Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 7

Seperti hari-hari sebelumnya, Lula akan datang pagi-pagi mungkin untuk membangunkan Galang, menyiapkan pakaian Galang dan menyiapkan air hangat untuk pria itu mandi.

Lula mengetuk pintu kamar Galang, sebagai bentuk formalitas saja sebenarnya, toh, dia akan tetap masuk, walau pun Galang tidak menanggapi ketukannya. Langkah pertama membangunkan Galang cukup membuka tirai selebar mungkin agar cahaya matahari memantul ke wajah tampan Bosnya. Dan benar saja, tak lama dari Lula membuka tirai, Galang menggeliat dan merentangkan tangannya.

"Selamat pagi, Pak," sapa Lula.

Galang membuka perlahan matanya. "Hm. Sudah datang?" tanya Galang dengan suara serak.

"Sudah, Pak. Saya akan menyiapkan air hangat untuk Bapak mandi, dan pakaian Bapak," kata Lula, dia segera pergi menuju kamar mandi. Sedangkan Galang mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.

Dia meneguk air putih yang sudah tersedia di atas nakas.

Tak lama dari itu, Lula keluar. "Semua sudah selesai, Pak. Bapak bisa mandi sekarang."

"Hm, kamu boleh keluar." Lula menunduk hormat, lalu meninggalkan Galang.

***

Galang memperhatikan pakaiannya melalui cermin. Menurut Galang, Lula pintar menyerasikan warna pakaian dan warna dasi yang berbeda, Galang tidak pernah kecewa dengan pilihannya itu, tidak seperti Kikan yang selalu saja menyiapkan pakaian dan dasi dengan warna yang sama. Tapi Galang merasa heran dengan Lula, karena penampilannya yang membosankan itu.

"Apa dia hanya berpura-pura," gumam Galang. Galang menggelengkan kepalanya. "Ah, bodo amat, bukan urusan Gue juga." Galang segera keluar dari kamarnya.

Di ruang makan, Ranti dan Farhan sudah menunggu, Ranti menyambut Galang dengan senyum lembutnya. "Pagi, Bunda," sapa Galang.

"Pagi, Sayang. Ayo makan."

"Lula mana?" tanya Farhan pada Galang, Galang mengedikan bahunya.

"Enggak tau."

"Dia datang pagi-pagi sekali hari ini," ujar Ranti. "Dia juga membantu Bunda membuat sarapan, Lula sangat baik ya, Yah."

"Hm, dia sangat baik hati dan cantik," kata Farhan. "Kamu tidak mau menjadikan Lula sebagai pacarmu?" tanya Farhan pada Galang.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Galang tersedak dengan ludahnya sendiri. Ranti segera menyerahkan segelas air padanya. "Makan tuh pelan-pelan," kata Ranti sembari menepuk punggung anaknya pelan.

"Galang belum makan, Bun, cuma Galang kaget aja dengar pertanyaan Ayah," seru Galang dan kembali meneguk airnya.

"Memang Ayah ngomong apa?" tanya Farhan dengan wajah tanpa dosa.

"Iya, tadi Ayah suruh Galang buat jadikan Lula pacar Galang, kan?"

"Ya, Ayah hanya bertanya, bukan menyuruh, kamu itu terlalu berlebihan."

"Ya tetap aja. Secara tidak langsung Ayah suruh Galang untuk memacari Lula."

"Kalau keberatan, ya jangan."

"Iya, tidak akan," jawab Galang ketus. "Sudah, Galang mau kerja dulu." Galang segera pergi.

Ranti menatap Farhan dengan sinis. "Kenapa?" tanya Farhan.

"Anak belum makan, udah membicarakan hal kayak gitu!" omel Ranti. "Nanti saja, kalau udah selesai makan. Biar Galang cicipi dulu masakannya Lula."

"Iya, maaf, Ayah salah." Ranti berdecak kesal.

***

Galang memperhatikan Lula dari bangku belakang. Gadis itu sedang sibuk dengan Ipad-Nya yang duduk di samping pengemudi, sampai tak menyadari bahwa Bosnya sedang memperhatikannya.

"Kamu datang jam berapa hari ini?" tanya Galang pada Lula. Lula menoleh pada Galang.

"Saya datang jam lima, Pak," jawab Lula.

"Besok kamu datang jangan terlalu pagi, tidak perlu membantu Bunda masak."

"Baik, Pak."

Galang memalingkan wajahnya pada pemandangan kota. "Sebutkan agenda untuk hari ini." perintah Galang.

"Hari ini tidak begitu padat seperti biasanya, Pak, hanya saja akan ada meeting nanti jam dua, dan untuk besok, ada undangan dari pak Rudi dalam peresmian hotel barunya jam delapan malam, di Bandung."

"Ah, apa saya perlu datang?" tanya Galang.

"Perlu, Pak. Pak Farhan sendiri yang mengingatkan saya untuk memasukkan undangan ini dalam agenda anda, sebagai perwakilan pak Farhan karena tidak bisa hadir, jadi anda di wajibkan untuk hadir, mengingat pak Rudi ini teman baik pak Farhan." jelas Lula.

Galang menghela nafas panjang. "Oke, kamu ikut," Kata Galang.

"Saya ikut, Pak?" tanya Lula. Galang mengangguk. "Apa tidak sebaiknya--"

"Saya butuh kamu untuk memilihkan pakaian yang harus saya pakai nanti."

"O-oh, baik, Pak."

****

Saat ini Lula sedang merapikan pakaiannya yang akan di bawa besok hari. Ketukan pintu membuatnya menghentikan aktivitasnya. Pintu terbuka menampilkan Rena.

"Mau ke mana?" tanya Rena.

"Besok aku harus ke Bandung," kata Lula kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Urusan pekerjaan?" Lula mengangguk,

"Kamu sudah merapikan pakaian kamu?" tanya Lula.

"Udah, gue udah bawa baju yang akan gue pakai di sana, doain gue ya, Lu."

"Doa terbaik untuk kamu, Ren." Rena tersenyum.

"Selesai!" seru Lula.

"Kopernya simpan di luar aja, Lu, kayak gue, gue juga di simpan di luar, Biar gampang aja bawanya besok kalau pergi." Usul Rena.

Lula mengangguk, dan membawa kopernya di samping koper Rena di ruang tengah.

"Kalau gitu gue tidur dulu ya, Lu, besok gue harus berangkat pagi."

"Iya, aku juga mau tidur, Ren." Mereka pun masuk ke kamar masing-masing.

***

Keesokan paginya.

"Lula, gue berangkat dulu!" seru Rena.

"Ini masih jam lima, Ren."

"Gue harus cepat-cepat, Lu, lo tau, kan, gimana Jakarta macetnya. Dah.. Doain gue, ya." Setelah itu Rena segera pergi dengan membawa kopernya. Lula memandang kepergian Rena.

Rena sendiri adalah sahabat terdekat Lula, gadis itu korban Broken Home, orang tuanya sudah lama bercerai, Rena ikut dengan ibunya. Sampai akhirnya ibu Rena kembali menikah dengan seorang duda beranak satu. Tapi sayangnya, kakak tirinya tidak pernah bersikap baik, Rena hampir saja menjadi korban pemerkosaan dengan kakaknya. Untung saja Rena bisa kabur saat itu, dan dia tinggal di rumah Lula yang memang hidup sebatang kara di Jakarta.

Kembali pada Lula. Gadis itu telah bersiap untuk berangkat bekerja hari ini. Tidak lupa dia membawa koper barunya.

Sesampainya di rumah Galang, Lula segera merapikan pakaian yang akan Galang bawa. Sedangkan pria itu sedang mandi saat ini. Selesai merapikan barang-barang atasannya itu, Lula segera keluar dari kamar Galang.

Memilih menunggu di luar pintu masuk, bersama pak Bowo, berbincang-bincang sedikit dengan pria paruh baya itu, membuat Lula menjadi lebih bersemangat lagi dalam bekerja. Pak Bowo menceritakan asal mula dia bertemu dengan pak Farhan, saat itu pak Bowo hanya lah seorang sopir bajaj, yang penghasilannya tidak menentu setiap harinya.

"Waktu itu, anak Bapak itu lagi sakit, tapi Bapak gak bisa bawa anak Bapak ke rumah sakit karena tidak punya uang. Karena demamnya terlalu tinggi, Bapak jadi khawatir, akhirnya Bapak memaksakan diri membawa anak Bapak ke rumah sakit, padahal Bapak cuma bawa uang 25 ribu rupiah saja." Pak Bowo menatap lurus ke depan mencoba mengingat kejadian itu.

"...Di tengah perjalanan, Bapak lihat pak Farhan sedang memeriksa mesin mobilnya, mobilnya mogok, padahal waktu itu bu Ranti mau melahirkan Den Galang, akhirnya, Bapak bantu pak Farhan, Bapak menyuruhnya untuk naik Bajaj Bapak, anak Bapak sendiri, duduk di samping Bapak. Situasi saat itu sangat mengkhawatirkan, menegangkan. Di sisi lain bu Ranti terus merintih karena mulas, sedangkan anak Bapak terus menangis karena demam. Akhirnya hu Ranti berhasil melahirkan Den Galang di rumah sakit, dan anak Bapak juga bisa di periksa dokter dengan di biayai pak Farhan. Tidak hanya itu, pak Farhan juga menjadikan Bapak sebagai sopir pribadi keluarga ini." Cerita pak Bowo.

Lula tersenyum. "Pertemuan yang mengharuskan, Pak."

"Ehm" Deheman tersebut membuat Lula mengalihkan tatapannya pada Galang yang datang entah kapan.

"Pak, sudah siap?" tanya Lula.

"Seharusnya saya yang bertanya, sudah selesai mengobrol nya?" tanya Galang.

"Maaf, Pak." Lula dan pak Bowo segera berlari menuju mobil. Lula membuka pintu mobil belakang untuk Galang.

***

Hari sudah sore, saat ini Galang dan Lula sudah berada di Bandara. Mereka akan ke Bandung, untuk menghemat waktu, mereka pun memilih untuk pergi dengan kendaraan udara.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai di kota Bandung. Lula menghela nafas lega. Galang memperhatikan Lula.

"Ini pertama kalinya kamu naik pesawat?" tanya Galang.

"Tidak, Pak," jawab Lula.

"Wajahmu menampakkan ketegangan," ujar Galang seraya berlalu.

***

Setelah check in, Galang dan Lula segera memasuki kamar mereka, tentunya beda kamar, hanya saja kamar mereka bersebelahan.

Lula merebahkan tubuhnya di ranjang, hari ini dia amat sangat lelah, tubuhnya terasa remuk. "Hah, aku yakin berat badanku turun akhir-akhir ini." keluhnya.

Deringan singkat ponsel Lula memaksanya untuk beranjak dari kasur empuk itu. Lula segera membukanya saat nama Galang tertera di sana.

Pak Galang.

Siapkan dirimu, jam setengah 8 kita ke acara pesta.

18.56

Me.

Baik, Pak.

18.56

Lula menghela nafas panjang, dia segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian Lula telah selesai dengan tubuh di balut handuk, dia membuka kopernya perlahan. Tapi matanya terbelalak saat melihat isi kopernya.

"Ini koper Rena!" serunya. Ingin rasanya Lula menangis saat ini juga saat dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, tapi tak ada waktu baginya untuk menangisi kopernya yang tertukar dengan sahabatnya itu. Dia harus bergegas sebelum dapat makian dari Galang.

Lula mengeluarkan satu per satu pakaian Rena. Hampir semua pakaian Rena kurang bahan, dan Lula merasakan keraguan untuk mengenakannya. Tapi ketukan pintu di luar, membuatnya tak memiliki pilihan.

Deringan ponsel Lula berbunyi nyaring, siapa lagi kalau bukan Galang. Lula segera mengangkat panggilan itu.

(Sudah selesai belum?) tanya Galang.

"Se-sebentar lagi, Pak," jawab Lula gugup.

(Kalau gitu saya tunggu di ballroom.)

"Baik, Pak."

Panggilan terputus, Lula menghela nafas lega, setidaknya Galang tidak memarahinya sekarang, tidak tau kalau nanti.

Lula memandang gaun panjang berwarna merah muda itu. Tidak ada pilihan dia harus memakai gaun itu, karena hanya gaun itu yang tertutup.

Bersyukurlah bagi Lula, karena memiliki tubuh yang satu ukuran dengan Rena. Apa jadinya kalau dirinya lebih gemuk?

Lula memandang pantulan dirinya di cermin. "Tataan rambut apa yang biasanya di pakai untuk pesta?" gumam Lula. Tapi kembali dia melirik jam dinding, tak ada waktu baginya untuk menata rambutnya, jadi dia memilih menggerainya.

Setelah memakai lensa kontak miliknya dan menyapu wajahnya dengan sedikit make up milik Rena, Lula pun mengakhiri mempercantik dirinya. Lula keluar dari kamarnya, dia merasakan canggung, karena ini pertama kali baginya memakai pakaian terbuka, di tambah dengan make up.

Jujur saja sebenarnya dia tidak berniat untuk memakai make up. Tapi Lula mengingat kembali ucapan Rena, di mana seorang Sekretaris harus berpenampilan menarik. Apa lagi ini menghadiri sebuah pesta, Lula tidak mau mempermalukan Galang dan nama perusahaan.

Lula memasuki lift, di lift banyak pasang mata menatapnya penuh minat, Lula menjadi risi. Untung saja lift segera terbuka, sontak Lula pun segera keluar dan menyusul Galang

Pintu ballroom terbuka lebar, menampilkan sebuah pesta yang megah, Lula berjalan dengan hati-hati, karena sepatu high Hells yang dia pakai begitu tinggi. Jangan tanya itu milik siap, tentu saja milik Rena, sang sahabat.

Lula segera menghampiri Galang yang sedang berbincang pada dua orang pria. "Permisi, Pak, maaf saya telat," kata Lula.

Galang menoleh, dan dia amat sangat terkejut melihat penampilan Sekretarisnya. "Lula?!" seru Galang.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel