber sembari memindai Luna. Gadis itu memang cocok berteman dengan Lunaro. Hari ini mereka berdua berpenampilan sama, memakai kaos putih polos, jeans dan sneaker bermerk sama. Pasti mereka belanja bareng, batin Amber. Dan itu membuatnya merasa tersisih sebagai sepupu yang dulu begitu akrab dengan Lunaro.

“Iya. Aku yang menyiapkan pesta untuk Aro,” ucap Luna riang.

“Dia bahkan memanggil nama kecilnya,” gumam Amber dalam hati—gusar.

Sepertinya ibunya luput memberitahu bahwa akan ada gadis manis yang akan selalu duduk di sebelah Aro, dan mereka tampak sangat akrab. Parahnya—menurut Amber, Bibi Mary tak pernah berhenti tersenyum melihat mereka berdua.

“Okay, sekarang kita mulai pestanya,” ucap Mary, “pesta sederhana untuk Lunaro, yang harus selesai jam sepuluh. Bukankah begitu, Ansel?” Ansel mengangguk. “Yup, karena jam sepuluh kami harus segera berangkat untuk pengambilan gambar di Foula Island. BBC menunggu kami di sana.”

Ansel mengedip pada Mary. Cara halus untuk mengusir tamu-tamu mereka sebelum tengah malam.

“Setidaknya, di sana masih lebih berpenghuni daripada blokmu, Mary. Setahuku hanya dihuni 30 orang, sedangkan blokmu cuma 3 orang. Sepanjang jalan ke sini tadi, kurasa aku memasuki kawasan penangkaran hantu.”

Candaan Suzane tak urung memincu tawa semua hadirin. Lilin kue tart dinyalakan oleh Luna, dan Ansel mematikan lampu. Ruangan meremang, hanya cahaya lilin menerangi. Raut muka Lunaro di depan kue tartnya, membuat Suzane dan Amber berdecak kagum—memuji ketampanan Lunaro dalam hati.

“Make a wish, Aro,” ucap Mary lembut.

“Aro sayang Mom and Dad, dan akan selalu melindungi Mom and Dad. Forever,” ucap Aro sembari memejam mata.

“Mom, dia semakin handsome saja dalam keremangan,” bisik Amber ke ibunya, dan dijawab dengan cubitan Suzane di pinggangnya, bertepatan dengan Lunaro meniup semua lilin.

“Aduuuh!” pekik Amber mendapat cubitan dari ibunya, dan itu membuat kakinya menghentak bawah meja. Tiba-tiba kaki meja itu patah dan semua hidangan meluncur ke arah Mary dan Ansel yang berada di ujung meja.

“Aw, tolong aku!” teriak Mary dalam kegelapan. Suasana menjadi ribut. Rupanya Mary dan Ansel tertindih meja dan hidangan.

“Aro, hidupkan lampunya.”

Klik! Klik!

“Listriknya padam, Dad!” teriak Aro panik.

Ansel berhasil menggenggam tangan Mary, dan dengan bantuan semua orang, mereka susah payah berdiri, menyingkirkan semua hidangan.

“Ansel, cepat hidupkan genset di gudang,” perintah Mary, “Kita tidak bisa membiarkan gelap lebih lama.”

Tiba-tiba kegelapan berkurang menjadi keremangan. Suzane menyibak tirai jendela lebar-lebar.

“Tenang saja, sekarang Full Moon. Bulan sangat terang.”

“Suzane, jangan ...” cegah Mary sembari berteriak, “Tutup tirai dan jendelanya.”

Tiba-tiba terdengar geraman di sudut ruangan, membuat bulu kuduk semuanya merinding.

“Apa itu?” tanya Suzane, “Di sana, di sudut sana, Mary. Kamu membawa harimau ke

rumah?”

Geraman itu semakin jelas. Membuat semua orang berkumpul di sudut, saling memeluk dalam kegelapan.

“Ansel, buka pintu buat Aro, tidak usah ke gudang,” perintah Mary pada suaminya, “sudah terlambat.”

Ansel meraba dinding. Pintu tempat mereka mengurung Aro berada di sebelah ruangan. Tapi, Aro harus dibawa ke sana.

“Aro, ayo ikut, sayang,” ucap Mary dalam keremangan, mendekat ke sumber geraman dibarengi Ansel. Geraman itu semakin keras. Amber, Suzane dan Luna, meringkuk ketakutan. Tiba-tiba lampu menyala terang. Dan semua mata membeliak mendapati apa yang tadi mengeram di sudut ruangan.

Luna jelas mengenali sosok itu adalah Lunaro. Wajah dan badannya dipenuhi bulu lebat, taringnya memanjang dan runcing, telinganya meninggi melebihi kepalanya, dan wajahnya menjadi begitu mengerikan dengan sepasang mata merah menyala.

“Aro ...” desis Luna tak percaya.

Sepasang mata merah menyala itu menatap Luna, lalu dia berlari ke jendela, memecahkan kacanya berkeping-keping dan melompat keluar dengan satu kali lompatan. Mary dan Ansel mengejar ke jendela. Aro berlari layaknya harimau menuju hutan di tepi kawasan pemukiman.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel