5. Ciuman Perlindungan
Malam itu, Naruga Indra berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi, terbuat dari besi tempa hitam dengan ukiran emas yang rumit, yang melingkupi kompleks perumahan mewah Kayana Setyawan. Ini bukan rumah, ini adalah istana. Sebuah benteng keangkuhan yang sunyi dan dingin, memisahkan dunia Kayana dari realitas yang keras di luar sana. Ruga merasakan kontras yang tajam antara tempat ini dan ruko mie ayam ibunya.
Ruga merasa aneh. Biasanya, ia hanya datang ke kawasan ini sebagai joki bayangan, menyelinap dan bergegas pergi, tidak terlihat dan tidak dihargai. Malam ini, ia datang sebagai guru privat, tamu yang tidak diundang, dan musuh terburuk Kayana—sebuah paradoks yang menggelitik rasa ingin tahunya.
Seorang satpam berbaju rapi menyambutnya. Seragamnya tampak mahal dan rapi, wajahnya tanpa ekspresi. Ruga menyebut namanya, dan satpam itu terkejut, seolah nama Ruga adalah kata sandi rahasia. "Tuan Naruga? Silakan masuk. Nona Kayana sudah menunggu." Ruga merasakan tatapan satpam itu, menilai dan meremehkan.
Ruga menyusuri jalanan paving yang diapit taman terawat, dikelilingi lampu-lampu kristal kecil yang memancarkan cahaya lembut dan tidak alami. Rumah Kayana adalah mahakarya arsitektur modern minimalis. Dindingnya didominasi kaca tebal, memamerkan interior yang mewah namun tanpa jiwa. Ruga menyebutnya Istana Es, karena tidak ada kehangatan di sana. Ia membayangkan Kayana terperangkap di dalam sana, sendirian dan kesepian.
Ia diantar masuk. Interiornya didominasi warna monokrom, abu-abu dan putih yang dingin, perabotan dari kulit mahal yang terasa kaku dan tidak nyaman, dan lukisan-lukisan abstrak yang mahal tetapi tidak memiliki emosi. Rumah ini adalah cerminan Kayana: indah, mahal, dan beku. Ia merasa seperti berada di museum, bukan di rumah.
Kayana sudah menunggunya di ruang belajar pribadi, di lantai dua. Ruangan itu kedap suara, dilengkapi layar sentuh besar yang canggih dan rak buku yang ditata sempurna—semuanya tentang hukum, bisnis, dan yayasan. Tidak ada novel remaja, tidak ada album foto keluarga. Ruangan itu terasa steril dan tidak personal.
Pintu dalam ruang belajar pribadi terhubung dengan kamar tidur Kayana. Anehnya, pintu kamar tidur hanya dapat di jangkau dari ruang belajar. Dalam pintu yang terbuka lebar itu, Ruga mengamati pintu kamar tidur yang terbuat dari besi. Seperti brankas besar. Bahan yang tidak umum digunakan untuk pintu dalam rumah. Seperti bunker.
Kayana mengecek arah kemana Ruga menatap. Gadis itu berkata datar.
"Itu kamar tidur gue, mau lihat? Isinya cuma ada tempat tidur. Kamar baju sama kamar rias, beda."
"Orang di dunia lo bilang lemari itu kamar baju?"
"Lo nggak punya kamar baju?" Pertanyaan Kayana seperti menohok, namun memang Kayana sangat kaget.
Ruga hanya menggeleng, "Trus. Lo tidur di dalam brankas besi? Memangnya lo aset negara." Ruga mencoba mencairkan suasana.
"Itu ruang kamuflase, kalau ditutup dari luar hanya seperti tembok dan lemari biasa. Untuk proteksi. Kalau sewaktu-waktu ayah..." Kayana tidak melanjutkan perkataannya.
Ruga duduk di kursi kulit mahal yang nyaman dengan meja marmer. Melanjutkan pernyataan Kayana barusan karena penasaran. "Ayah lo kenapa?"
"Lo nggak perlu tahu itu, Ruga."
Kayana mengenakan piyama sutra berwarna abu-abu, jauh lebih santai dari seragam sekolahnya, tetapi auranya masih sebeku biasa. Dia duduk di meja marmer, punggungnya tegak, dengan setumpuk buku Sejarah di hadapannya. Ia terlihat lelah dan tertekan.
"Cepat mulai," perintah Kayana, tanpa basa-basi, tanpa basa-basi. "Gue nggak punya banyak waktu. Bokap gue akan pulang jam sepuluh. Gue harus udah ngerti semua bab ini sebelum itu." Ia terdengar cemas dan terburu-buru.
Ruga menggeleng. "Lo nggak bisa belajar kayak ngebut mobil sport lo, Kaya. Otak butuh pemanasan, bukan ngebut. Lo harus santai dan fokus." Ia mencoba menenangkan Kayana.
Ruga duduk di seberang Kayana. Kayana sudah menyiapkan kopi mahal dan snack impor di sampingnya. Ruga hanya mengambil buku catatannya yang lusuh dan pena murahannya. Ia merasa tidak nyaman dengan kemewahan di sekelilingnya.
"Gue nggak butuh kopi mahal lo. Gue butuh lo fokus," Ruga memulai, suaranya tenang, profesional.
"Gue kira lo suka kopi, tadi siang—soalnya, waktu ciuman mulut lo bau kopi." Kayana mengucap perkataan dengan ragu. Melirik ekspresi Ruga yang masih biasa saja. Tidak terkesan awkward ataupun malu.
"Itu bukan bau, itu namanya wangi kopi, Kayana. Dan itu permen seribuan dari warung mie ayam ibu gue. Lo mau?"
"Oh." Kayana menggeleng pelan. Ia hanya mau mencoba fokus untuk pelajaran kali ini.
"Ok. Pertama-tama, kita nggak bisa langsung belajar sejarah. Kita belajar kenapa lo takut sama Ayah lo." Ia langsung menuju ke inti masalah.
Kayana terperangah. "Apa hubungannya, Ruga?" Ia merasa bingung dan marah.
"Hubungannya banyak. Lo gagal di Sejarah karena lo nggak bisa melihat pola kekuasaan yang kejam. Lo hidup di bawah kekuasaan absolut Ayah lo, dan lo benci itu. Tapi lo nggak berani melawan, lo cuma ngelawan orang yang lo anggap lemah, yaitu gue, atau Bayu. Lo harus belajar memahami taktik perang dan negosiasi kalau lo mau menang ngelawan bokap lo." Ia menjelaskan dengan nada yang sabar dan pengertian.
Kayana terdiam. Lagi-lagi, Ruga berhasil menusuk inti masalahnya. Ia merasa terpapar dan tidak berdaya.
Ruga mulai menjelaskan periode Revolusi Prancis. "Lo lihat, Kaya. Marie Antoinette. Dia angkuh, dia dikelilingi kemewahan, tapi dia buta politik. Dia nggak tahu gimana rasanya rakyat kelaparan. Sama kayak lo. Lo angkuh. Lo cuma lihat gue sebagai si miskin yang kotor. Lo nggak mau lihat dunia luar. Lo nggak mau lihat bahwa di balik keangkuhan lo, lo sama aja kayak si Marie Antoinette: rentan dan bisa dipenggal sewaktu-waktu." Ia menggunakan analogi yang kuat untuk membuat Kayana mengerti.
Kayana tersentak. Pipinya memerah, bukan karena marah, tapi karena malu. Ia merasa telanjang di hadapan analisis Ruga. Ia menyadari bahwa Ruga benar.
"Gue nggak kayak dia!" bantah Kayana. "Gue tahu gue kuat!" Ia mencoba mempertahankan harga dirinya.
"Lo nggak kuat, lo cuma keras. Kekuatan itu ada di otak, Kaya. Lo harus bisa memprediksi langkah musuh lo," Ruga mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menatap Kayana dengan intensitas yang hanya ia miliki saat berdiskusi. Ia ingin Kayana memahami pentingnya kecerdasan dan strategi.
"Gue tahu Ayah lo ngancam lo. Gue tahu dia menekan lo supaya sempurna. Tapi dia nggak bisa mengancam pengetahuan lo. Kalo lo menguasai Sejarah, lo menguasai pola. Dan lo bisa memprediksi langkah dia. Jadi, berhenti anggap gue musuh lo, Kayana. Gue ini aliansi lo yang paling efektif. Dan gue cuma dibayar dengan kepatuhan lo saat ini." Ia menawarkan aliansi yang tidak terduga.
Selama dua jam, sesi belajar itu berubah menjadi sesi terapi kognitif mendalam. Ruga tidak hanya menjelaskan fakta, ia menantang pandangan hidup Kayana. Ia memaksa Kayana untuk menganalisis Ayahnya sebagai seorang tiran, dan Kayana sebagai revolusioner yang tertekan. Ia merasa seperti sedang membimbing Kayana melalui labirin yang rumit.
Kayana mulai menyimak. Ia mulai bertanya, bukan karena gengsi, tetapi karena keingintahuan yang tulus. Ruga melihat secercah kecerdasan sejati di mata Kayana, yang selama ini tertutup oleh lapisan keangkuhan. Ia merasa bangga dengan kemajuan Kayana.
"Jadi... revolusi itu harus didahului oleh pencerahan, ya?" tanya Kayana, tangannya sibuk mencoret-coret buku catatannya, untuk pertama kalinya. Ia terlihat tertarik dan terlibat.
"Tepat," Ruga mengangguk, bangga. "Lo harus menerangi diri lo dulu. Lo harus jujur sama kelemahan lo. Kayak lo benci banget sama gue, tapi lo tetap butuh gue di sini." Ia mengingatkan Kayana tentang ketergantungannya padanya.
Kayana mendengus, tetapi kali ini, itu lebih terdengar seperti tawa tertekan. Ia merasa sedikit malu dengan ketergantungannya.
"Bukan hanya Ayah. Gue sampai sekarang trauma dengan makan banyak. Kadang gue sengaja memuntahkan makanan gue sendiri. Gangguan kecemasan yang tidak berdasar."
"Kenapa? Makan aspek yang sangat penting, terutama untuk gizi dan otak lo." Ruga sebagai seorang jenius yang informatif, merangkap lebih jauh untuk menggali kepribadian Kayana secara mendalam.
"Mungkin nggak layak untuk diceritain, Ruga." Kayana kembali muram, memasang ekspresi tegang, "Mama Tiri, sering nyuruh untuk muntahin makanan."
Ruga memasang ekspresi datar, sambil menganalisis dan menyimpulkan secara mandiri, "Untuk apa lo nurut dan melakukan itu? Lo nggak harus mengikuti perkataan mereka, Kaya."
Kayana diam tidak bergeming. Mengalihkan pandangan ke arah televisi yang saat ini dia sengaja nyalakan. Hanya acara dangdut biasa, namun Ruga tahu tujuan gadis itu untuk melupakan perbincangan barusan.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Otak Kayana sudah mencapai batasnya. Ruga tahu, ia tidak boleh menekan Kayana terlalu keras. Ia harus memberikan Kayana waktu untuk memproses semua informasi itu.
"Udah cukup. Lo udah melewati batas kapasitas otak lo hari ini," putus Ruga, memutuskan untuk tidak membahas lebih lanjut dulu. Ia membereskan pena dan buku lusuhnya. Ruga merasa puas dengan sesi belajar itu.
Kayana menghela napas panjang, lega. Ia menyandarkan punggungnya di kursi kulit mahal itu. Ia merasa lelah, tetapi otaknya terasa 'bersih'. Ia merasa seperti baru saja membersihkan debu dari pikirannya.
"Makasih dan maaf," Kayana berbisik, ucapan yang hampir tidak pernah keluar dari bibirnya. Ia merasa bersyukur atas bantuan Ruga.
Ruga tersenyum. Senyum tulus, bukan senyum menyebalkan yang ia pakai di sekolah. "Sama-sama. Itu worth selembar mie ayam buat ibu gue." Ia mencoba mencairkan suasana.
Tiba-tiba, mata Kayana terlihat berat. Kelelahan mental ditambah ketenangan ruang belajar yang hangat membuatnya mengantuk. Dalam hitungan detik, Kayana tertidur di kursinya, dengan kepala bersandar di tumpukan buku Sejarah.
Momen Vulnerable terjadi.
Ruga menatap Kayana yang tertidur. Air muka yang tegang seperti Ratu Es di sekolah kini terlihat polos dan rapuh. Di bawah cahaya lampu kristal, Kayana terlihat sangat cantik. Ruga melihat helai rambutnya yang terjatuh di wajahnya, dan instingnya menyuruhnya untuk merapikan. Ruga mendekat, tangannya terulur. Ia merasa tertarik dan protektif terhadap Kayana.
Dia cuma anak-anak yang ketakutan. Dia bukan monster. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa Kayana juga manusia.
Ruga merapikan rambut Kayana dengan hati-hati. Tangannya menyentuh pipi Kayana yang lembut, ibu jarinya bergerak menjalar kepada bibir yang ranum dan kecil. Ruga sempat ragu beberapa detik, namun melihat Kayana tertidur pulas, peredaran darahnya bergejolak.
Naruga Indra, untuk kedua kalinya mencium bibir gadis Ratu Es. Hanya kecupan singkat, setelahnya Ruga mengelap bibir Kayana dengan ibu jarinya dan ia menarik tangannya dengan cepat, terkejut dengan kehangatan kontak fisik yang tidak sengaja dilakukan. Ia merasa malu dan bersalah.
Ruga kembali duduk, memandang Kayana. Rasa aneh memenuhi dadanya. Ini bukan benci, ini bukan pride. Ini... ketertarikan yang sangat kuat. Ia tertarik pada kerapuhan Kayana. Ruga merasa ingin melindungi Kayana dari dunia yang kejam.
Kayana menggeliat, terbangun, sedikit terkejut melihat Ruga masih di sana. Ia merasa bingung dan malu.
"Kenapa nggak pergi?" Kayana menggosok matanya. Ia mencoba menyembunyikan rasa malunya.
"Lo tidur," jawab Ruga, santai. "Gue nggak mau dituduh nyuri emas di sini. Dan... lo terlihat damai waktu tidur. Jarang banget. Di sekolah lo cuma bisa marah-marah." Ia mencoba mencairkan suasana.
Kayana, yang menyadari Ruga baru saja melihat sisi terlemahnya, langsung kembali pada pertahanannya. Ia merasa terpapar dan tidak berdaya.
"Cepat pergi. Gue mau tidur beneran." Ia mengusir Ruga dengan nada yang dingin dan tegas.
"Jangan tidur di meja, Kayana. Lo mau pindah ke kasur sendiri, atau mau gue gendong?"
"Pulang. Lo ganggu gue." Kayana masih dengan nada datar. Mukanya kembali bengis, seperti setelan Ratu Es di sekolah.
Ruga berdiri, mengenakan ransel lusuhnya. Ia menyodorkan ide aneh.
"Besok, kalo nilai lo di kuis Sejarah bagus, gue mau lo treat gue. Bukan dengan kencan formal yang lo sebut di UKS, tapi... kencan mie ayam. Kita makan mie ayam di ruko gue. Lo harus ngerasain gimana rasanya makanan jujur. And you have to pay for it." Ia memberikan tantangan yang tidak terduga.
Kayana memandang Ruga dengan ekspresi jijik. Mie ayam. Di ruko. Junk food bagi para elit adalah makanan kelas atas bagi Ruga. Ia merasa terhina dengan tawaran itu.
"Nggak akan. Lo gila," tolak Kayana dengan gengsi. Ia tidak akan pernah merendahkan dirinya untuk makan di tempat seperti itu.
"Gue tahu lo penasaran," goda Ruga. "Lo udah terlalu lama hidup di es, Kayana. Lo butuh kehangatan. Kalo lo nggak mau, gue akan upload foto lo tidur di kursi ini, biar semua orang tahu Ratu Es SMA Melody ternyata cuma anak SD yang ngantuk." Ia mengancam dengan nada yang bercanda.
Kayana tertawa kecil, tawa yang langka dan manis. "Ancaman lo basi. Tapi... fine. Kalo nilai gue 100, gue akan pertimbangkan. Sekarang pulang, Ruga." Ia memberikan syarat yang sulit.
Kayana mengusirnya, tetapi Ruga melihat kilatan di matanya—kilatan yang menunjukkan Kayana tertarik dengan tantangan "kencan normal" itu. Ia merasa menang.
Ruga berjalan keluar, tetapi otaknya tidak berhenti bekerja. Ia ingat percakapan tadi. Pangeran yang pegang name tag Kayana. Kayana pasti menyembunyikan sesuatu yang vital. Ia merasa harus mengungkap kebenaran itu.
Saat Ruga berjalan menyusuri lorong panjang menuju pintu keluar, ia melihat Kayana pergi ke kamar mandi, mungkin untuk menyegarkan diri sebelum tidur. Ia merasa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
Ini adalah kesempatan emas. Ruga menyelinap kembali ke ruang belajar. Ia merasa bersalah, tetapi ia merasa harus melakukan ini.
Ia melihat laptop Kayana yang mewah masih menyala di meja. Ruga tahu ini adalah pelanggaran privasi, tetapi ini adalah perang informasi, dan ia tidak punya pilihan. Pride seorang jenius menuntut kebenaran. Ia merasa harus melakukan apa pun untuk mengungkap kebenaran.
Ruga menyentuh trackpad. Kayana tidak mengunci layarnya. Ruga dengan cepat membuka file explorer dan mencari data tersembunyi, menggunakan coding skill yang ia asah dari job gelapnya. Ia merasa seperti sedang melakukan misi rahasia.
Tidak butuh waktu lama. Ruga menemukan folder tersembunyi yang ia lihat sekilas di tablet Kayana di Perpustakaan Sekolah (Bab 3). Folder kali ini bernama: 'ASSET RSJ IBU'. Ia merasa jantungnya berdebar kencang.
Isinya mengerikan dan vital:
Laporan Medis Ibu Kayana (RSJ): Laporan detail bahwa kondisi Ibu Kayana semakin parah, dan Ayah Kayana sengaja menahan obat-obatan yang mahal dan efektif untuk mempercepat 'kematian' mental Ibunya, agar warisan sepenuhnya jatuh ke Ayah Kayana dan Pangeran. Ia merasa jijik dengan kekejaman Ayah Kayana.
Rekaman Suara Ayah Kayana (Audio): Ruga memutar salah satu rekaman. Ayah Kayana terdengar sedang mengancam Kayana, menuntut Kayana untuk menuruti semua rencananya. "...Kalau kamu sampai bocorin ke siapa pun, Kayana, Ibu kamu akan mati di sana. Pangeran itu penerus. Kamu cuma anak perempuan yang lemah." Ia merasa marah dengan ancaman itu.
Foto Pangeran Mengawasi: Yang paling mencengangkan, ada beberapa foto yang diambil dari kamera tersembunyi Kayana, menunjukkan Pangeran Setiawan, yang sekarang koma, terlihat sedang mengawasi Kayana dan Ayahnya dari jauh di rooftop sebelum insiden itu. Pangeran terlihat panik, memegang sebuah flash drive. Ia merasa bingung dan penasaran.
Dan video terakhir lebih membuat Ruga merinding, video dengan judul KAYANA: Ruga memutar dengan acak dari ratusan file yang disimpan. Disitu terlihat Kayana yang masih mengenakan seragam sekolah diseret paksa oleh ayahnya secara tidak wajar. Kayana seperti sudah tidak berdaya tergeletak lemah di ubin marmer. Ayah Kayana dengan sadis menyeret rambut panjang Kayana, memantulkan kasar badan gadis mungil itu ke arah kaki meja makan. Disitu terlihat Pangeran yang diam ketakutan duduk di bangku meja makan, disertai Mama Tiri yang tetawa. Video diakhiri dengan Mama Tiri Kayana yang menginjak dadanya Kayana kasar dengan sepatu pantofel , memijak dengan dua kakinya sadis. "Ampun.. Ayah, Mama.. Sakit.."
Ruga membeku. Terlihat mata Ruga memerah seperti menahan tangis. Pangeran bukan ancaman bagi Kayana, dia sedang berusaha memperingatkan Kayana! Ia merasa bersalah karena telah salah menilai Pangeran.
Ruga menyadari, Kayana bukan hanya korban trauma, dia adalah korban konspirasi yang mengerikan. Ayah Kayana, Kepala Sekolah Wira, dan Mama Tiri kemungkinan besar bekerja sama. Pangeran mungkin mencoba mengungkapkan kebenaran kepada Kayana, dan mereka berdua didorong. Ia merasa harus melindungi Kayana dari mereka.
Sialan!
Ruga menyalin semua file ke flash drive kecilnya. Ruga menyadari, name tag Kayana yang ia temukan mungkin adalah simbol yang sengaja dijatuhkan Pangeran, untuk membuat Kayana menjadi tersangka, atau untuk membuat Ruga—si jenius yang Pangeran tahu bekerja di sekolah itu—mulai menyelidiki. Ia merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran.
Ruga bergegas membereskan tempatnya. Ia menyadari ia kini terlibat dalam permainan yang jauh lebih gelap daripada lovely rivalry yang ia bayangkan. Ini adalah permainan hidup dan mati. Ia merasa takut, tetapi ia tidak bisa mundur.
Kayana keluar dari kamar mandi, mengenakan jubah mandi sutra. Dia melihat Ruga berdiri di tengah ruangan, tangannya memegang ransel, wajahnya tegang. Ia merasa curiga dengan kehadiran Ruga di sana.
"Ada apa, Ruga? Lo mau nyuri?" Kayana menyindir, mencoba menutupi rasa canggungnya. Ia merasa terpapar dan tidak berdaya. Apalagi dengan keadaan tidak memakai apa-apa dibalik handuk.
Ruga menatap mata Kayana, matanya kini dipenuhi tekad yang dingin, lebih dingin dari tatapan Kayana. Ruga mendekat, berjalan melintasi ruangan mewah itu. Ia merasa harus memperingatkan Kayana tentang bahaya yang mengancamnya.
"Kayana," Ruga berbisik, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan.
Emosi itu tercurah. Ruga tanpa permisi, mencium Kayana. Dalam posisi masih berdiri, Ruga mengambil alih badan Kayana, mengangkat badannya dengan memisahkan kedua kaki yang rapat. Masing-masing tangan kiri dan kanan Ruga memegang erat bagian bawah paha Kayana, memegang lipatan kakinya agar tidak terjatuh. Mengangkat tinggi sampai batas perut Ruga. Mengarahkan Kayana bersandar pada tembok soundproof yang sedikit empuk.
Kayana setengah terkejut, namun dengan refleks dan takut terjatuh ia mengalungkan kedua kakinya ke pinggang Ruga erat-erat. Ia meremas kasar kerah baju Ruga, sambil terbius pagutan bibir yang terasa intens. Badan gadis itu gemetar, entah antara jijik atau nafsu. Kayana dan Ruga merasa ada sengatan listrik yang panjang disertai perasaan merinding. Ciuman ini bukan ciuman yang lambat seperti tadi siang, tetapi ciuman yang kasar dan terburu-buru. Seakan saling mencurahkan perasaan kesal, benci, muak, dan insecure masing-masing. Bahkan Kayana dengan gigitan kecil membuat bibir bawah Ruga sedikit berdarah akibat agresivitas yang tinggi.
Cukup lama, sampai Ruga kembali ke setelan logika kembali. Perlahan ia menurunkan Kayana yang matanya sedikit berkaca-kaca. Kayana bukan seperti ingin menangis, ia mengisyaratkan kebutuhan. Kayana butuh dicintai. Butuh di pahami. Kayana butuh dilindungi. Dan seperti mengisyaratkan Kayana butuh Ruga, sosok yang ia benci namun memberikan dorongan hasrat dan gejolak di hidupnya.
"Ke-kenapa cium gue lagi, Ruga?"
Ruga tidak menjawab. Ia kesal. Kesal kepada perlakuan Ayah dan Mama Tiri Kayana, kesal kepada Kayana yang tak berdaya di video tadi. Kesal karena Ruga baru tahu, sosok Kayana. Ruga rela di bully terus-menerus jika ia sudah mengetahui ini lebih awal. Ruga merasa egonya tergores, ia ingin melindungi Kayana yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ruga mengelus pelipis dan rambut Kayana dengan ekspresi tak terbaca.
"Lo terlalu lama hidup di es sendirian. Lo harus bangun. They are killing you and your mother." Ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang serius dan mendalam.
Kayana terdiam, wajahnya pucat. Ruga tidak menyebutkan kata 'warisan' atau 'Ayah'. Ruga menyebut 'Ibu'. Ia merasa terkejut dan ketakutan.
"Gue nggak tahu lo ngomongin apa." Kayana mencoba mendorongnya, tetapi Ruga memegang bahunya kuat-kuat. Ia tidak akan membiarkan Kayana mengabaikan kebenaran.
"Gue akan cari tahu semuanya, Kaya. Gue nggak akan biarin lo jadi korban. Lo cuma fokus di belajar, fight buat nilai lo. Sisanya, biar gue yang urus. Anggap aja ini extra service dari joki lo yang mahal. Gue akan lindungin lo." Ia menawarkan perlindungan dan dukungan. Hal yang baru pertama kali didapatkan dalam hidup Kayana, seseorang yang mau menarik ia dari kegelapan.
Ruga melepaskan bahu Kayana, berbalik, dan pergi, meninggalkan Kayana yang terkejut, tubuhnya gemetar. Kayana tahu, Ruga bukan lagi sekadar musuh. Ruga adalah satu-satunya harapan dan ancaman terbesarnya. Orang luar yang tahu kelemahan terbesar miliknya. Dan Kayana, si Ratu Es, merasakan kehangatan yang aneh, tempat setelah Ruga menyentuhnya. Ia merasa bingung dan takut.
